Bab 12 ~ Demi Tiga Keping

Start from the beginning
                                    

William mengajak Muriel menyusuri jalanan berbatu di samping bukit. Tak banyak obor-obor yang dipasang di kiri atau kanan jalan. Untungnya sinar bulan membuat kegelapan malam menjadi sedikit berkurang.

Selama berjalan William tak banyak bicara, hingga akhirnya Muriel yang berkata, "Kakak kelihatan kesal."

"Tidak. Hmm ... ya, mungkin. Sedikit."

"Kenapa?"

"Entahlah." William teringat, di saat malam seperti ini kemarin ia masih sempat berbincang-bincang dengan ibunya, di mana ibunya akhirnya menceritakan banyak hal tentang masa lalu mereka. Ia kembali sedih.

Muriel tersenyum, sepertinya tahu apa yang ada dalam benak William. "Kurasa ibumu sudah tenang dan berbahagia di sana."

"Aku tahu." William membalas senyumannya.

"Kalau Kakak masih sedih, kenapa pergi ke tempat macam begini?"

"Rogas bilang, kalau sedang sedih, sebaiknya kita bersenang-senang dulu, supaya nanti bisa merasa lebih baik."

"Apa Kakak merasa lebih baik sekarang?"

"Tidak juga."

"Nah! Sudah kubilang Rogas itu menyebalkan, dan membawa pengaruh buruk buat kita. Kakak tidak mau percaya!"

William tertawa kecil. "Ya, kamu benar. Makanya kalau aku bertemu lagi dengannya, aku akan menghajarnya."

"Bagus! Aku juga mau ikutan!" Muriel mengacungkan kepalan tangannya.

Keduanya tertawa.

"Terus tadi ada urusan apa sama orang berjubah hitam itu?" tanya Muriel.

"Mornitz? Dia sedang mencari prajurit bayaran, dan Rogas bersedia." William diam sesaat. "Dan awalnya, sebenarnya aku ingin ikut juga."

Dahi Muriel berkerut. "Maksud Kakak?"

"Tadinya aku ingin ikut. Tapi Mornitz hanya butuh satu orang."

"Kalau Kakak pergi, bagaimana dengan pekerjaan Kakak di bengkel?"

"Aku tidak akan selamanya bekerja di bengkel, Muriel." William memandangi gadis bertubuh kecil di sampingnya. "Suatu hari nanti aku akan pergi."

Muriel melongo, sepertinya tidak menyangka. "Berarti ... Kakak akan meninggalkan kami? Aku dan ayahku?"

"Ada banyak hal yang ingin kulakukan. Aku pernah cerita, bukan? Aku ingin pergi ke tempat-tempat lain. Ke negeri-negeri lain. Dari cerita-cerita, semua kelihatannya menarik. Tapi aku tidak akan pergi sekarang." William meringis dan mencoba tertawa.

Namun Muriel tak ikut tertawa. Wajahnya muram. 

"Kalau Kakak pergi ..." katanya ragu, "... apa aku boleh ikut?"

"Ha? Mana mungkin? Ayahmu akan menghajarku lebih dulu."

"Kalau aku sudah besar, terserah aku mau melakukan apa!"

"Tetapi ayahmu membutuhkanmu di sini. Kamu mau meninggalkannya?"

"Kami berdua membutuhkanmu di sini. Tapi Kakak tetap mau pergi!"

Keduanya terdiam.

Sampai beberapa lama keduanya berjalan tanpa kata-kata, sampai akhirnya William menukas, "Sebaiknya kita bicara soal lain saja."

"Pokoknya aku senang Kakak tidak pergi bersama Rogas!" sahut Muriel. "Aku punya firasat buruk kalau Kakak pergi dengannya!"

William tertawa. "Padahal kalau aku bisa mendapat uang darinya, aku bisa memberikannya sebagian ke kamu."

"Aku tidak peduli!"

"Paling tidak, mestinya aku mendapat tiga keping sazet itu."

"Ha? Tiga keping apa?"

"Mornitz bilang, kalau aku bisa membawa Rogas kepadanya aku akan diberi tiga keping," jawab William.

"Dan dia tidak memberikannya?"

"Tidak."

"Kenapa tidak minta?" tanya Muriel dengan suara tinggi.

"Ya ... sepertinya dia lupa." Dalam hati William berpikir, apakah benar Mornitz lupa? "Sudahlah, mungkin aku tidak membutuhkan uang itu."

"Tiga keping sazet itu lumayan!"

William menyeringai. "Iya, lumayan. Bisa kita pakai untuk memesan kamar di sini, kalau kamu mau, hm?"

Muriel menggeram dan langsung meninju lengan William kuat-kuat. Pemuda itu meringis, kemudian tertawa lagi.

"Tapi benar juga." William termangu. "Kenapa aku tadi tidak minta, ya?"

"Betul!"

"Itu hakku!"

"Betul!"

"Ya sudah, aku akan kembali ke kedai dan meminta uang itu pada Mornitz." William langsung membalikkan badan.

"Eh, eh!" Muriel yang terkejut cepat-cepat menahan lengannya. "Kakak mau kembali? Tidak usah! Maksudku tadi, lain kali kalau ada kejadian begini, lebih baik Kakak bilang padanya, tidak usah ragu-ragu! Cuma itu!"

"Aku akan kembali," jawab William keras kepala. "Jarak ke kedai belum jauh. Kenapa? Kamu tidak ikut dan mau langsung pulang?"

"Oh, tentu saja aku harus ikut!" tukas Muriel. "Sekali lagi, untuk memastikan Kakak tidak berbuat sesuatu yang bodoh."

Northmen SagaWhere stories live. Discover now