Bab 88 ~ Melepaskan Semuanya

Start from the beginning
                                    

"Kenapa?"

Vida tidak menjawab.

William mengangguk-angguk. "Baiklah ..."

"Kamu akan mengerti nanti," jawab Vida pelan.

"Begitu? Oke. Jadi, artinya, aku ... tidak bisa berharap apa-apa darimu?"

"Maksudmu?" Gadis itu balik bertanya.

"Kamu paham maksudku," tukas William, lalu melanjutkan tanpa basa-basi, "Aku menyukaimu, Vida. Aku tidak bisa berharap kamu akan balas menyukaiku?"

Vida terdiam, cukup lama, sebelum menjawab, "Aku ... tidak tahu. Aku tidak tahu, apa itu bisa. Mungkin kita tidak akan pernah punya kesempatan."

"Kesempatan?" William mendengus kesal, untuk menutupi kekecewaan yang tiba-tiba muncul. "Aku tidak paham maksudmu. Kamu bicara seolah-olah kita mau mati hari ini. Ya, itu mungkin saja, kita tidak bakalan tahu. Ya sudahlah. Mungkin sebaiknya kita memang tidak usah membicarakan hal ini."

Ia menjauh, lalu memperhatikan tirai air terjun sekitar enam meter di depannya. Baru ia sadar, bahwa ternyata di luar sana sudah terlihat lebih terang. Matahari telah terbit, dan mungkin hujan juga sudah benar-benar berhenti. Ia tak menyangka, pembicaraannya dengan Vida ternyata berlangsung cukup lama. Atau mungkin, ketika ia bangun tadi sebenarnya juga sudah menjelang fajar. Keduanya terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Kurasa sebaiknya kita keluar." William berusaha menekan perasaannya, yang entah kenapa rasanya sangat tidak enak sekarang. Suaranya terdengar berat, jantungnya berdegup tidak karuan. Ia yakin belum pernah mengalami hal semacam ini. Perasaan apa ini? Marah? Kecewa?

Ya, ia paham dua hal itu. Tapi muncul meledak-ledak tanpa terkendali gara-gara perempuan? Konyol sekali. Menyebalkan. Menyebalkan, karena ia tahu sebenarnya ia memang tidak boleh berharap apa-apa dari Vida.

"Hari sudah terang," kata William, "dan aku tidak mendengar lagi suara-suara anjing itu. Mungkin mereka sudah pergi jauh, atau bahkan sebenarnya tak pernah mencari sampai ke sini. Mungkin juga Freya sudah datang, kan? Aku akan melihat-lihat."

"Jangan," suara Vida terdengar lirih dari arah belakang.

Lengan kiri William kini dipegang erat oleh gadis itu.

William menoleh kesal, "Apa lagi? Kita tetap harus memeriksa keadaan. Memangnya kamu mau di sini terus? Kita harus keluar."

"Jangan. Masih berbahaya."

"Aku lapar. Kita harus cari makan."

"Nanti saja. Kumohon, jangan pergi sekarang."

William tertegun. Vida beringsut maju, keluar dari sudut gelap gua, mendekatinya. Tatapan gadis itu lurus. Jemari gadis itu, yang sebelumnya mencengkeram erat pergelangan tangan William, kini terlepas, kemudian naik ke atas, menyentuh leher William lembut, dan akhirnya pipinya.

Jantung William berdegup liar, tubuhnya membara.

Sesuatu muncul dari dalam dirinya tanpa mampu tertahan, begitu gadis itu pelan-pelan memeluknya.

Gadis itu berbisik di samping telinganya, "Tetaplah di sini, hari ini."

"Vida ..."

William masih bingung bagaimana harus menanggapinya, dan belum yakin bagaimana harus mengendalikan gejolak yang kini menguasainya.

Namun Vida memeluknya semakin erat. Hembusan napas gadis itu juga terasa semakin cepat menyapu wajahnya.

Akhirnya William memutuskan membalas pelukan itu, dan membiarkan tubuhnya terbaring, dengan tubuh Vida semakin rapat di atasnya.

Vida mengangkat wajahnya. Keduanya berpandangan.

William bertambah bingung, begitu melihat titik air yang bergulir jatuh dari sudut mata gadis itu. "Vida? Kenapa ...?"

"Ini," bisik gadis itu, "mungkin satu-satunya saat ... kita bisa bersama."

Bibirnya mencium bibir William dengan emosi penuh.

Tersentak, William langsung membalas dengan emosi yang lebih besar.

Mereka berpelukan semakin erat, kemudian melepaskan semua perasaan yang ada di dalam diri mereka.

Semua yang masih melekat di tubuh mereka.

Semua batas dan halangan. Tak ada lagi yang perlu ditahan. Tak ada lagi yang perlu disangkal.

"Aku mencintaimu, Vida."

"Aku mencintaimu, William."

Hari itu keduanya saling menyerahkan diri, dan bersatu.

Northmen SagaWhere stories live. Discover now