13. POV GLACIA | Seharusnya

9.2K 1.2K 7
                                    

Jika aku boleh memilih, lebih baik aku hidup sendiri daripada terus tersakiti

•••

Ada yang nungguin Glacia, gak?
Komennya boleh, dong 😁

HAPPY READING!

•• Glacia The Villain's••

Rengkuhan erat sepanjang malam membuat tubuhku begitu kaku. Bukan saja karena posisi tak nyaman, tapi jantung ini bukan main berdetak kencang. Ada rasa nyaman dan menyesakkan secara bersamaan. Aku juga tak tahu makna perasaan ini.

Jatuh cinta? Tidak mungkin. Jika Cia dulu memang mencintai lelaki di belakangku ini, maka sekarang hanya ada benci di dalam hatiku. Aku yakin itu.

Matahari sudah mulai terbit dan mataku sejak tadi terus terbuka. Terlalu sibuk karena pikiran hingga lupa cara untuk kabur.

Rengkuhan Evan mulai melonggar tanpa aku sadari. Aku mencoba bangkit perlahan agar dia tidak terbangun. Bisa gawat jika ketahuan.

Andai saja kekuatanku sudah dapat aku serap secara sempurna, maka untuk keluar dari sini tinggal teleportasi. Tetapi, kenyataannya tidak.
Huft, menyusahkan saja.

Berjengkit mendekati pintu, tanganku sudah memegang gagang pintu sebuah suara membuat sedikit tersentak.

"Mau ke mana Cia?"

Aku menoleh ke arah Evan, rupanya dia sudah bangun.

"Keluar."

"Tidak boleh."

Jawaban tegas itu membuatku menyernyit. Apa-apaan, sih seenaknya saja.

"Apa hakmu melarangku?" jawabku dengan wajah datar dan dingin. Bahasa formalku hilang begitu saja.

Evan turun dari ranjang dan mendekat perlahan ke arahku. Dia pikir aku akan terintimidasi? Dalam khayalannya saja!

Hanya berjarak lima langkah lagi dia sudah bisa menjangkauku, langkahnya berhenti. Dia bersedekap dada. "Katanya aku tidak boleh jauh-jauh darimu. Berarti kamu harus terus di sampingku setiap saat."

"Aku bukan pelayan."

Evan menganggukkan kepala acuh. "Memang bukan, kamu kan tunanganku."

"Hei,--"

Suara ramai-ramai di luar sana membuat ucapanku terhenti. Aku dan Evan saling berpandangan penuh tanya. Sepagi ini biasanya para murid masih di kamarnya masing-masing. Jadi aneh, ada orang berkeliaran di luar.

Ketukan pintu membuat tatapan kami terputus, aku tetap bergeming. Semoga saja Evan paham maksudku yaitu menyuruhnya yang membuka pintu.

"Apa?"

Aku mendengus kesal. "Buka pintunya."

Gelengan kepala yang aku dapat, dia malah duduk kembali di atas ranjangnya. Evan pikir aku akan mengalah? Tentu saja tidak. Segera saja aku tendang betisnya membuat Evan meringis, rasakan itu!

"Kamu itu, ya belum menjadi istri sudah bermain kasar."

Mataku melotot sebagai respon, tanganku sudah gatal menjambak rambut hitamnya itu. Belum niatku terlaksana ketukan pintu terus terdengar lebih membabi buta dari awal tadi.

Sambil meringis dan sesekali mengusap betisnya, Evan berjalan ke arah pintu. Baguslah, dia mau mendengarkan perintahku.

Begitu terbuka, beberapa siswa-siswi dan guru berdiri di sana. Tatapan mereka berbeda-beda membuatku bingung.

[1] Glacia The Villain's [END]Onde as histórias ganham vida. Descobre agora