Bab 23 ~ Pemimpin Pasukan

336 103 1
                                    

Di tengah lapangan, tak jauh dari William, Rogas tersenyum masam. "Kau serius?"

"Tentu saja," jawab William. "Aku hanya mengikuti caramu bermain."

"Aku akan menendang pantatmu."

"Aku akan menghajar hidungmu, sekali lagi."

"Baik! Ini pertempuran yang terakhir! Penentuan! Kalian berdua siap?" seruan Taupin membahana. 

Begitu William dan Rogas mengangguk, si kepala desa memberi tanda, "Mulai!"

Penonton bersorak. 

William mengayunkan pedangnya lebih dulu, kuat dan cepat dengan suara desingan menakutkan. Namun Rogas berhasil menangkis, tak kalah cepat. Lalu giliran Rogas yang maju dengan tusukan ke arah tubuh, dan ganti William yang menangkis dengan sabetan lebih garang.

William menyerang dengan tenaga dan emosi yang meledak-ledak. Pedangnya berputar-putar liar, ke atas, ke tengah, ke bawah. Serangkaian serangan yang akan membuat pedang-pedang musuhnya terpental jika saja mereka hanya prajurit biasa. 

Rogas bukan termasuk prajurit elite dan berdisiplin seperti layaknya pasukan kerajaan, tetapi dia memiliki pengalaman tempur yang cukup, bahkan dialah yang dulu mengajarkan banyak hal kepada William. Maka sampai cukup lama Rogas masih bisa melayani serangan-serangan itu.

Namun setelah itu dia mulai lelah dan tak bisa mengimbangi William. William berhasil mendesak Rogas ke tepi lingkaran pertarungan. Ia mengayunkan pedang sekeras-kerasnya dari atas ke bawah. Rogas tak kuasa menahan. Pedang terlepas dari tangan Rogas, dan laki-laki itu jatuh terduduk. Semua bersorak.

William meringis sambil mengacungkan pedangnya ke wajah Rogas. "Sudah kubilang, aku akan menghajarmu."

Rogas menggeram. "Lepas pedangmu. Kita pakai tangan kosong. Berani?"

"Tidak masalah." William melempar pedangnya ke samping.

Rogas melompat cepat. Kepalanya menyeruduk perut William.

William tak menduga, perutnya langsung mulas dan tubuhnya terdorong ke belakang. 

Untunglah setelah lima langkah ia mampu memperkuat kuda-kuda dan menjaga keseimbangan. Kedua tinjunya menghantam tubuh Rogas dari kiri dan kanan. Namun karena jarak mereka yang terlalu rapat, ayunannya tidak maksimal. Rogas seolah tak merasakan sama sekali. Laki-laki itu mundur, lalu mengayunkan tinju kirinya, telak mendarat di rahang William.

William langsung pusing. Kesadarannya sempat hilang. Untungnya gerak refleks tangan kirinya berhasil menangkis pukulan kanan Rogas. William kehilangan kuda-kuda dan hampir saja terjungkal jika saja tangan kirinya tidak menjambak rambut Rogas, lalu menarik mundur dan menekan kepala laki-laki itu ke bawah sekuat tenaga, membalikkan posisi serang. William menarik kaki kanannya ke belakang, siap menendang wajah Rogas dengan lutut.

Kalau berhasil, mungkin wajah itu bakalan tidak berbentuk lagi nanti. Rogas yang mencium bahaya kembali menyeruduk buat mempersempit jarak. Gerakan itu berhasil menyelamatkan wajahnya sekaligus menyundul lagi perut William. Namun akibatnya pertahanannya menjadi terbuka. William meneruskan tendangannya ke perut Rogas hingga laki-laki itu mengeluarkan erangan tertahan dari mulutnya.

William mengangkat kepala Rogas dengan tangan kiri dan mengayunkan kepalan tangan kanannya. Pukulannya mendarat di hidung Rogas. Laki-laki itu terhuyung, lalu jatuh terduduk. William melompat, hendak menghajar lagi dengan pukulan pamungkas. Namun Rogas tampaknya sudah tidak kuat. Ia mengangkat tangannya tanda menyerah.

"Hei, hei! Sudah! Sudah!" Ia memegangi hidungnya yang berdarah, dan menjerit kesal, "Kau mematahkan hidungku!"

William mendengus. Dadanya naik turun. "Kau sudah tahu ... kau tahu aku punya banyak alasan untuk memukul hidungmu."

"Kenapa? Kau memang pendendam sialan!"

"Tidak, aku cuma memberimu pelajaran."

"Dasar bocah sombong. Kau juga akan mendapat pelajaran nanti!" Rogas memaki, tapi wajahnya tak lagi sekesal tadi, malahan kini ia menyeringai.

William lumayan lega melihatnya, karena rekannya itu tidak terlalu lama marah kepadanya. Soal hidungnya yang patah, ya ... diobati sedikit nanti juga pasti sembuh. Walau mungkin nanti akan jadi sedikit bengkok.

Taupin berdiri dari kursinya dan berjalan mendekati William dan Rogas. Wajahnya berseri-seri. 

"Tampaknya sudah jelas, kau pemenangnya!" katanya pada William, yang langsung disambut sorak penonton. "Seperti kukatakan tadi, aku mencari wakil pemimpin pasukan. Kau membuktikan dirimu yang paling kuat dan berani di tempat ini. Semoga kau juga bisa dipercaya. Bagaimana? Kau bersedia?"

William memandangi Taupin beberapa saat, lalu menggeleng. "Aku mau ikut dalam pasukanmu, dan kau bisa percaya padaku, tapi aku tidak mau menjadi pemimpin atau wakilnya. Dia saja," katanya sambil melirik Rogas, yang masih mengusap-usap hidungnya. "Kurasa dia lebih menginginkan ini."

Taupin manggut-manggut seraya mengelus-elus janggutnya, kemudian menoleh. "Kalau begitu kutawarkan posisi itu padamu. Kau bersedia?"

Rogas tersenyum licik. "Jika bayarannya bagus."

Taupin menukas, "Kita bisa membicarakannya. Sekarang?"

"Ya. Sekarang."

"Kita bicara di rumahku."

"Aku ingin adikku ikut membahas," Rogas menyahut. "Dia juga perlu tahu. Jika aku jadi wakilmu, maka dia jadi wakilku, atau ... wakilnya wakilmu, begitulah ..."

Taupin melirik ke arah William, tampaknya sedikit heran. "Dia adikmu?"

"Ya. Aku Dall, dia Tuck. Kurasa kau bisa mengerti sekarang, Tuan, kenapa dia sangat ingin memukul hidungku." Rogas meringis. "Karena kami bersaudara."

Taupin memandang tanpa ekspresi, lalu menukas, "Sayangnya aku tidak mengerti. Tetapi aku senang kalian ada di sini. Tenaga kalian sangat dibutuhkan."

"Hanya jika bayarannya cocok, Tuan, jangan lupa."

Rupanya begitu. William mengerti sekarang. Itulah alasan kenapa Rogas mau repot-repot mempertontonkan keterampilannya di depan semua orang. Untuk menaikkan harganya di mata Taupin. Rogas mungkin tidak terlalu peduli dengan posisinya sebagai wakil pemimpin pasukan. Yang ia pikirkan hanyalah bayaran, dan tentu saja bayaran untuk wakil pemimpin pasukan lebih besar daripada bayaran untuk prajurit biasa. 

Pemikiran yang bagus, walau tetap saja menyebalkan dan berbahaya. William berharap kabar tentang ini tidak menyebar ke mana-mana, sampai terdengar oleh Mornitz dan kawanannya.

Taupin mengajak William dan Rogas duduk di beranda rumahnya. Cangkir dan teko berisi minuman disajikan. Sementara itu dua puluhan orang yang tadi menonton berkumpul di halaman. Sepertinya mereka adalah penangkap ikan dan pemburu dari Orulion atau desa-desa kecil lain yang bersedia ikut serta dalam pasukan Taupin. Penampilan mereka tidak meyakinkan sebagai prajurit, tetapi mungkin setelah berlatih akan menjadi lebih baik.

Taupin melirik William. Sambil menyodorkan teh si kepala desa bertanya, "Tuck, apa pendapatmu tentang mereka? Apa mereka cukup kuat?"

William menggeleng. "Aku tidak tahu. Bahkan aku tidak tahu apa yang sedang Tuan buat di sini. Pasukan? Kalau pasukan, mana senjata-senjatanya?"

"Ada di gudang. Pedang dan tombak cukup untuk tiga puluh orang. Aku kumpulkan dari berbagai tempat. Senjata-senjata sederhana, tapi kurasa cukup saat ini, sampai kita mendapatkan yang lebih bagus."

"Kudengar orang-orang Hualeg itu mengerikan," kata Rogas, sepertinya hendak memancing pembicaraan ke soal bayaran. "Kau tahu?"

"Tentu saja aku tahu," tukas Taupin. "Aku sendiri dulu pernah diserang oleh mereka, dan berhasil selamat. Justru karena itu aku berinisiatif membuat pasukan ini, karena aku tak bisa mengharapkan bantuan dari orang-orang Alton. Begitulah, di saat-saat seperti ini, orang-orang kerajaan tidak berguna."

Northmen SagaWhere stories live. Discover now