Siswi itu menggigit bibir, tampak canggung. Dia tanpa mengatakan sepatah kata pun, berlari menjauhi anak basket tanpa permisi.

"Suka karena fisik ternyata." seseorang mendecak, "sial. Semua cewek sama saja."

"Nggak semua. Tapi yang begitu cuma cewek 'kan." Filosofi merebut cemilan kemasan salah seorang anggotanya dan menjilati satu keping cookies cokelatnya, sebelum menyodorkannya ke bibir Purnama. Itu bekas lidah.

Tanpa ragu, Purnama melahap cookiesnya langsung dari tangan Filosofi. Dahinya mengernyit. "Agak basah."

"Ada ludahnya Filosofi. Sudah dijilat," sahut cowok yang tanpa sengaja menangkap aksi jahil Filosofi.

Purnama menelan cookiesnya. "Rasanya menjijikkan."

Tidak ada sahutan. Sementara Altezza memfokuskan atensinya pada salah seorang cewek yang baru keluar dari ruang musik. Dia, "Luka," tanpa sadar Altezza menepis tangan Filosofi dan kakinya melangkah mendekati Zee.

Zee menghentikan langkahnya saat merasakan tatapan seseorang menembus punggungnya. Dia menyentuh tengkuknya, merinding. "Kok suasananya tiba-tiba berubah horor, sih," Zee sedikit memutar badan. Rasanya seperti ada yang mengaduk-aduk perutnya dengan garpu. Altezza berdiri menutupi penglihatannya. Cowok itu melihat Zee dari ujung rambut sampai ujung kaki tanpa berhenti di satu titik —sebuah tatapan singkat dan menusuk.

"Ada apa?" Zee mengatur tempo pernapasannya.

"Nggak apa-apa," ekspresi wajah Altezza berangsur santai. "Lo baik-baik saja, kan?"

"Gue juga nggak tau." Zee menyentuh lukanya. Dia menipiskan bibir. "Apa gue boleh baik-baik saja?"

Diluar dugaan, Altezza membungkuk mendekati Zee sembari menyipitkan mata seakan hendak memeriksa lukanya. Tidak separah yang dia duga. Satu tangannya merogoh saku dan mengambil plester. Dia mengigit bungkusnya. Senyum sinis terukir di sudut bibir Altezza saat cowok itu memplester lukanya. "Cuma luka kecil."

"Ya. Dan lukanya nggak sakit sama sekali," nadanya terdengar tersinggung.

Altezza terkekeh, lalu menunjuk perban luka yang melilit sebagian dahi. Meskipun Altezza jauh lebih terluka, dia tidak merasakan apa-apa. 'Karena tubuh ini sudah terlalu terbiasa,' batinnya.

Tiba-tiba suara Pak Ganteng terdengar. Pria itu entah kapan sudah berdiri di belakang Altezza. "Jejak, Luka. Hari ini kalian yang membereskan gudang." Pak Ganteng menyerahkan kunci gudang pada Altezza. "Sebagai hukuman karena keterlambatan kalian dua hari belakangan. Dan catat, saya tidak menerima penolakan."

_LUKA_

Pelan-pelan, Zee membuka pintu gudang dan meringis saat melihat betapa kotornya gudang tersebut. Di setiap dinding terdapat coretan tangan nakal siswa SMA Gatlantra yang tidak beradap. Gudang ini gelap, nyaris tidak memiliki penerang. Satu-satunya celah cahaya untuk masuk ke dalam gudang hanya melalui jendela kecil yang berada di sudut kiri ruangan. Patung-patung tengkorak berdiri sejajar pada setiap sudut bangunan, angker.

"Seram juga," gumam Zee.

Altezza menyingkirkan Zee. Dia masuk lebih dulu ke dalam gudang yang terkenal dengan cerita seramnya. Cerita tentang hantu gentayangan yang menurut Altezza hanya omong kosong belaka. Cowok itu menekan sakelar.

Hanya beberapa detik setelahnya, lampu gudang kembali padam -mati menyisakan gelap.

"Lo bawa handphone, Ezz?" tanya Zee sembari meraba-raba saku depan-belakang celana Altezza. Tanpa sadar tangannya menyentuh sesuatu yang seharusnya tidak cewek itu sentuh. Cepat-cepat, Zee menarik tangannya kembali dan menyalakan senter sebagai penerang. Dia berjalan di belakang Altezza, menyusuri gudang bekas lab kimia.

Dulu, gudang ini dipakai siswa untuk melakukan eksperimen tidak berfaedah yang nyaris membuat gudang ini rata dengan tanah. Lebih tepatnya sih, hangus terbakar.

"Lo nggak takut gelap?" Zee bertanya di sela-sela kebosanannya. Dia menatap Altezza yang terlihat cuek terhadap kegelapan di sekelilingnya. "Satu hal yang bisa gue prediksi, lo pasti sangat suka hal-hal yang berbau dark, 'kan?"

Langkah Altezza terhenti. Dia melirik Zee. "Gue haus."

Memutar mata sebagai keluhan, Zee merogoh saku ranselnya dan membuka tutup botol air mineralnya. Altezza membuka mulut. Bibir bawahnya yang tebal mengalihkan perhatian Zee. Cewek itu mencengkeram tengkuk leher Altezza dan meminumkannya seperti seorang balita. Detik selanjutnya, Altezza menepis tangannya dan langsung menyemburkan air dalam mulutnya —mengenai wajah Zee, tepat sasaran.

"Goddamn it." Zee memaki.

Altezza tertawa serak. "Mendekat."

Kata-kata itu membuyarkan segalanya. Detik selanjutnya, Altezza membuat Zee terkejut saat cowok itu menarik pinggangnya mendekat, hingga dia bisa merasakan lengan Altezza yang dingin menyentuh kulit sikunya.

Zee memalingkan muka. "Lo bau debu."

Altezza merogoh sakunya dan mengeluarkan satu batang rokok. Cowok itu menyalakan pemantik dan membakar ujung rokoknya, mengabaikan tatapan tajam Zee yang menghujamnya. "Kenapa. Lo mau satu?"

"Gue nggak merokok saat masih sekolah."

"Oh. Itu artinya lo akan merokok saat kita lulus?"

"Gue bahkan nggak suka saat rokok menyentuh bibir. Soalnya bau." Zee menjilat bibirnya yang mendadak kering. "Gue lebih suka menghisap permen lollipop dibandingkan rokok."

Seleranya mirip anak-anak. Altezza membuang pemantiknya dan menghisap batang rokoknya —santai. Zee melirik Altezza sekilas dan kembali fokus menghirup udara kotor di sekelilingnya. Cowok itu menyibak rambutnya yang menutupi dahi. Sementara atensi Zee kembali terkunci pada satu cincin yang terpasang di jari manis sang kapten basket.

"Lo suka Cadenza?" / "Lo suka gue?" dua pertanyaan berbeda. Zee dan Altezza mengatakan kalimat itu di detik dan waktu yang nyaris sama.

1,3k word.

CACAT LUKAWhere stories live. Discover now