Bab 89 ~ Bukan Orang Biasa

Start from the beginning
                                    

"Aku serius." Dia menatap William lekat-lekat. "Panas tubuhmu berbeda. Apalagi jika sedang ... begini." Lalu cepat-cepat ia menggeleng. "Maksudku, begitulah. Seperti api."

"Jika memang seperti api, berarti sedari tadi aku menyakitimu?"

"Tidak. Api itu kiasan. Maksudku, jika ada kamu, entah bagaimana, orang-orang di sekelilingmu mungkin tidak perlu menyalakan lagi api unggun."

"Itu kiasan?" William nyengir. "Tidak usah berlebihan!"

"Kenapa? Walaupun aneh, kenyataannya begitu. Dan ketiga."

"Masih ada lagi?" seru William.

"Ya, dan ini yang paling penting. Aku harus menunjukkan ini."

Vida meraih tasnya dari sudut gua, yang selama ini selalu dibawanya. Gadis itu mengeluarkan sebuah benda yang ditutupi oleh kain. Vida membuka lipatan-lipatan kain itu. Batu hitam berbentuk lonjong, dengan lebar kira-kira hampir sejengkal tampak di sana. William memperhatikannya. Ia tidak tahu itu batu apa, tetapi rasanya tidak asing. Ia seperti pernah melihatnya.

"Batu apa itu?" tanya William lirih.

"Kamu tidak ingat?" Vida balik bertanya. "Sama sekali?"

"Tidak."

"Ini ... batu yang kamu temukan setelah membunuh hewan di gua itu."

William termangu. "Aku tidak ingat."

"Setelah membunuhnya, kamu melihat batu ini di dekat hewan itu," jelas Vida. "Aku tidak yakin, apakah selama pertarungan batu ini ada di sana, atau baru keluar dari dalam mulutnya. Tapi yang jelas ... batu ini adalah benda yang kucari selama ini."

William menarik napas pelan. "Dan selama ini kamu menyembunyikan batu itu?"

"Maaf." Vida membelai pipi William. "Seperti kukatakan saat di gubuk Helga, aku tak mungkin bilang jika ada banyak orang lain di sekeliling kita."

"Kamu juga bilang, kamu baru akan menjelaskan soal ini semua setelah kita bertemu dengan Helga. Kenapa jadi sekarang?"

"Setelah semua yang kita lakukan bersama di sini, buat apa lagi aku menyimpan rahasia darimu?"

William mengangguk-angguk. "Batu apa itu? Kenapa kamu mencarinya?"

"Kamu masih ingat cerita Freya saat di perahu? Tentang legenda makhluk bernama Ethrak yang menyimpan senjata milik Anthor, Dewa Guntur?"

"Ya. Martil, kan, senjatanya? Saat kutanya, kamu bilang saat itu tidak menemukan benda yang kamu cari. Jika ternyata sejak awal kamu tahu bahwa benda yang kamu cari itu adalah batu ini, bukannya martil, itu artinya saat itu kamu berbohong."

"Ya, aku berbohong saat itu. Maaf," kata Vida pelan.

"Setidaknya kamu jujur saat ini. Benar?"

"Aku sedang berusaha jujur. Kalau ternyata bohong lagi, pukul saja aku."

William nyengir. "Aku akan mencari cara lain buat menghukummu."

"Dasar mesum." Vida cemberut.

"Apa? Kenapa jadi--?"

"Boleh aku lanjutkan ceritaku?"

"Ya!"

"Ceritaku akan sangat panjang, jadi kuharap kamu sabar." Vida berbaring merapat lagi di samping William. "Freya telah bercerita tentang legenda yang banyak diyakini orang-orang Hualeg. Sekarang aku akan ceritakan legenda lainnya, yang lebih tua. Terserah apakah kamu percaya atau tidak, tetapi aku mendengar ini dari Helga, dan aku percaya padanya.

"Ini kisah dari awal masa, saat bangsa kami belum terpecah menjadi banyak suku. Leluhur kami, Madnar dan Fyrsta, berasal dari langit, atau Himinar. Mereka diturunkan di daratan es paling utara di muka bumi, sebagai hukuman atas kesalahan yang mereka perbuat di langit.

"Oleh para dewa mereka diberikan sepasang batu hitam, sebagai pemersatu dan pemberi kekuatan. Dengan sepasang batu itu mereka bisa bertahan hidup di daratan es yang dingin. Tetapi setelah memiliki keturunan, mereka ragu bahwa mereka semua akan bisa hidup selamanya di sana. Mereka bermigrasi ke selatan dan tinggal di tanah yang kini dikenal dengan nama Hualeg. Mereka bertemu dengan suku kuno yang tinggal di hutan, lalu beranak pinak hingga jumlahnya semakin banyak.

"Madnar dan Fyrsta sendiri sebenarnya hanya punya satu anak, Ardnar. Sedangkan dari istrinya yang kedua, Erena, yang berasal dari suku hutan, Madnar mempunyai lima anak. Semua keturunan mereka lalu disebut sebagai orang-orang Hualeg. Namun mengenai keberadaan sepasang batu hitam itu sendiri hanya diketahui oleh keturunan Madnar dan Fyrsta, atau keturunan Ardnar, dan disampaikan secara turun temurun dari kepala suku—kami menyebutnya Hardingir—ke kepala suku berikutnya."

"Dari kepala suku ke kepala suku. Tapi, kamu tadi bilang mengetahui cerita ini dari Helga," sela William. "Dia bisa tahu, padahal dia bukan kepala suku?"

Northmen SagaWhere stories live. Discover now