11. Triggered •

Depuis le début
                                    

"Anak ini benar-benar keras kepala, huh. Kau seperti ayahmu!" gertak pria tua itu merasa kesal dengan Revan.

Tuttt

"Sepertinya mereka memang benar-benar buta hati. Bahkan, mendiang ayah adalah orang paling bijak dari sekian anaknya. Orang tua yang tidak berperasaan." Revan hanya bisa menghembuskan nafasnya jengah.

"Tapi ... ini sedikit menarik," lanjutnya sambil ber-smirk.

Masa bodoh dengan orang yang baru saja menelponnya, ia pun kini melirik ke arah tirai jendela. Pipinya kini berubah terangkat ke atas karena melihat gerak-gerik Genda yang selalu lucu di matanya. Jika dilihat dari kejauhan, Genda benar-benar bukan seperti pria. Namun, ia malah seperti cewek tomboy dengan rambut pendek lurus dan berponinya. Suka, ya? Iya, Revan menyukai cewek yang model seperti itu.

"Haha, bisa-bisanya ia berlagak ingin merubah pola pikir orang sepertiku? Dan ... sampai kapan aku menyembunyikan kebenaran ini pada Rio, Friska, Dion dan karyawan yang lain, ya?" Sejenak Revan sampai lupa jika tindakannya ini telah membohongi pekerja yang lain. Sejak kapan ia peduli akan hatinya? Sungguh, segala keputusannya biasanya sangat jauh dari hati dan mengedepankan logika.

Vanrevco biasa dibuka dari jam 08.00 pagi sampai 10.00 malam. Restoran tersebut menjadi salah satu destinasi para warga lokal dan yang dari luar kota. Bahkan, 'tak jarang pula ada beberapa tourist yang datang ke sini. Benar sekali, masakannya memang terkenal enaknya. Apa lagi mengingat yang memiliki restoran tersebut adalah seorang Revan.

Menu yang disajikan tidak hanya makanan khas Indonesia saja, melainkan makanan khas Korea Selatan, Taiwan, Cina, dan Thailand. Revan bingung saja, biasanya restorannya ramai. Namun, sudah beberapa minggu ini begitu sepi.

Lanjut, pemuda itu pun beranjak dari duduknya, dan pergi dari ruangannya itu. Ia pun menghentikan langkahnya. Matanya memicing pada seorang gadis yang mana sedang memakan semangkuk sup di meja nomor empat sisi kanan.

"Kayla?" tebaknya.

Semua yang ada di sana melihat ke arah pandang Revan, tidak terkecuali Genda.

"Shh, mengapa dia kesini lagi ?" desis Genda.

"Bu-bukannya itu," timpal Rio sambil membelakakkan matanya.

"Bukannya apa? Kau kenal, ya?" Friska bertanya ke Rio-namun, diabaikan.

"Apa lagi ini?" Dion memutar bola matanya malas.

Revan pun menghampiri Kayla yang sedang duduk sendirian di sana. Kayla terkejut dengan kedatangan Revan. Pemuda itu pun tersenyum pada Kayla yang dibalasnya dengan senyuman tipis.

Terlihat di sana wajah mata Kayla yang sembab, seperti baru menangis. Revan tidak tahu apa yang terjadi. Ia hanya mengira, pasti ada hal buruk yang menimpa Kayla sehingga, membuatnya seperti itu.

"Apa orang tuamu menyuruhmu untuk menjadi PNS lagi? Atau ... kau disuruh untuk mengajar di tempat lain?" tebak Revan. Sungguh, Revan mencoba mengabaikan hal yang terjadi minggu kemarin di mana Kayla yang menyatakan cinta padanya.

"A-aku tidak bisa lagi bekerja di tempatmu, Van. Aku harus berhenti," lirih Kayla. Tatapannya begitu sendu. Bibirnya semakin bergetar, dan membuatya meraung keras di sana. Sangat tidak etis memang, tindakannya itu tentunya membuat sebuah attensi satu dua pelanggan yang datang ke restoran Revan. Di sisi lain, mereka berdua tidak sadar, jika ada satu orang yang sedang memperhatikannya dengan seksama. Siapa lagi jika bukan Genda.

"Mengapa ia harus menangis di hadapan kak Revan, apa ia sedang mengadu? Norak sekali." Genda mengumpat pada gadis itu.

"Kau mau berhenti?" tanya Revan memastikan. Ia hanya merasa iba pada gadis itu.

"I-iya, aku ...." lirihnya.

"Kau kenapa?" tanya Revan sedikit khawatir.

"Kau tidak marah?" Kayla menundukkan kepalanya.

"Untuk apa marah?" Revan pun mengernyit pelan mencoba memaknai apa yang dikatakan Kayla.

"Ah, ya sudah. Kau memang tak pernah mencintaiku."

Revan pun diam saja. Bagaimana pun juga, Revan tak punya perasaan apapun pada Kayla.

"Maaf, aku tidak bisa memberitahumu. Aku mau pulang saja. Oh, ya, ngomong-ngomong restoranmu bagus juga." Kayla mengedarkan matanya ke sekeliling. Genda yang melihat gerak-gerik Kayla pun langsung saja beringsut ke di dapur yang lokasinya di lantai atas. Sementara Friska, Friska ia hanya memutar bola matanya malas karena baginya ia tak begitu kenal dengan gadis yang ada sama bosnya itu.

"Baiklah, kalau begitu." Revan pasrah dengan orang di depannya. Terserah juga ia mau cerita atau tidak. Karena, pada dasarnya Revan adalah tipe orang yang mau mendengarkan. Namun, jika orang itu menolak, Revan juga tidak akan memaksanya.

"Siapa tadi, Bang?" tanya Rio penasaran.

"Bukan siapa-siapa," jawab Revan sungkan.

"Gebetan?" tanya Rio lagi.

"Apa sih, cuma teman kuliah waktu itu," sergah Revan 'tak terima.

"Ouh, bisa atuh dijadiin pacar." Rio menggoda Revan yang mana dibalas dengan delikan tajam.

"Oh ya, restoran ini tutup saja. Aku ada perlu soalnya. Di mana Genda? Kau harus ikut denganku." Revan mencari-cari Genda yang ternyata lagi di kamar mandi.

"Kau bahkan buang air kecil di WC pria," batin Revan. Pemuda itu pun lantas menggelengkan kepalanya antara kasihan dan miris saja begitu.

Vanrevco sudah ditutup sore ini. Semua karyawan sudah pada pulang ke rumah mereka masing-masing kecuali Friska, Dion, dan Rio yang mana mereka harus kembali ke apartemen.

Kamar 177 |

Genda mengecek jam dinding yang ada di kamarnya. Waktu menunjukkan pukul 19.00. Ia dimintai menemani Revan malam ini untuk entah apa dan kemana yang dimaksud oleh Revan. Genda sedikit bingung antara mau ikut atau tidak. Tapi, demi ia mendapatkan gaji, ia tidak ingin menolak apapun yang diperintah bos nya itu.

Dipakainya jaket lepis berwarna abu-abu. Tidak lupa, hoodie ungu sebagai atasannya. Genda juga membawa tas punggung kecil miliknya. Ditambah, ia juga menyemprotkan parfum pria ke tubuhnya.

Sebuah mobil berwarna silver sudah terparkir jelas di depan garasi gerbang apartemen. Genda pun lantas membuka pintu mobil itu, dan betapa terkejutnya ia melihat Revan yang begitu berbeda. Ya, berbeda 100 persen lebih tampan dari sebelumnya, tidak lupa gaya pakainya yang terlihat sangat err ... rapih.

"Kau beda sekali, memangnya kita mau kemana?" tanya Genda heran sekaligus penasaran. Ia sedang mencoba menetralkan degub jantungnya.

"Hmm, ini untukmu," ucapnya. Revan pun menyodorkan sebuah paper bag berwarna putih. Mereknya juga tidak main-main, sudah sekelas Gucci dan Chanel.

"Apa ini?" bingungnya.

"Buka saja, tapi kau harus memakainya nanti, mengerti?" pinta Revan dan perlahan menyalakan mobilnya.

"Gaun? maksudnya apa ini?" bingung Genda yang membuat Revan hanya tersenyum miring.

TBC

___ ♥ ___

Kira-kira, mereka mau apa, ya?😆😌
Jangan lupa vote dan komen, ya
Thank you! ♥
Sebelumnya, maaf kalau Genda belum aku panjangkan rambutnya di beberapa scene-nya (lu kira cenayang, thor) 😂
__

Fall on Deaf Ears [COMPLETED]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant