Bab 86 ~ Jalan Rahasia

214 82 1
                                    

William berputar lagi, kali ini lawannya berusaha menangkis, tetapi tak kuasa menahan. Pedangnya lalu menemukan celah, menebas perut orang malang itu. Selesai dengan lawan pertama, William langsung melirik, mencari musuh berikutnya.

Ada satu orang, di dekat pohon sekitar sepuluh langkah darinya. Lalu ada satu, dua, tiga, yang agak jauh. Mungkin ada lebih banyak lagi.

Semua orang itu mengambil posisi mengepung, tetapi tampaknya mereka tidak berani maju, begitu tahu bahwa William sudah menghabisi empat orang rekan mereka dengan sangat cepat.

Tak ada cara lain. Serang lebih dulu. Sambil berteriak William melompat ke arah lawan terdekat. Orang itu sudah siap dan berhasil menangkis serangan William. Dari sisi kiri dan kanan lalu terdengar musuh lain mendekat.

Dengan ayunan cepat dan bertenaga William memutar pedangnya, menghantam pedang mereka satu per satu. Ia merasakan tenaga musuh yang lebih lemah di kanan, yang langsung menjadi sasaran pertama.

Ia berkelit, melompat tinggi, kemudian dari atas menebas ke bawah. Musuh terlemah itu terperanjat dan coba menangkis, tetapi tak kuasa. Bacokan William membelah dua kepalanya.

William meraung bengis ke arah dua musuhnya yang tersisa. Ketakutan, kedua orang itu mundur, lalu balik badan berusaha kabur.

William sudah siap mengejar untuk menghabisi keduanya, ketika lalu ia mendengar suara Vida.

"William ..." Vida berdiri lemah di samping pintu, masih sambil memegangi kepalanya. Tasnya sudah tersampir di bahu, dan pedangnya terkait di pinggang kirinya. Gadis itu meringis, terus berusaha menahan sakit.

"Kita ... harus pergi ..." kata gadis itu.

"Biar kukejar dulu mereka," sahut William. "Akan kutangkap satu, buat ditanyai."

Vida menggeleng. "Jangan. Mereka pasti punya teman lebih banyak di dekat sungai. Atau mungkin sengaja memancingmu. Lebih baik kita kabur ..."

Tangan kirinya terangkat, menunjuk ke belakang rumah. "Ada jalan kecil ... di sana. Helga pernah bilang, itu jalan kita ... jika bahaya datang."

William berjalan mengikuti Vida yang terhuyung-huyung, memutari rumah kayu yang mulai terbakar ke arah belakang. Bagian hutan di sana gelap berkat pepohonannya yang rapat dan semak belukarnya yang lebat, tetapi Vida tampaknya yakin ada jalan rahasia di sana.

Walaupun tertatih-tatih dan masih berusaha menahan sakit atau pening di kepalanya, gadis itu terus menerobos belukar dan mendaki dataran yang terasa semakin tinggi.

William sendiri awalnya tidak yakin. Belum tentu apa yang dikatakan dukun soal jalan ini benar. Namun kepalang basah, sudah sampai di sini, akhirnya ia lalu mengambil alih komando dan berjalan di depan, untuk membuka hutan dan menebas ke sana-sini dengan pedangnya.

Setelah beberapa lama semak belukar itu mulai longgar, demikian pula batang-batang pohonnya. Mereka sampai di dataran yang lebih terbuka. Langit malam terlihat di depan, sepertinya mereka sampai di sisi sebuah tebing.

Suara gemericik air terjun terdengar, tampaknya ada tak jauh di balik tebing ini. Suara gemuruh terdengar pula di langit, yang menandakan bahwa sebentar lagi akan turun hujan.

Vida yang berdiri di samping William akhirnya bisa kelihatan tersenyum lega. Namun hanya sesaat, karena kemudian terdengar suara lain di kejauhan. Gonggongan beberapa ekor anjing bersahut-sahutan.

Senyuman Vida menghilang. Gadis itu berjalan ke sisi tebing, berpegangan pada dahan pohon, lalu menjejakkan kakinya di tanah sempit.

Mau ke mana dia? Menuruni tebing? Apa tidak berbahaya?

Mereka belum tahu sedalam apa jurang ini. Ya, pasti ada sungai di bawah sana, tetapi seberapa jauh?

Hujan mulai turun. Batu dan tanah yang mereka injak jadi semakin licin. William mengikuti Vida berjalan menuruni sisi tebing. Dinding batu di sebelah kiri, dan kegelapan di sisi kanan.

William belum yakin apakah itu hanya gelap rimbunan pohon yang tumbuh di jurang di sisi sungai, atau gelap bebatuan juga. Yang jelas mereka tidak boleh terpeleset.

Sejauh ini masih aman. Rasanya mereka sudah berhasil turun cukup jauh, walaupun jarak dari tempat mereka ke bawah masih tetap belum bisa ditebak, karena suara deru air terjun dan aliran sungai tertutup oleh suara derasnya hujan.

Bagusnya buat mereka, hujan ini membuat anjing-anjing yang mengejar mereka jadi kehilangan jejak. Orang-orang Logenir itu tidak akan tahu Vida dan William ada di sini, dan seandainya mereka menebak keduanya turun ke sungai, orang-orang itu pasti akan mencari jalan yang lebih jauh.

Saat itulah, di saat William mulai merasa tenang, kakinya terbenam.

Tanah yang ia pijak tiba-tiba terasa lembek.

Belum sempat ia menyadari apa yang terjadi, kakinya kehilangan pijakan, dan tubuhnya kemudian meluncur jatuh.

---

William tidak yakin apa yang terjadi setelah ia jatuh dari sisi tebing. Sepertinya ia sempat pingsan karena kepalanya terantuk sesuatu, yang untungnya tidak parah karena tidak sampai pecah.

Pasti bukan terkena batu; mungkin hanya dahan pohon, atau permukaan air. Sebentar ... ya, ia masih ingat. Tanah yang dipijaknya longsor.

Kemudian ia meluncur, menerobos dedaunan yang cukup lebat, dan akhirnya jatuh di sungai.

Betul, untung ia jatuh di atas air. Kalau di batu, tubuhnya pasti sudah hancur lebur jadi bubur. Dan sekarang, bangun-bangun ia sudah terbaring di sebuah tempat yang cukup gelap, dan kelihatannya, untungnya, cukup aman.

Ia ada di dalam sebuah gua kecil yang tersembunyi di balik tirai air terjun. Sedikit cahaya datang dari luar. Sama sekali tidak terang, karena di sana masih hujan dan juga malam belum berlalu, tetapi cukup untuk membuat William bisa mengenali kondisi di sekitarnya.

Tubuhnya terbaring di atas sebuah batu besar yang relatif kering, karena terhalangi oleh dinding batu lain yang menahan cipratan air terjun yang jatuh ke sungai. Di samping batu tempatnya berbaring ada sungai kecil yang tenang di dalam gua. Namun ujungnya tidak jelas ada di mana.

Mungkin, bisa jadi, ini hanya merupakan ceruk air di dalam gua.

Namun dari kesemuanya itu, tentu saja, tidak ada yang paling bisa menarik perhatian William selain sosok gadis yang duduk membelakanginya, tak jauh di samping kirinya. Vida. Rambut panjang gadis itu dibiarkan terurai, tak lagi dikepang seperti biasanya, dan ... baru kemudian William sadar, bahwa gadis itu ternyata sedang memeras bajunya, yang dengan demikian ... artinya, tubuh bagian atasnya sedang telanjang.

Napas William tertahan. Tanpa ia sadari, suara kecil yang ia timbulkan justru membuat Vida menoleh.

Cepat-cepat William memejamkan matanya lagi, sambil berbisik panik, "Aku tidak lihat! Aku tidak lihat!"

"Heh! Jangan berisik." Vida langsung mendamprat.

Sepertinya ia lebih kesal karena mendengar suara William, bukan karena punggung telanjangnya dilihat.

"Maaf ..."

"Kalau memang sudah bangun, ya bangun saja."

Baiklah, jika itu diperbolehkan, kata William dalam hati.

Pelan-pelan ia membuka matanya, melihat Vida yang kini menghadap ke arahnya. Ia sedikit lega, karena ternyata gadis itu sudah memakai bajunya.

Namun perintah berikutnya dari gadis itu membuat William kaget.

"Buka bajumu." 

Northmen SagaWhere stories live. Discover now