18.

42 26 2
                                    

18.

"Ngapain lo naik motor gue?" tukas Bima saat melihat Mia sudah duduk santai di jok belakang motornya.

"Ya-iyalah, gue kan mau bareng sama lo, masa gue bonceng bertiga sama mereka." Mia menunjuk ke arah Gavin dan Davin sebagai alasan. "Cabe-cabean dong." ocehnya lagi.

"Belum apa-apa aja udah bikin susah." Bima menggerutu pelan, tapi ternyata masih bisa di dengar oleh telinganya.

"Kalau ngga boleh tuh bilang, biar gue naik mobil gue aja, pelit banget sih lo jadi manusia, apa susah nya ngasih gue tumpangan lagian sama cewek dingin banget." grutunya sambil turun dari atas motor Bima. Namun, Bima menahan lengan Mia.

"Naik!" ucap Bima.

"Tadi ngga boleh sekarang boleh, lo kenapa sih jadi cowo labil banget, nyebelin banget tau ngga? Lo it ma ...," belum selesai dengan ucapannya, Bima sudah menyalakan mesin motornya.

"Mau naik? Atau mau tinggal?"

"Ehem-ehem bau-bau teraktiran, nih" goda Gavin.

"Najis!" jawab Mia dan Bima bersamaan.

Mereka saling bertatapan, tapi Mia mengedikan bahunya jijik. Tentu saja membuat Gavin dan Davin tertawa terbahak-bahak.

"Yaudah ayok cabut men, takut kesorean." ajak Davin sebagai alasan karena sudah merasa pegal duduk diatas jok motor.

"Yaudah gue sama Davin duluan, ya." Gavin langsung meninggalkan Mia dan Bima.

"Naik."

Mia menghela napas, masih sambil menggerutu. Dia merasa aneh dengan dirinya sendiri, bukannya dia jijik dengan cowok di hadapannya sekarang. Tapi, kenapa dengan bodohnya dia mau pergi dengan cowok absrud satu ini, sok cool, padahal raja nya buaya darat, tapi tidak terlalu buruk juga kalau dekat dengan cowok pentolan sekolah, bisa berdampak baik pada reputasinya dan kekuasaannya yang semakin meninggi. Apa lagi kalau gue bisa jadi cewek nih cowok najis, pasti gue auto di anggap jadi cewek paling beruntung, Batin Mia. "Ngga!" Mia memekik jijik. Membuat Bima yang melihatnya menatapnya aneh.

Motor melaju.

Saat di perjalanan. Hening sekali diantara mereka, entah mengapa Bima hari ini seperti malas untuk berdekatan dengan Mia ataupun sekedar berbicara, bukan hari ini saja, hari kemarin, besok, dan seterusnya. Dia tidak ingin di gosipkan sedang dekat dengan cewek yang menyebalkan sepertinya, akan ada kekacauan yang lebih parah dari pada kemarin-kemarin, walaupun dia terkenal nakal, tapi dia punya prinsip, dia butuh cewek baik-baik yang bisa merubah kebiasaannya. Mungkin nanti sebentar lagi, atau besok tidak tahu ini masih menjadi sebuah misteri, yang pasti di hati Bima sekarang tidak ada siapa pun.

"Bim." suara Mia memecah keheningan.

"Hm."

"Tipe cewek idaman lo itu yang kayak gimana, sih?" tanyanya penasaran, ngga apa-apa juga pacaran sama musuh tapi banjir pujian.

"Sehat lo?"

"Sehat banget, kalau ngga sehat, mungkin sekarang gue udah ada di rumah sakit, dan amit-amit sih. Gue ngga mau sakit gue ngga mau tidur di rumah sakit, gue paling takut kunti kalau dia bawa gue ke kamar jenazah pas gue tidur kan ngga lucu, gue dari kecil itu paling parno sama yang nama nya rumah sakit."

"Ohh."

"Mau ngomong kasar tapi takut di turunin. Lo bisa ngga sih, ngga usah bikin gue kesel terus." Mia mendengus. Tapi Bima, dia tidak sama sekali peduli dengan ocehan cewek di belakangnya sekarang, malas untuk berdebat. Mia kembali diam saja sambil menikmati suasana perjalanan, ternyata naik motor tidak terlalu buruk.

CERITA TENTANG MIAWhere stories live. Discover now