Bab 39 ~ Bukan Kesalahan

260 99 2
                                    

Sementara mereka semua mendayung sekuat tenaga, di samping William si gadis berambut merah tampak kesal. Sepertinya ia ingin melakukan sesuatu tetapi tidak bisa. Mungkin ia juga ingin ikut mendayung. Sayangnya mereka tak punya dayung cadangan.

Tiba-tiba gadis itu berteriak sambil menunjuk ke salah satu sisi sungai di sebelah kiri. "Vida! Asterein! Avenidaaa!"

William tak paham apa yang sedang ditunjuk gadis itu, termasuk ketika kemudian dia mengucap serentetan kata-kata asing. 

"Asterein!" teriak gadis itu sambil melotot. "Esperei lou din aszter! Kniir!"

"Apa maksudmu?" seru William kesal di sela sengalnya.

"Kniir!" Gadis itu menunjuk lagi ke depan.

William memicingkan matanya. Ia tertegun begitu melihat seseorang yang berdiri di atas sebuah batu di tepi sungai dan memegang pedang panjang. William bisa mengenalinya walaupun dari jauh. Itu si gadis berambut kuning yang beberapa hari yang lalu menangkap kemudian melepaskan William.

"Dia menyuruh kita ke sana," kata Spitz dari belakang William. Napasnya mendengus-dengus kepayahan. "Menepi ... ke sana ..."

Thom yang berada paling depan menoleh sejenak. William melirik rekan-rekannya yang lain. Semua mendayung tanpa henti, tapi mereka pasti bertanya-tanya apa yang harus mereka lakukan sekarang. 

Pasukan Hualeg semakin dekat. William dan rekan-rekannya akan terkejar sebelum sampai ke Thaluk. Mungkin mereka memang harus mendarat di suatu tempat, kemudian lari ke hutan. Mereka bisa bersembunyi. Seandainya harus bertarung, William juga akan lebih percaya diri bertarung di daratan daripada di sungai.

"Ke tepi sungai!" serunya. "Kita ke sana, lari ke hutan!"

"Kau yakin ini bukan jebakan?" teriak Thom.

Si rambut merah gelisah, sepertinya sangat berharap William mau mengikuti ajakannya turun ke tepi sungai tempat gadis berambut kuning itu berada. Tentu saja dia mau begitu, supaya bisa kembali ke kelompoknya. Namun apakah ini pilihan yang baik juga untuk William? 

Tak ada yang pasti, kemungkinan terburuk pasti ada, tetapi jika mengingat kebaikan yang pernah dibuat si gadis berambut kuning padanya, mungkin William tak perlu merasa takut. Ia harus percaya, kedua gadis asing ini tidak memiliki niat buruk.

"Kita ke sana!" serunya. "Cepat!"

Mereka mendayung sekuat mungkin dan berhasil menjauh lagi dari para pengejar. Begitu sampai di tepi sungai William memotong ikatan di tangan dan kaki si gadis berambut merah. Mereka bergegas melompat keluar. 

Si gadis berambut merah berteriak gembira, tetapi gadis berambut kuning yang menunggunya hanya membalas dengan anggukan.

Tanpa mengucap sepatah kata gadis berambut kuning itu lari masuk ke dalam hutan. Semua orang langsung mengikutinya, membiarkan perahu mereka tak terikat. 

William berlari di belakang kedua gadis, menyusup di antara belukar dan pepohonan. Kelima prajuritnya berusaha untuk tidak tertinggal. Jauh di belakang, orang-orang Hualeg tampaknya juga sudah mendarat.

Di hutan yang semakin dalam William dan rekan-rekannya tiba di dataran yang menanjak dan berbatu-batu. Mereka mendaki, memutari lereng perbukitan. Tempat itu cukup tinggi, saat William menengok ke belakang ia bisa melihat aliran sungai dan beberapa perahu panjang Hualeg di bawahnya. 

Perahu-perahu itu kosong, tampaknya semua orang sudah turun untuk mengejar William dan teman-temannya. William memandangi kedua gadis ke depannya, lalu tertegun, begitu melihat tiga orang bersenjata kapak ada di atas bukit.

William buru-buru meraih pedang di pinggangnya. 

Untunglah si gadis berambut kuning mengangkat kedua tangan menahan. "Tenang! Bukan musuh!"

Gadis itu berkata dengan bahasa Hualeg pada ketiga laki-laki, lalu menoleh. "Sembunyi. Tunggu aba-aba."

William dan seluruh rekannya menyebar dan bersembunyi di balik batu, pohon atau semak belukar. Dengus napas dan langkah kaki pengejar terdengar dari bawah. 

William menggenggam erat pedangnya, melihat musuh yang muncul dari balik semak. Satu, dua, tiga dan banyak lagi. William sudah siap untuk keluar, tapi ia teringat pada ucapan sang gadis yang memintanya untuk menunggu.

Ternyata gadis itu keluar lebih dulu. Dia melompat, lalu menebas leher seorang prajurit dengan pedangnya sambil berteriak. 

William tak paham apa kata-katanya, tapi itulah aba-aba untuk menyerang. Ia keluar dan membunuh musuhnya yang paling dekat. Seluruh rekannya maju, demikian pula tiga laki-laki Hualeg teman si gadis berambut kuning. 

Pertempuran brutal terjadi di tempat sempit. Orang-orang Hualeg yang muncul dari bawah terkejut, tak sempat melawan dan terbantai. Tubuh-tubuh mereka terjungkal dari atas bukit dan jatuh ke hutan lebat di bawahnya. Mungkin ada belasan musuh yang tewas, dengan William dan si gadis berambut kuning yang membunuh paling banyak.

Setelah kelompok musuh pertama habis William dan seluruh rekannya menunggu. Mereka mendengar seruan-seruan dari bawah bukit. William yakin jumlahnya sangat banyak, dan pertempuran berikutnya akan lebih berat. 

Namun lengkingan panjang bergema ke seluruh penjuru lembah, seperti yang kemarin didengar William di Desa Thaluk menjelang pertempuran berakhir.

Si gadis berambut kuning berteriak, lalu berbalik dan memanjat dinding tebing di belakangnya. Gerakannya lincah seperti kucing. Dalam waktu singkat dia sudah tiba di atas tebing. Dia memandang jauh ke arah sungai.

William cepat-cepat memanjat. Ia tak segesit sang gadis, tetapi berhasil juga sampai di atas. Ia berdiri, mengikuti arah pandangan gadis di sisinya. Jauh di bawah tebing, lima perahu panjang Hualeg kembali bergerak. 

William mengikuti arah yang ditunjukkan si gadis. Lebih jauh di utara, dari balik kelokan sungai dan rerimbunan hutan lebat, tampak lima perahu panjang lain yang sepertinya akan bergabung dengan pasukan di depannya.

"Lima perahu, tambah lima yang baru datang. Semuanya jadi seratus lima puluh laki-laki Logenir," si gadis berambut kuning berkata, lalu menatap jauh ke puncak tebing di selatan. "Semua pergi ke desamu."

William terpana. "Mereka akan menyerang sekarang?"

"Malam ini."

"Tapi kami baru saja mengalahkan mereka kemarin!"

"Mornir dan orang-orangnya sudah lapar. Mereka tak akan buang-buang waktu." Gadis itu menoleh, memandangi William. "Orang-orang kamu akan kalah sekarang."

"Kami mengalahkan jumlah musuh yang sama kemarin, dan kami akan melakukannya lagi!" seru William. "Aku harus pergi sekarang."

Ia sudah bersiap-siap untuk turun, tapi si gadis menangkap lengan kirinya, menahannya. 

"Dengan apa?" tanya gadis itu.

"Apa maksudmu dengan apa?"

"Naik apa?"

"Naik perahuku, tentu saja!"

"Mornir pasti sudah hancurkan perahu kamu."

William terdiam, lalu kesal bukan kepalang begitu tersadar. "Berarti ini semua salah!" 

Ia menatap gadis itu dengan pandangan kesal. "Seharusnya aku tidak menepi! Seharusnya aku tidak menuruti kata-kata si rambut merah!"

"Kamu anggap bantuan dari aku sebuah kesalahan?" Si gadis menjawab William dengan dingin, sama sekali tak terpancing emosinya. "Kamu, dua hari yang lalu bunuh enam prajurit kami di hutan, kemudian culik adikku, itu adalah kesalahan. Prajuritku sebelumnya bunuh lima prajurit kamu, itu juga kesalahan. Tapi ini, bukan sebuah kesalahan."

Northmen SagaWhere stories live. Discover now