Bab 80 ~ Tempat Yang Lebih Bagus

266 76 2
                                    

"Jadi aku minta maaf ..." kata William, "... jika ucapanku tadi membuatmu berpikir kalau aku seperti itu. Aku hanya ingin tahu, dan mungkin hanya ingin bicara. Itu saja."

"Aku tahu," balas Vida singkat.

Di tengah-tengah keduanya Freya mengangguk gembira. "Nah, kalau ngobrolnya begini 'kan lebih menyenangkan."

"Berarti misi kalian sudah selesai?" tanya William "Setelah berhasil membunuh hewan itu, kamu lalu menemukan senjatanya? Jangan khawatir, aku tidak ingin melihat senjata itu, aku hanya ingin tahu apakah ini semua sudah selesai."

"Aku tidak menemukannya," jawab Vida.

"Jadi ... itu hewan yang salah?"

"Hewannya benar, tapi senjatanya tidak ada di sana."

"Jadi di mana?"

"Aku tidak tahu."

William memandanginya heran, karena untuk pertama kalinya ia melihat kegelisahan atau keraguan di wajah Vida. Mata gadis itu menerawang. Sepertinya ada banyak hal yang memenuhi benak gadis itu.

"Apa rencanamu sekarang?" tanya William.

"Belum tahu. Tapi berarti aku harus mencari lagi."

"Lalu kamu ingin aku ikut mencari juga?"

"Kalau itu ... terserah kamu."

Keduanya terdiam.

William coba memahami Vida. Untuk soal terakhir ini kelihatannya gadis itu cukup adil, tidak terasa seperti memaksakan kehendak. Mudah-mudahan benar begitu. William hendak menanyakannya untuk mendapat kepastian, tetapi kemudian menahan diri, karena bukankah kata-kata Vida sudah cukup jelas, bahwa itu terserah William. Anggap saja itu sebagai janji. Tinggal selanjutnya bagaimana keinginan William sendiri, apakah ia mau membantu Vida lagi, atau memilih kembali ke selatan seperti rencananya semula.

Freya berkata, "Hei, bisakah kita menjauh dulu dari pembicaraan yang berat-berat? Dari segala macam rencana begini begitu? Belum ada yang bisa kita lakukan, jadi jangan terlalu dipikirkan. Nikmati saja dulu perjalanan kita. Hei, Svenar, menepi ke sana. Sudah waktunya kita makan dan istirahat."

Itu sebenarnya perintah yang normal, tapi mengherankan bagi William, karena Freya kini tampak tegas. Gayanya tak lagi kekanak-kanakan. Apa yang membuatnya berubah? Atau jangan-jangan, dia aslinya justru begitu?

"Kita tahu tempat beristirahat yang lebih bagus," kata Vida. "Sedikit lagi di depan, lewat dua kelokan sungai." Ia meraih dayungnya sambil menatap William. "Kurasa kau juga sudah tahu tempatnya."

"Oh ya?" balas William, belum paham. "Hei, berikan juga satu dayung itu. Badanku sepertinya harus bergerak. Tidak enak diam begini terus."

Perahu pun kembali melaju.

Ternyata sampai cukup lama. Saat Vida bicara tentang dua kelokan sungai, William pikir jaraknya sudah dekat dan mungkin mereka bisa sampai di sana siang itu juga. Kenyataannya kelokan yang dimaksud masih cukup jauh. Sepertinya Vida punya definisi sendiri buat sebuah kelokan.

Mereka baru tiba di lokasi yang dituju menjelang sore.

Begitu sampai William tertegun, karena benar ucapan Vida bahwa ia juga sudah tahu mengenai tempat ini. Ada beberapa buah batu besar di tepi sungai, yang di belakangnya bisa dipakai buat menyembunyikan perahu, lalu ada jalan setapak ke dalam hutan. Tak jauh dari tepi sungai terdapat rumah kayu yang sudah lama terbengkalai. Itu adalah tempat William dan Vida bertemu pertama kali. Juga rumah yang dipercayai William sebagai rumah yang dulu pernah ditinggali oleh ayah dan ibunya, sekaligus tempat ia lahir.

Emosi William menggelegak, antara kerinduan pada sosok ayah dan ibunya, dan juga penasaran dari mana Vida bisa tahu tentang tempat ini. Sayangnya William belum punya kesempatan untuk bicara. Vida selalu sibuk mencari ikan dan kayu bakar, atau melakukan pekerjaan lain.

Selain itu, Freya sejak tadi menempel terus pada William, mengajaknya ngobrol tentang banyak hal. Freya terus bertanya tentang padanan kata untuk berbagai benda dalam bahasa orang selatan. William tidak paham kenapa dia begitu ingin tahu. Mungkin karena dia tidak mau kalah dibanding kakaknya. Atau mungkin, dia memang hanya ingin bicara pada William.

Akhirnya baru saat makan malam William bisa bicara pada Vida. Itu pun di depan Freya dan yang lain. Ada kemungkinan jawaban Vida akan singkat-singkat saja. William yakin Vida bakalan lebih banyak bicara kalau mereka hanya berdua, tetapi kapan lagi ia bisa bertanya kalau bukan sekarang?

Masih sambil mengunyah ikan bakar William bertanya, "Kalian dulu pernah beristirahat di tempat ini? Kapan?"

Vida memandanginya. "Beberapa hari sebelum kamu datang."

William manggut-manggut. "Dari mana kamu bisa tahu ... kalau di sini ada rumah buat beristirahat? Dari sungai 'kan tidak kelihatan."

"Aku tidak tahu ada rumah. Awalnya kami cuma ingin beristirahat di tepi sungai. Ceruk kecil di balik batu besar itu cukup tenang. Svenar lalu menjelajah untuk mencari kayu bakar, dan dia menemukan rumah ini. Rumah ini kosong, sudah lama tak ditinggali orang, jadi tak ada salahnya kami tinggali."

"Tapi waktu itu, kenapa hanya ada kamu?"

"Kami beristirahat semalam lalu besoknya berpencar, untuk mencari lokasi hewan itu, di hutan dekat sini, sampai jauh ke timur. Setelah beberapa hari aku yang kembali ke sini paling awal. Satu itu kamu datang juga ke tempat ini."

Itu masuk akal, kedengarannya.

"Menurutmu ... siapa yang dulu tinggal di sini?" tanya William seraya menengok ke arah rumah tua yang pintu dan jendelanya sudah agak rusak itu. Mungkin kalau dibersihkan dan diperbaiki rumah itu masih bisa ditinggali.

"Pemburu biasa."

William menyelesaikan gigitan terakhir di ikannya, lalu minum, tak ingin terlihat sedang memikirkan sesuatu.

"Kamu punya pertanyaan lagi?" Vida balik bertanya.

"Hm?" William mengangkat bahu. "Sedang kupikirkan. Aku harus bertanya sesuatu supaya aku bisa ... ngobrol denganmu. Haha. Betul, kan?"

"Kalau kamu belum menemukan pertanyaanmu, sekarang giliran aku yang bertanya." Ucapan Vida datar, tetapi entah kenapa terasa berbahaya.

"Silakan," kata William, sedikit curiga. "Tapi santai saja, ya."

"Kenapa kamu dulu datang ke rumah ini?" tanya gadis itu.

"Tugasku mengawasi apakah ada orang-orang Hualeg di sekitar sungai."

"Kenapa sendirian? Patroli biasanya minimal dua orang."

"Sudah biasa begitu. Dan lagi, yang lain harus kembali lebih cepat ke desa. Sayangnya ... mereka kemudian ... dibunuh oleh orang-orangmu."

"Ya, dan kita sudah pernah membahasnya," jawab Vida datar. "Kamu juga membunuh orang-orangku, dan kita sudah saling meminta maaf."

William mengangguk setuju, walaupun sebenarnya ia masih ragu, apakah orang-orang Hualeg ini sudah mau menganggapnya selesai.

Svenar, Gunnar atau Adhril kelihatannya bisa menerima kematian teman-teman mereka. Seperti kata Vida, bagi mereka mati hanyalah perjalanan menuju dunia berikutnya. Mereka yang mati bertempur akan dijamu oleh dewa dalam sebuah pesta yang dikhususkan bagi prajurit gagah berani.

Namun tetap saja, bukankah yang mati ini juga punya keluarga di negeri mereka sana? Apakah benar tidak akan ada dendam sama sekali?

Rasanya tidak mungkin. Dendam pasti ada.

Northmen SagaWhere stories live. Discover now