Bab 13 ~ Belati Panjang

389 123 1
                                    

William dan Muriel berbalik arah, kembali berjalan ke utara menuju Kedai Horsling. Kali ini mereka berjalan lebih cepat, karena William takut Mornitz dan Rogas sudah lebih dulu pergi dari tempat itu. 

Tak lama keduanya sampai. William menyuruh Muriel menunggu di luar, bersembunyi di sudut jalan yang sepi. Muriel senang-senang saja karena pada dasarnya dia memang tidak berminat masuk lagi ke dalam kedai.

Sayangnya, seperti perkiraan William, ia tak lagi menemukan Mornitz dan Rogas. Di dalam kedai hanya tinggal ada beberapa orang tak dikenal, yang tengah berbincang-bincang dengan suara pelan. William memperhatikan mereka, untuk sesaat tak tahu harus melakukan apa. 

Kemudian ia menoleh, dan pandangannya bertemu dengan mata laki-laki bertubuh besar yang berdiri di belakang meja bar.

Tuan Horsling tersenyum ramah begitu William melihatnya.

Betul juga, pemilik kedai ini mungkin tahu ke mana Mornitz dan Rogas pergi. William pun mendekatinya.

Namun belum sempat ia bertanya, Tuan Horsling lebih dulu berkata, "Kedua temanmu baru saja pergi. Kulihat mereka tadi ke arah sungai. Kalau kau lari mungkin kau bisa menyusul mereka. Tapi hati-hati, Nak, kalau malam tempat itu bisa berbahaya. Kau bawa sesuatu untuk membela diri?"

William mengerutkan dahinya, tak mengerti. "Mmm ... maksud Tuan?"

"Pedang, pisau, atau semacamnya?"

"Tidak." William menggeleng cepat, bingung bercampur takut. "Aku tidak bawa apa-apa."

"Kalau begitu, bawa ini." 

Tangan Tuan Horsling meraih sesuatu dari balik meja bar. Sebuah belati panjang dengan sarung terbuat dari kulit. Panjang belatinya hampir mencapai satu lengan--dari pergelangan sampai siku. Tuan Horsling meletakkan benda itu di depan William.

Pemuda itu melongo. Ia bergantian melihat ke arah belati di atas meja itu dan Tuan Horsling di depannya.

"Apa maksudmu, Tuan? Kau ... mau meminjamkannya padaku?"

"Ya."

"Begitu saja?" tanya William tidak percaya.

"Kembalikan nanti kalau urusanmu sudah selesai." Tuan Horsling tersenyum sambil memilin-milin kumis lebatnya.

"Tapi ... kenapa aku harus membawanya?" William belum mau menyentuh benda menakutkan di depannya itu. Ia mulai curiga ada yang tidak beres. "Memangnya akan ada apa?"

Tuan Horsling mengangkat bahunya dengan gaya santai. "Sudah lama tidak ada orang yang berani berbuat macam-macam di sini. Tapi waktu berlalu. Siapa tahu, pada akhirnya akan ada yang mencoba berbuat bodoh. Jadi lebih baik kau berjaga-jaga. Bukan begitu?"

"Tapi ... kalau situasinya memang berbahaya, kenapa kau tak menganjurkan aku untuk pergi menjauh saja? Kenapa malah memberiku senjata?"

"Kau boleh pergi dan pulang kalau kau mau, Nak. Dan kau akan baik-baik saja di rumahmu. Tapi kadang-kadang ..." Tuan Horsling mendekatkan wajahnya dan berbisik, "... kau harus melakukan sesuatu yang aneh dan tidak terduga, satu kali dalam hidupmu, terutama saat masih muda. Supaya kau bisa lebih mengenal dirimu sendiri. Mengenal sesuatu yang belum kau tahu, dan akan membawamu ke jalan hidupmu berikutnya."

William melongo. Jalan hidup? Dia bicara apa sih?

Ia dan Tuan Horsling saling menatap.

Si pemilik kedai menarik kembali tubuhnya dan tersenyum. "Bagaimana? Apa pilihanmu? Kau mau membawanya?"

William menelan ludah. Jantungnya berdebar kencang. Awalnya rasa takutnya timbul, karena ia bukan prajurit seperti Rogas, ia belum pernah terlibat dalam hal-hal yang menyerempet bahaya seperti ini. 

Namun jika dipikir-pikir, kenapa ia harus ragu? Bukankah ia sudah memiliki kemampuan berpedang yang cukup baik? Toh pisau panjang ini juga mirip pedang, hanya sedikit bedanya. Ia juga selalu berlatih tiap hari dengan pedang yang jauh lebih berat. 

Dan lagi, jika ternyata nanti benar-benar berbahaya, bukankah ia tetap bisa bersembunyi atau lari menjauh dari sana? Yang penting ia melihat dulu apa yang terjadi.

Begitulah, yang awalnya hanya rasa takut kini pelan-pelan terganti oleh rasa ingin tahu yang meluap-luap, yang begitu saja muncul dari dalam hati. Ucapan Tuan Horsling menguasai benak William, tentang bagaimana ia nanti bisa mengenal dirinya lebih jauh. 

Tatapan berkilat laki-laki itu seolah menyembunyikan sesuatu, yang membuatnya penasaran. Ya, dia pasti tahu sesuatu! Apakah sebaiknya William bertanya lebih jauh? Atau tidak?

Namun alih-alih bertanya, pada akhirnya William memutuskan langsung meraih belati yang tergeletak di atas meja. Napasnya naik turun, menahan emosi dan debaran jantungnya yang semakin tidak karuan.

"Aku ... akan kukembalikan nanti pisaunya."

Tuan Horsling kembali tersenyum. "Tenanglah. Belum tentu akan terjadi apa-apa, bukan? Tapi kau pasti tahu, bahwa kita perlu berhati-hati. Dan ingat, jangan bertindak gegabah. Selalulah menengok lebih dulu ke belakang, sebelum maju ke depan."

William tertegun. Satu lagi nasihat diberikan padanya, dan kali ini rasanya itu nasihat yang aneh, karena sangat berbeda dibanding pesan ayahnya yang disampaikan ibunya kemarin malam: jangan pernah menoleh lagi ke belakang.

Sesaat pemuda itu terdiam, sebelum menjawab, "I—iya, Tuan."

"Pergilah, sebelum terlambat."

William keluar dari dalam kedai dengan perasaan campur aduk. Belum cukup ia dibuat bingung oleh nasihat Tuan Horsling, laki-laki itu mengatakan lagi satu hal yang aneh. Sebelum terlambat? Sebelum terlambat apanya?

"Ssst," siulan tipis Muriel terdengar. 

Gadis itu muncul dari balik kegelapan dan berjingkat-jingkat menghampiri William.

"Kakak dapat uangnya?" Dia meringis.

William menggeleng, tiba-tiba sedikit bimbang dengan niatnya begitu ia melihat Muriel.

"Rogas dan Mornitz sudah pergi, ke arah sungai," kata William. "Tapi aku akan mengejar mereka."

Muriel kebingungan. "Mengejar mereka? Apa itu benar-benar perlu?" 

Keningnya berkerut. Tatapannya tertuju pada belati panjang yang dipegang William, dan matanya langsung membelalak. "Itu apa? ... Kenapa Kakak jadi membawa-bawa pisau?"

"Hanya untuk berjaga-jaga," jawab William seraya menyembunyikan pisau itu di balik bajunya. "Sudah, tidak usah banyak tanya. Dengar, mungkin situasinya akan berbahaya nanti. Jadi lebih baik kamu pulang lebih dulu. Biar aku pergi sendiri saja."

Muriel semakin kaget. "Kalau memang berbahaya, Kakak lebih baik jangan pergi ke sana! Buat apa? Ayo! Kita pulang saja!"

"Aku harus pergi."

"Kenapa?"

"Aku belum bisa menjelaskan. Nanti saja kujelaskan. Pulanglah. Aku akan menemuimu nanti." 

Lalu ia menatap gadis di depannya itu dengan ragu. "Maksudku ... kamu berani pulang sendiri, kan? Jangan khawatir, jalan-jalan di dalam kota masih aman, masih ada banyak orang. Kamu akan baik-baik saja sampai di rumah."

Muriel tidak menjawab. Dia hanya berdiri memandanginya, semakin bingung. 

Namun tidak ada waktu bagi William untuk menjelaskan. Lagi pula ia juga belum yakin apa yang sebenarnya ia rasakan. Apakah ia benar-benar khawatir sesuatu akan terjadi malam ini, atau hanya penasaran?

"Hati-hati," ia mengucapkan kata-kata terakhirnya pada Muriel. 

Ia berbalik, berlari ke barat menuju sungai.

Sesaat kemudian barulah William sadar, ucapannya itu mungkin lebih cocok ditujukan pada dirinya sendiri.

Northmen SagaWhere stories live. Discover now