32.

14 12 1
                                    

32.

Pagi itu rasanya sangat sunyi, angkasa sedang tidak ingin bersahabat dengan matahari, pagi ini dia akan berpihak pada rintikan hujan yang mulai deras, sampai menimbulkan suara guntur yang menggelegar. Biarkanlah, supaya weekend kali ini akan dia habiskan dengan merenung di kamar nya seharian. Tapi entah mengapa selalu ada bayangan antara Mamahnya yang pergi, dan Bima yang mengobati, pertanyaan itu membuatnya bingung sendiri. Ya, hari ini biarkan hujan yang menjadi saksi bawa Mia Alexa Wijayakusuma, sudah mencintai cowok bernama Bima Aditama. Baik, tapi entahlah dia sedikit menyebalkan. Tapi jika di hitung menggunakan jari, mungkin hutang budi nya dengan Bima itu begitu banyak sampai dia tidak tau harus bagaimana menggantinya. Karena dia tidak ingin mempunyai hutang budi pada siapapun, walaupun dia adalah pria yang dia cintai sekarang, esok, dan entah sampai kapan hati ini bisa menyembunyikan, entah sampai bisa mengungkapkan nya, atau hanya sampai berakhir di pertengahan jalan. Semuanya masih menjadi sebuah pertanyaan.

Mia memainkan ponselnya, hanya tarik ulur beranda tentunya. Akun sosmed milik Mamahnya, ingin sekali rasanya dia membukanya kembali hanya untuk sekedar mengetahui kalau dia baik-baik saja walaupun dia tidak peduli dengannya. Karena rintik hujan dan suhu yang dingin, membuatnya berbaur dengan alam dan mulai menutup matanya tertidur pulas.

Jam menunjukan pukul sebelas pagi. Hanya tersisa gerimis di luar sana, Mia menatap dari jendela kamarnya dengan seksama karena matanya yang masih samar dari sisa tidurnya tadi. Sungguh membosankan, biasanya dia akan pergi shopping atau berwisata kesana kemari, menghabiskan uang yang di transfer oleh Papahnya. Tapi sekarang berbeda, dia bahkan tidak berani menggunakan kartu unlimited itu karena dia harus berfikir matang-matang jikalau nantinya dia bisa memakainya dengan keperluan yang lebih penting dari pada hanya sekedar belanja karena keinginan mata, bukan hatinya. Mia segera mengambil sweater dari lemarinya, bergegas keluar rumah.

"Non, mau kemana?" suara Bi Umnah membuat Mia menghentikan langkahnya. Lalu membalikkan badannya ke belakang, menemukan sosok paruh baya yang entah mengapa pagi ini matanya terlihat seperti sayu, tidak bersemangat seperti biasanya. Apa dia sakit?

"Bi, you okey?" tanya Mia, sambil memegang bahu Bi Umnah dan memperhatikan wajahnya dengan lebih teliti, barangkali dia luka, atau suhu tubuhnya panas. Tapi Bi Umnah malah menghalau tangan Mia dari bahunya, mendekap tubuh Mia dengan hangat dan suara isakan sangat jelas terdengar dari mulutnya. "Hei, bibi kenapa? Sakit ya?" tanya Mia antara khawatir dan bertanya-tanya. Namun, masih belum ada jawaban dia masih setia dengan isak tangisnya, yang mungkin sudah lama ditahan sampai sekarang adalah puncaknya. Mia hanya bisa mengelus-elus punggung nya.

"Non, ngga apa-apa kan?" tanya Bi Umnah saat dia melepaskan pelukannya. Dengan mata yang sembab.

"Ngga kenapa-napa bi, baik-baik aja malah."

"Semalam, cowok ganteng yang nolongin non waktu itu, kembali nolongin non lagi." Bi Umnah mulai menceritakan apa yang ada di dalam hatinya, tapi Mia masih belum bisa mencerna apa maksud dari perkataannya.

"Maksud bibi, yang nolongin gue yang sempet kecelakaan itu. Si Bima? Cowok yang semalem ke rumah kan?" tanya Mia. Lalu Bi Umnah mengangguk, karena dia baru tau ternyata yang menolongnya adalah Bima. Hari ini dia akan berterimakasih atau meneraktir Bima dengan makanan kesukaan nya, spageti. Setelah berpamitan Mia langsung pergi meninggalkan rumah menuju salah satu restoran yang ada di pinggiran kota Jakarta. Mia mencari restoran yang murah tapi enak. Untuk sekarang biarkan seorang Mia belajar menghemat. Memang susah, tapi jika tidak dilakukan dari sekarang, akan lebih buruk lagi ke depannya jika Mia harus serba kekurangan. Hemat? Itu tidak pernah ada di dalam kamus Mia. Dia melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, karena jalanan yang basah bisa saja membuat dirinya di ancam bahaya.

Mia sampai di sebuah restoran yang letaknya tidak jauh dari jembatan tempat Bima mengajaknya untuk menikmati malam, di emperan kota Jakarta di temani semangkuk mie ayam. Restoran yang suudah ramai oleh pengunjung membuat Mia harus mengantri untuk mendapatkan bebrapa porsi spageti untuk di bawa ke rumah Bima. Setelah memasan, Mia duduk di salah satu kursi disana, matanya menyusuri tiap sudut restoran itu. andai saja Mia tidak terlalu manja, mungkin dari dulu dia akan membuka bisnis restoran seperti ini. Yah, walaupun tidak ada bakat berbisnis seperti Papah nya, setidaknya keinginan itu sudah ada sekarang di dalam dirinya.

CERITA TENTANG MIAWo Geschichten leben. Entdecke jetzt