15. Where We Started •

Start from the beginning
                                    

Anggita pun berjalan ke dapur, kemudian memasak, sekaligus membersihkan hal yang lain seperti, menyapu, mencuci dan apapun itu yang berkaitan dengan kegiatan rumah. Pedih memang, selanjutnya dengan agak lemah ia lantas menyandarkan dirinya pada sebuah kursi di sana dan mengelus perutnya yang masih rata.

Satu hal, ia semacam pembantu di rumah ini.

"Semoga, suatu saat kau tidak seperti orang tuamu ya, Nak." Begitulah yang ada di benak wanita itu.

Anggita pun berlahan memindahkan makanan dari wajan ke meja. Ada Irza, adik Reyhan dan tidak lupa mertuanya yang kini menatapnya dengan penuh tidak suka.

20 menit berlalu

Kegiatan makan pun sudah selesai hanya menyisakan sedikit nasi, dan satu ikan asap di piring sana. Jika kalian mengira Anggita sudah makan. Jawaban kalian akan salah kaprah. Hal ini berbanding balik, malahan seperti ia makan makanan sisa di sini. Ia hanya boleh makan setelah mertua dan adik iparnya makan dengan lahap.

"Mba, silakan makan tuh." Irza menunjukkan makanan yang sudah sisa pada Anggita.

"..." Anggita hanya diam.

"Oh ya, jangan lupa nanti piringnya dicuci," timpalnya dengan tatapan yang sengit.
Telak sudah, Anggita menangis dalam diam. Ia seperti merasa bersalah dengan jabang bayinya. Jika seperti ini, ia merasa sedang menyiksa anaknya sendiri yang mana harus ia kasih makanan yang sehat dan mengontrol kondisinya supaya tidak depresi selama kehamilan.

Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, hari berganti minggu, dan minggu berganti bulan. Anggita merasakan jika perutnya kian membesar. Hari ini adalah tepat acara tujuh bulanan. Hanya acara yang sangat kecil. Jangan salah, acara ini kebetulan digelar di rumah orang tuanya sendiri. Mana mungkin mertuanya mau merayakan yang seperti ini.

"Seharusnya aku tidak bodoh dan lebih bekerja keras lagi," rutuk Reyhan sambil menggengam jemari isterinya. Reyhan tidak tega ketika melihat kondisi isterinya yang kini terlihat demam tinggi. Bisa-bisanya wanita hamil sampai demam seperti itu, pikirnya.

"Haha, kau cengeng sekali," ejek Anggita pada Reyhan kemudian ia merasakan perutnya yang begitu sakit.

"Akhh, sakit ... hiks, sakit," rintihnya yang mana membuatnya Reyhan tersentak.

"Kita harus ke rumah sakit," panik Reyhan yang kini begitu kentara raut khawatir di wajahnya.

Rumah Sakit Emerald

"Bagaimana dok dengan keadaan isteri saya?" desak Reyhan pada dokter kandungan di depannya itu.

"Istri anda harus dioperasi. Satu hal, kemungkinan anak anda akan lahir prematur," ucap dokter tersebut.

"Apa, Dok?" kaget Reyhan.

"Iya, semoga operasinya berhasil. Semoga istri dan bayi anda bisa lahir dengan selamat."

"Ya Tuhan, ujian apa ini?" Reyhan melintir kepalanya yang sakit.

"Berdo'a saja ya," pinta dokter itu.

Beberapa jam kemudian_

Terdengar suara bayi menggelegar dari dalam ruangan bersalin. Reyhan yang sedari tadi mondar-mandir tidak jelas kini sudah bisa bernafas dengan lega.

"Anda patut bersyukur karena isteri dan anak anda bisa diselamatkan. Padahal, awalnya kami tidak yakin karena dia lahir prematur," jelas sang dokter.

Fall on Deaf Ears [COMPLETED]Where stories live. Discover now