21. POV ARMAND | Titik awal kehancuran

4K 552 2
                                    

"Aku tak tahu bila keputusanku akan memberikan cinta sekaligus luka saat kita berjumpa."

- Armand De Stuart -

"Yang Mulia Raja memberi perintah agar Anda menerima pertukaran pelajar ke Academy Adena." Dilon--tangan kanan ayah--menyampaikan perintah darinya. Aku memalingkan muka enggan memberi jawaban.

"Pangeran apa Anda mendengar saya?"

Aku meliriknya tajam, jika tidak dibegitukan Dilon akan terus mengoceh dengan mulut menyebalkannya itu. Apapun yang menyangkut ayah selalu membuatku emosi. Pria licik dan kejam itu bahkan tidak mau memberi perintah langsung di depannya. Hah, jangankan memberi perintah menampakkan diri saja tak pernah seolah aku sebuah kuman penyakit, patut dijauhi.

"Suruh dia mengatakannya sendiri padaku," jawabku datar. Dilon paham rahasia hubungan ayah dan anak ini yang tak pernah harmonis--segera mengangguk dan berbalik pergi.

Aku mendengus jengah, mau sampai kapan pria itu menanamkan ego tinggi? Bukan salahku bila membencinya hingga kini bahkan Clare harus menjadi korban darinya.

"Kakak." Tepukan di bahu menyadarkanku. Seorang gadis cantik bersurai emas yang tak lain Clare tersenyum menyapa.

"Iya?" balasku padanya.

Clare menyipitkan mata seolah menilai wajahku. "Ada masalah lagi?" Dan dia begitu paham akan hal itu. Satu-satunya orang yang mengenal diriku hanyalah dia.

"Orang itu menyuruhku untuk ikut pertukaran pelajar."

Mata Clare membulat lebar. "Bukannya nama-nama muridnya sudah ditentukan minggu lalu? Dan Kakak tidak ikut, kan?"

Aku mengedikkan bahu. "Pasti dia mempunyai maksud tertentu di otak liciknya."

Terdengar helaan napas darinya. "Sampai kapan Kakak tidak mau memanggil orang 'itu' ayah? Dan jangan berpikiran buruk terus padanya."

Pembelaan Clare menyulut emosiku, tapi sebisa mungkin aku tahan. "Kenapa kamu membelanya?"

"Tidak salah membela ayah, bukan?"

"Kamu lupa tindakannya selama ini pada kita?"

"Setiap orang pasti punya kesalahan dan kita wajib memberikan kesempatan. Tugas kita berdua agar ayah kembali seperti dulu."

"Tapi, dia tidak akan pernah berubah!" tegasku memandangnya tajam.

"Kak--"

"Bisakah kamu keluar? Aku ingin istirahat." Aku membalikkan punggung tak kuat melihat tatapan sendunya. Terjadi keheningan di antara kami sampai gesekan alas kaki perlahan menjauh.

Kupijat kening yang semula baik-baik saja kini terasa ditusuk beribu jarum. Membahas mengenai pria itu ternyata bisa menimbulkan penyakit. Memilih merebahkan diri di ranjang berharap hari ini bisa berlalu dengan cepat seperti hari-hari lainnya. Latihan pedang, etiket pangeran, wawasan kerajaan dan sebagainya sebenarnya adalah jadwal padatku hari ini. Biarlah aku membolos. Toh, mereka juga tidak rugi apapun.

Baru mataku terpejam, ketukan di pintu mengurungkan niatku. "Yang Mulia Pangeran."

Suara familier menyebalkan itu hadir lagi. "Masuk," sahutku malas.

"Hormat saya Yang Mulia Pangeran." Dilon memberi salam hormat.

"Hm."

Pria beberapa tahun lebih tua dariku itu melebarkan sebuah kertas. Mataku mengikuti gerak-gerinya. Masih dalam keadaan berbaring yang tentunya dipandang tidak hormat untuk bangsawan apalagi seorang pangeran, dan aku memang sengaja membuatnya kesal. Terbukti ada kerutan di keningnya saat tadi menatapku.

[1] Glacia The Villain's [END]Where stories live. Discover now