"Iya."

"Pas di jalan nanti, jangan ngebut, terus jangan pulang terlalu malem dan lewat jalan sepi," kata Jaehyuk mengingatkan. "Pokoknya, hati-hati."

"Iya." Asahi mengernyit memandang Jaehyuk. "Lo kenapa jadi aneh gini sih?"

"Perasaan gue aneh soalnya, jadi gue suruh lo hati-hati, takut kenapa-napa."

"Emang lo ngerasain apa?"

Jaehyuk berdebat dengan pemikiran sendiri, bingung harus mengatakan sesuatu yang ganjal dalam dirinya atau tidak. Namun kemudian, ia memutuskan untuk mengatakan.

"Gue ngerasa bakal jauh sama lo, Sa."

••••

Seorang lelaki melangkah memasuki kamarnya, lalu duduk di tepi kasur dengan satu tangan memegang handuk untuk mengeringkan rambut yang basah.

Lelaki itu mengambil ponsel yang tergeletak di atas nakas, melihat jam yang terpampang di layar, lalu memeriksa pesan masuk di grup. Namun sayangnya tak ada pesan apapun.

Padahal, sejak tadi ia menunggu pesan yang berisi kabar kematian salah satu dari temannya.

"Belum ada yang dibunuh, atau belum ada yang tau?" Ia terdiam sejenak, nampak berpikir. "Atau mungkin nunggu malam?"

Opsi kedua sepertinya benar, rekannya itu pasti akan bergerak nanti malam. Dan kabar kematian yang baru akan datang besok pagi sebagai pembuka hari.

Lelaki itu bergegas membuka galeri dan mencari sebuah foto berisi dua belas orang remaja yang tak lain adalah ia dan teman-temannya.

Ia ingat, foto itu diambil sekitar satu tahun lalu, dipotret oleh seorang pramuniaga yang sedang berjaga di sebuah toko sepatu atas permintaan Jihoon

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ia ingat, foto itu diambil sekitar satu tahun lalu, dipotret oleh seorang pramuniaga yang sedang berjaga di sebuah toko sepatu atas permintaan Jihoon. Foto itu diambil saat mereka pergi ke mall bersama, hingga menjadi pusat perhatian karna terlihat seperti rombongan remaja yang ingin tawuran, karna jumlah mereka yang cukup banyak dan berisik.

Munafik jika ia bilang tak rindu dengan kenangan itu, karna nyatanya, ia rindu.

Ia rindu dengan memori yang tak bisa terjadi lagi karna dirinya sendiri.

"Shit."

Lelaki itu menyeka setetes air yang mendadak keluar dari sudut mata, lalu berusaha melupakan kepingan memori masa lalu yang mendadak muncul dalam kepala dan kembali fokus pada apa yang ia pikirkan sebelumnya.

Lelaki itu menatap lurus ke arah salah satu temannya yang ada di foto. "Lo mau bunuh orang buat balas dendam, tapi emang lo tau siapa pelakunya?"

Ia tersenyum remeh, lalu beralih menatap dua sosok yang berdiri dalam jarak dekat.

"Gue yakin dia bakal bunuh salah satu dari kalian, dan semoga aja dia nggak salah pilih." Lelaki itu tersenyum miring. "Karna salah satu dari kalian emang pelakunya."

••••

Malam ini, Jaehyuk, Jeongwoo, dan Haruto berkumpul untuk bermain bersama di rumah Jeongwoo sesuai rencana.

Ketiganya bermain selama dua jam dengan beberapa kali pertandingan, menciptakan suara bising karna mereka terus berteriak kesal setiap kalah dan berteriak senang jika menang.

Tapi kebisingan itu tak separah biasanya, karna Doyoung dan Junghwan tidak ada.

"Udah, ah. Capek gue." Jaehyuk menyenderkan tubuh di sofa, sedikit lelah karna terlalu lama bermain.

"Gitu aja capek, ayo main lagi." Jeongwoo masih nampak bersemangat.

"Capek menang, Woo." Jaehyuk tersenyum remeh. "Lo nggak capek kalah apa?"

"Anjing." Jeongwoo mengumpat kesal. "Kita duel beneran aja, Bang."

Jaehyuk tertawa puas, Haruto yang menyaksikan perdebatan itu juga ikut tertawa. Sedangkan Jeongwoo menatap dua temannya sinis.

"Ayo main lagi, gue beneran bakal ngalahin lo." Jeongwoo kembali mengajak, masih berambisi untuk mengalahkan Jaehyuk, seperti biasa.

Sungguh, Jeongwoo tak suka jika Jaehyuk lebih unggul darinya dalam suatu permainan, meski nyatanya memang begitu.

"Bentar, gue nelpon Asahi dulu."

Jeongwoo mengernyit. "Ngapain?"

"Kepikiran."

"Lo ngapain mikirin Bang Asahi?" sahut Haruto. "Naksir?"

"Nggak gitu, bego." Jaehyuk melempar sebutir kacang tepat ke kening Haruto. "Gue kepikiran aja, takut dia kenapa-napa."

"Alay," cibir Jeongwoo.

"Yang kalah mulu diem aja deh."

"Bangsat."

Jaehyuk tertawa pelan, lalu menjauh dari Haruto dan Jeongwoo. Ia mulai fokus pada ponselnya, mencari kontak Asahi dan meneleponnya.

Panggilan pertama tak dijawab, begitu juga dengan panggilan kedua, membuat Jaehyuk mulai khawatir.

Namun untungnya, panggilan ketiga dijawab oleh Asahi.

"Lo di mana? Kenapa gue telponin daritadi nggak diangkat?" Jaehyuk langsung menyerang Asahi dengan pertanyaan.

"Lo baru nelpon dua kali." Asahi menjawab dengan santai.

"Udah tau gue nelpon, kenapa nggak diangkat?"

"Gue abis ganti baju."

"Udah balik ke rumah?"

"Iya."

"Lo nggak papa, kan? Aman sampe rumah?"

"Kalo kecelakaan di jalan, gue nggak bakal ngobrol sama lo sekarang."

"Iya juga." Jaehyuk terkekeh pelan, menyadari kebodohannya. "Berarti, lo baik-baik aja, kan?"

"Iya, gue baik."

"Bagus."

"Lo di mana?"

"Masih di rumah Jeongwoo."

"Udah jam sembilan malam, mending lo cepetan pulang, takutnya malah lo yang kenapa-napa."

"Rumah gue masih di perumahan ini kali, Sa."

"Temen-temen kita mati di sini, jadi perumahan ini udah nggak aman buat kita, Jae."

Jaehyuk terdiam, menyadari jika tempat yang seharusnya menjadi tempat teraman, kini telah berubah menjadi tempat yang bisa mengantarnya ke gerbang kematian.

Bahkan, rumahnya sendiri juga bukan tempat yang aman lagi.

"Lo sama Jeongwoo cuma berdua?" Asahi bertanya dari seberang telpon.

"Ada Haruto."

"Jangan kelamaan pulangnya, gue takut lo sama Haruto kenapa-napa. Bilangin sama tuh anak, dia kalo udah main sama Jeongwoo biasanya jadi lupa waktu."

"Iya, entar gue bilangin."

"Ya udah, gue matiin, ya? Mau tidur."

"Iya."

"Hati-hati pas pulang."

"Iya, Sa."

Setelah itu, sambungan telepon antara Jaehyuk dan Asahi terputus.

••••

Siapa tuh yang mau dibunuh? 👀

Secret | Treasure ✓Where stories live. Discover now