EPILOG

5.8K 1K 218
                                    

DOR!!

Peluru menembus masuk ke dada Jeongwoo, mengenai jantung hingga membuat nyawanya hilang dalam sekejap.

Haruto memandang darah segar yang merembes keluar dari dada Jeongwoo, lalu pistolnya terjatuh, bersamaan dengan tubuhnya yang bergerak mundur hingga menabrak dinding karna tungkainya mulai melemas.

Haruto terdiam selama beberapa saat, memandang empat mayat sahabatnya secara bergantian, sebelum akhirnya memandang tangannya sendiri.

Kedua tangannya bersih, tanpa ada noda darah sama sekali.

"Gue berhasil."

Ya, Haruto berhasil.

Ia berhasil membuat semua sahabatnya mati tanpa harus mengotori tangan dengan darah siapapun.

Tubuh Haruto merosot turun hingga duduk bersandar pada dinding. Ia termenung selama beberapa saat, lalu teringat dengan apa yang terjadi selama dua tahun belakangan.

Dua tahun yang memberi kenangan terbaik sekaligus mengubah hidupnya yang kelam sejak lahir.

Sebelas sahabatnya adalah hal terbaik yang Haruto punya, tapi sayang Haruto tak bisa menjadi sahabat yang baik bagi mereka semua.

Haruto egois karna mengajak mereka pergi secara paksa, tapi ini semua ia lakukan karna tak mau kehilangan. Keadaan merubah pola pikirnya menjadi jahat dan tak berperasaan.

Bagi Haruto, dunia terlalu kejam untuk mereka. Jadi satu-satunya jalan untuk pergi, hanya mati.

"Maaf."

Air mata Haruto turun tanpa aba-aba karna dadanya mendadak sesak. Semua emosi dan sakit yang ia tahan bertahun-tahun, menguap keluar dalam bentuk air mata yang tak dapat dibendung.

Namun selain itu, ada perasaan lega dalam diri Haruto, karna semuanya hampir selesai.

Haruto menatap keluar jendela tanpa kaca, menatap langit malam yang gulita.

"Sekarang giliran gue, ya?"

Haruto merenungi apa yang harus ia lakukan sebelum mengambil tindakan akhir. Dan sebuah hal muncul dalam pikiran, membuatnya mengambil ponsel dan menghubungi seseorang.

Panggilan pertama tak dijawab, begitu juga dengan panggilan berikutnya. Tapi Haruto tak menyerah, ia terus menghubungi seseorang diseberang sana selagi punya waktu.

Dan syukurlah, panggilan kelimanya mendapat jawaban.

"Kenapa nelpon jam segini? Kamu nggak lihat ini jam berapa? Ini hampir jam dua belas malam, Mama baru tidur bentar." Sebuah protes langsung terdengar kala telpon tersambung.

Biasanya, Haruto akan kesal jika mendengar omelan itu. Tapi kali ini tidak, ia justru tersenyum tipis.

Haruto benci setiap ibu angkatnya marah, tapi sekarang, rasanya tak masalah mendengar itu untuk terakhir kali.

"Kenapa diem? Kamu mau ngomong apa? Ganggu aja." Suara sang ibu kembali terdengar karna Haruto tak kunjung berbicara.

"Maaf, aku nggak bakal ganggu mama lagi setelah ini."

"Bagus kalo gitu," jawab sang ibu dengan santai. "Jadi kenapa kamu nelpon mama jam segini?"

"Aku mau minta maaf, buat semuanya. Terutama karna mama sama papa harus adopsi anak nggak berguna kayak aku."

"Baru sadar?" tanya sang ibu dengan nada remeh. "Kalo tau kamu begitu, makanya berubah dari sekarang. Belajar yang bener, jangan ngecewain mama sama papa yang udah adopsi kamu."

Secret | Treasure ✓Where stories live. Discover now