Eps.52 - Panggung Pelaminan (Epilog)

Mulai dari awal
                                    

"Ngaco!" Ayya mencubit lengan Arraja dengan kencang.

"Aaw, gila sakit banget." Arraja mengusap lengannya. "Lihat noh, mata lo bengkak jadi makin jelek muka lo." Cowok itu lalu melepas kacamata hitamnya, kemudian mendekatkan wajahnya ke depan Ayya.

"Iiiih jahat." Ayya sudah bersiap menampol pipi Arraja dengan keras, namun tangan cowok itu jauh lebih gesit menahan pergerakan tangan Ayya.

"Stop! Mending sekarang lo pakai kacamata gue nih. Biar mata lo ketutup." Arraja menyerahkan kacamatanya untuk dipakai Ayya.

"Hellooo... emang lo siapa ngatur-ngatur gue?" Ayya mendengus singkat.

Arraja kembali memutar tubuhnya, lengannya tersampir di sandaran kursi Ayya. "Emang lo siapa? Gue pacar lo lah? Lo lupa, hmm?"

Refleks, Ayya menepuk-nepuk mulutnya dengan telapak tangan. "Triple O em ji, kenapa gue bisa lupa ya."

Memang, tidak banyak yang tahu jika Ayya dan Arraja kini sudah jadian. Terkecuali sahabat-sahabat mereka sendiri yang sudah tahu akar dari semua rasa cinta Arraja kepada Ayya.

"Ya udah nih pakai kacamatanya."

Dengan bibir yang sengaja dimajukan beberapa senti, Ayya menerima kacamata milik Arraja.

Ayya sedang memakai kacamata tersebut ketika seorang MC cowok—sahabat Arnold dan Jenny semasa SMA—yang berdiri gagah di atas panggung pelaminan bersuara.

"Alright, benar-benar luar biasa ya pasangan pengantin Jenny dan Arnold. Dengan setelan warna putih, mereka tampak begitu serasi dan tentunya... sedap dipandang mata. Oke, setelah sesi foto bersama keluarga kedua mempelai, untuk para tamu ya... khususnya para sahabat Arnold dan Jenny sudah diperbolehkan untuk foto-foto bareng mereka. Wow... seru banget dong pastinya. Maka dari itu persiapkan diri kalian, barangkali ada yang mau ganti kostum, atau berdandan dulu buat para ladies, bisa silakan! Saya beri waktu. Oke semuanya, sebelum itu, ada satu persembahan menarik dari Veranda, adik dari Jenny yang akan berduet dengan teman prianya membawakan sebuah musikalisasi puisi. Oke, tak perlu berlama-lama mari kita sambut ini dia... Veranda dan Ravenza!"

Dengan balutan pakaian yang tampak senada, Veranda memakai gaun berwarna putih dan Ravenza berkemeja putih lengan pendek, naik ke atas panggung dengan diiringi tepuk tangan para hadirin. Ravenza menata jantungnya agar tak berdegup dua kali lipat. Usaha tersebut berhasil, dengan percaya diri, Ravenza duduk di kursi yang sudah disediakan panitia, lalu siap memainkan intro dari gitar akustik di pangkuannya.

"Duh duh... kok gue dari awal acara tadi melting mulu ya sama pembawa acaranya. Fokus gue ke sana mulu, habis... dia handsome banget." Di sudut para hadirin, celetukan dari mulut Mikhaila terdengar oleh Cherry dan Dinar.

"Nggak cuma MC-nya doang, Mik, yang handsome. Banyak teman-teman Pak Arnold yang handsome. Gue jadi pengen kenalan salah satu dari mereka," timpal Dinar, sembari menoleh ke arah teman-teman kuliah Arnold yang duduk di kursi tak jauh dari mereka.

"Andai aja yang ngejar-ngejar gue tipikal cowok MC gitu, bukan malah Darwin si muka mirip kampas rem." Mikhaila menggerutu begitu mengingat Darwin yang pernah mengejar cintanya.

"Huh, nggak usah bahas si kampas rem deh, bikin mood turun." Dinar bersedekap. "Cherry... lo gimana? Ada yang lo taksir? Kok diam aja sih?"

Cewek yang ditanya justru hanya mendengus pelan. Hari ini Cherry tampil begitu cantik. Namun, cantiknya merasa tak ternilai saat tak ada seseorang yang amat dicintai berada di sisinya. Ya, sudah satu bulan berlalu sejak insiden kasus penangkapan Orion yang menjadi pelaku perampokan mini market. Sejak satu bulan itulah, Cherry lebih banyak diam, terlebih, eksistensinya di lingkup sekolah sudah terancam hancur.

Be My Miracle Love [End] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang