EXTRA PART

8.6K 677 48
                                    

Berbulan-bulan sudah kejadian di mana belahan jiwanya harus meregang nyawa. Lelaki itu hanya bisa merenung di tengah kesendirian. Masih teringat jelas saat tubuh itu dalam dekapannya.

"Kau mau sampai kapan terkurung begini? Tak mau menuntaskan pesan terakhir dia?" Derric kala itu memasuki ruang kerja pangeran mahkota. Sebab kejadian tragis tersebut sudah menyebar di sepenjuru benua, pihak academy meliburkan kegiatan. Alhasil mereka berada di kediaman masing-masing.

"Bukan hanya dirimu yang terluka, kami juga. Bagaimana perasaanku saat seharusnya aku melindunginya harus pergi jauh dari Nona. Melihat raganya yang tak bernyawa, aku gagal bukan?" racau Derric. Penampilan lelaki itu tak beraturan. Kantung hitam di bawah mata, kumis semakin lebat dan kulit wajah menggelap.

Fakta mengenai sihir cahaya dan Glacia memiliki mate memang sudah diketahui berbagai pihak, hanya saja terbatas para orang-orang yang terlibat pada kejadian itu.

"Apa aku ikut menyusulnya saja?" gumam Evan.

DAK!

Tanpa segan Derric menggeplak kening lelaki itu. Berharap calon raja itu segera sadar. Bukannya hal yang diharapkan, Evan masih saja duduk dengan linglung.

Baiklah, ia akan menggunakan senjata terakhir.
"Sehari sebelum kejadian itu, Glacia menitipkan dirimu pada kami. Kau tahu alasannya? Jawaban masa lalu kalian ada di orang yang akan dirimu temui sekarang. Mungkin ada cara juga mengembalikan kehidupan Nona."

Maafkan, aku Glacia. Aku terpaksa berbohong.

Binar di kedua mata Evan sudah menjadi bukti adanya harapan. Derric menyeret pangeran itu agar keluar dari sini. Tak ada penolakan meski raganya belum dikuasai sempurna.

Evan tak sadar dirinya berada di mana, jiwa raganya seperti telah kosong. Jika saja mata tak berkedip dan embusan napas terasa mungkin saja dia akan dianggap telah tiada.

Derric melihat itu hanya terdiam. Tak ada kata penghiburan yang dapat ia katakan. Kehilangan masih terbekas dalam hatinya. KEGAGALAN! Itulah kata yang tersemat di pikiran. Ia tak mampu melindungi Glacia, tugasnya telah gagal. Sampai sekarang Derric belum berkunjung ke makam nonanya itu.

Sampai di tempat tujuan para pelayan dan prajurit membungkuk hormat pada orang di sampingnya. Sementara Evan hanya diam memandang kosong ke depan. Entahlah, di mana pikirannya sekarang.

Langkah Derric berhenti, ia menarik Evan untuk berhenti juga.

"Untuk apa kalian ke sini?"

Belum sempat Derric memberi salam, sarkasan itu menghentikannya.

"Saya ada perlu dengan Duchess Kalla."

"Ibuku tidak dapat ditemui sekarang," hadang Joan menatap tajam ke arah dua pemuda itu.

Sudut bibir Derric naik, "Lalu kami bisa menemui beliau kapan? Besok? Lusa? Aku yakin dirimu akan tetap menolak kedatangan kami," sindirnya menggunakan bahasa informal.

"Berani-beraninya kau berkata tak sopan santun padaku?!"

Emosi Joan kali ini mudah terpancing ternyata. Derric paham alasannya.

Ia menghela napas mengontrol nada bicaranya agar tak mengundang emosi. "Aku datang ke mari membawa pesan terakhir Nona Glacia, tolong jangan membuat amanahnya tidak terlaksana."

Mendengar nama itu tubuh Joan bergetar, Derric sempat melihatnya sebelum Joan mampu mengendalikan lagi. Dia memalingkan muka. "Aku harus pergi, tanyakan saja kamar ibu pada para pelayan."

Setelah itu Joan meninggalkan Derric dan Evan. Masih di tempatnya, pandangan Derric menyendu.

Lihatlah, Cia. Kepergianmu membawa kesedihan pada kami semua.

[1] Glacia The Villain's [END]Where stories live. Discover now