Bab 70 ~ Pengkhianatan

214 77 1
                                    

Patarag terdiam. Tampaknya ia benar-benar terkejut ketika mendengar Vilnar sudah menikah, dan lebih dari itu kecewa karena Vilnar menolak tawarannya. Mungkin sebelumnya ia sangat yakin Vilnar akan setuju dengannya, lalu putrinya akan hidup bahagia, dan kehidupan rakyatnya di masa mendatang menjadi lebih terjamin berkat persekutuannya dengan Vallanir.

Bukan berarti sekarang tidak akan ada perdamaian, tetapi perdamaian yang terbentuk biasanya akan menjadi rapuh jika tidak ada ikatan keluarga.

Vilnar memahami hal itu, dan ia pun berusaha meyakinkan Patarag bahwa perdamaian tetap bisa langgeng asal mereka tetap bisa saling percaya.

Ia melanjutkan ucapannya, "Tuanku, kuharap jawabanku tidak menjadi ganjalan yang akan mempengaruhi persekutuan kita. Aku percaya masalah-masalah lain yang lebih penting akan datang, dan bersama-sama kita akan menyelesaikannya. Kalau Anda tidak keberatan, aku ingin beristirahat."

"Ya ... tentu saja, silakan," jawab Patarag hampir tak bersuara.

Vilnar mengangguk hormat, kemudian pergi menuju kamar yang sudah disediakan untuknya. Saat pergi ia melihat Patarag masih duduk termenung. Pada saat ini Vilnar tidak peduli apa yang mungkin dirasakan atau dipikirkan oleh Patarag. Itu bukan urusannya. Yang lebih penting ia telah menyelesaikan masalahnya di sini dan membuat keputusan yang dirasakannya paling baik.

Ailene dan putranya; hanya mereka yang dipikirkannya saat ini.

Esok paginya, setelah berpamitan Vilnar berangkat pulang ke desanya. Ia tak ingin berlama-lama, dan begitu turun ke perahu ia mendayung dengan penuh semangat. Sepanjang hari ia mendayung tanpa henti.

Perjalanan pulang ke selatan sedikit lebih berat dibandingkan saat berangkat kemarin, karena kali ini ia harus melawan arus sungai. Namun Vilnar merasa punya banyak energi setelah mendapat tidur cukup nyenyak di desa Andranir, jadi ia terus mendayung bahkan pada saat malam hari.

Saat tengah malam ia mulai lelah, dan memutuskan untuk beristirahat.

Ia menepikan perahu, mengikatkannya pada sebuah batu besar lalu merebahkan tubuh di atas perahu. Ia berdoa pada dewa, dan sebentar saja sudah terlelap.

Ia bermimpi. Dalam mimpinya, ia melihat Ailene meninabobokan putranya, dalam remang-remang cahaya perapian.

Kemudian istrinya berjalan menyusuri lorong gelap, dari kejauhan berjalan perlahan semakin dekat ke arah Vilnar.

Istrinya berteriak, "Bangunlah!"

"Ada apa?" Entah bagaimana Vilnar bisa menjawab istrinya.

Suara istrinya justru semakin keras, "Bangunlah!"

Seketika Vilnar terbangun.

Dalam kondisi setengah sadar ia merasakan sesosok orang yang mengendap-endap di dekat perahu. Siapa? Siapa mereka?

Dengan gerakan refleks Vilnar menendang dan memukul ke segala arah. Dua orang jatuh terjengkang ke sungai.

Pedang besar terayun ke arah kepalanya.

Vilnar berguling ke kiri jatuh ke sungai yang dangkal, mencari pijakan, kemudian dengan tenaganya yang besar ia mengangkat perahunya dan melemparkannya ke arah dua orang penyerang.

Kapak perangnya yang besar melayang di udara dan jatuh tercebur ke sungai. Ia segera meraihnya, dan bersiaga menghadapi serangan berikutnya.

Ternyata ada sekitar enam orang berpedang yang mengepung dirinya di tepi sungai. Vilnar tak bisa mengenali mereka dalam gelap, tapi sudah jelas, mereka bermaksud membunuhnya.

Mereka menyerang secara bersamaan. Vilnar mengelak beberapa kali dan memutar-mutarkan pedangnya. Jerit kematian terdengar sahut menyahut. Satu per satu para penyerang tewas terbantai oleh kapak maut Vilnar. Sebentar saja empat orang sudah tewas dan mayatnya mengambang di tepi sungai, sebagian lagi terbawa arus ke utara.

Vilnar mendapat beberapa luka akibat tusukan dan sabetan pedang. Mantelnya merah akibat darah musuh maupun darahnya sendiri. Ia tak peduli, dan mencoba tetap berdiri tegak di tepi sungai, menatap bengis ke dua musuhnya yang tersisa. Kedua orang itu menjadi gentar, berbalik arah dan lari.

Dengan garang Vilnar melompat dan berlari mengejar mereka. Begitu ia sampai di dekat kedua orang itu, ia menebas kepala musuhnya yang berlari paling lambat, kemudian mengejar orang yang terakhir.

Mereka berdua berlari menembus semak belukar dan pepohonan.

Sedikit lagi. Vilnar melihat musuhnya berada lurus tak jauh di depannya. Tak mau membuang kesempatan ia pun mengangkat kapaknya dengan kedua tangan, kemudian melemparkannya. Kapak besar yang mengerikan itu mendesing berputar-putar di udara bagaikan roda kematian, kemudian menghantam dan membelah kepala musuhnya yang terakhir.

Vilnar segera mengambil kapaknya, lalu kembali ke sungai. Ia mengamati wajah para penyerangnya yang sudah mati, sambil bertanya-tanya dalam hati. Siapa mereka? Siapa yang menyuruh mereka untuk membunuhnya?

Jelas bukan dari Vallanir, karena tidak ada satu pun yang dikenalinya. Vilnar mulai menyesal kenapa ia tadi membunuh mereka semua. Seharusnya ia mengorek keterangan dulu dari mereka sebelum membunuhnya.

Sambil membalikkan perahunya Vilnar mencoba mencari jawaban, siapa yang tahu ia ada di sini.

Hanya keluarganya di Vallanir, dan orang-orang suku Andranir.

Apakah Patarag berani menyuruh orang-orang ini untuk membunuhnya?

Tidak, dia tak akan berani. Lagi pula, kalau Patarag ingin membunuhnya, dia bisa melakukan itu saat kemarin Vilnar tidur di Andranir.

Hanya orang Logenir yang mungkin berani melakukan ini. Tapi Vilnar tak yakin. Dari mana suku Logenir tahu keberadaannya di sini?

Atau benar, mungkinkah pada akhirnya Patarag menganggap dirinya sebagai musuh? Apakah semua yang mereka bicarakan kemarin sia-sia?

Tidak. Seandainya seperti itu, prajurit Andranir mestinya tak akan punya kesempatan untuk mengejarnya di sungai. Vilnar yakin tidak ada perahu yang mengikutinya. Artinya, hanya mereka yang sudah bersiap-siap di tempat inilah yang bisa menyergapnya.

Jangan-jangan ... suku Brahanir, atau Drakknir?

Siapa yang mungkin memberitahu mereka? Tarnar? Erenar?

Vilnar merasa pusing kepala, dan lebih dari itu sakit hati, begitu sadar ada seseorang yang mungkin telah mengkhianatinya dan bahkan menginginkan kematiannya.

Perasaannya campur aduk. Marah, dan akhirnya berubah menjadi takut.

Ia langsung teringat pada istri dan anaknya. Mereka berdua dalam bahaya besar jika ternyata sang pengkhianat itu ada di dalam desanya sendiri.

Tak ingin membuang waktu Vilnar pun kembali mendayung secepatnya.

Selimut malam tersingkap, hari berikutnya datang.

Vilnar sampai di desanya menjelang petang.

Setelah menambatkan perahunya di dermaga ia bergegas memasuki desa.

Namun di sana ia segera merasakan suasana aneh yang membuatnya khawatir. Saat ia berpapasan dengan para penduduk, mereka menunduk dengan wajah sedih. Ada pula yang ketakutan.

Vilnar pun bertanya, "Apa yang terjadi di sini? Ada apa?"

Seorang tua menjawab, "Maaf, Tuanku. Ayah Anda, kepala suku kita Radnar telah meninggal dunia tadi malam."

"Apa?!" Vilnar terperanjat.

Bagaimana mungkin? Empat hari yang lalu ayahnya masih kelihatan cukup sehat, bagaimana ia bisa meninggal secepat ini?

"Bagaimana? Apa yang terjadi?" tanyanya lagi.

"Kabarnya ia terjatuh dari tangga di rumahnya."

"Terjatuh?" Vilnar semakin kaget. Bagaimana bisa?

"Di mana tubuhnya sekarang?" ia bertanya lagi.

"Sudah dibawa ke menara. Upacara pelepasan arwah akan dilaksanakan malam ini."

Vilnar berlari kencang ke arah lapangan di tepi sungai dengan perasaan campur aduk. Pikirannya melompat ke sana kemari.

Tidak, ia belum bisa berpikir sama sekali. Kesedihan tak terkira kini menyelimuti setiap sudut benaknya.

Northmen SagaWhere stories live. Discover now