Eps.44 - Sama-Sama Jealous

Start from the beginning
                                    

"Ayya, tolong maafin gue."

Taksi berhenti di depanku, dengan gerakan cepat aku lekas masuk ke dalam dan menutup pintu rapat. Orion mengetuk-ngetuk kaca mobil yang kini mulai melaju dengan pelan.

Di dalam taksi, tangisku pecah, memikirkan kemungkinan Orion yang mendua, memikirkan kemungkinan Orion yang tak tulus mencintaiku dan juga memikirkan Miko yang pergi belum juga kembali. Aku mengambil tisu dari saku jaket untuk menghapus linangan air mataku. Lalu aku mengambil juga sehelai kertas dari pengagum rahasiaku.

Hai, apa lo tahu semua yang gue rasakan? Jika lo tertawa saat nulis surat ini, justru gue sedang nangis dengan semua keadaan gue. Aku membatin, membaca kembali dua surat dengan tulisan latin tersebut. Setetes air mata membasahi kertas putih di pangkuanku ini, membentuk sebuah lingkaran kecil yang perlahan merambat jadi besar.

"Neng, Eneng nggak apa-apa?" tanya Pak Sopir, menatapku dari kaca spion.

Aku menggeleng sembari membersit hidung. Berusaha tersenyum sebelum menjawab, "Nggak apa-apa kok, Pak, makasih udah perhatian."

Inikah yang dinamakan keajaiban cinta? Keajaiban yang kuharap berjalan indah, namun ternyata menuai prahara.

Inikah yang disebut bahasa cinta?
Bahasa penuh kosa kata indah, namun ternyata mengandung bahaya.

Ya Tuhan, mengapa jatuh cinta bisa sesakit ini?

***

Hari ini aku mengharapkan kedatangan surat berisi kata-kata manis dari penggemar rahasiaku, namun rupanya harapanku belum juga terwujud, lantaran sampai detik ini di meja tempatku duduk tidak ada kertas misterius sama sekali.

"Iya, terlihat jelas di rekaman CCTV, pelakunya itu ada empat orang pemuda yang merampok. Ternyata kejadiannya jam empat pagi sebelum subuh." Perkataan Decha memutuskan lamunanku tentang sosok penggemar rahasia.

Aku menyeruput jus jeruk sebelum menyahut. "Benar-benar keterlaluan ya mereka. Gue harap para pelaku itu cepat ketangkap dan bisa dapat hukuman yang setimpal."

Erin dan Vinny mengangguk setuju, melahap siomay di hadapannya dengan nikmat.

"Terus sekarang polisi gimana?" tanya Vinny.

Decha tersenyum simpul. "Ya pihak polisi pastinya masih mencari pelaku, Vin."

"Cepat atau lambat, pasti pelakunya bakal tertangkap." Erin mengangguk-angguk.

"Eh by the way, Ayya... gimana soal Miko kemarin? Lo belum cerita sama kita-kita." Decha menoleh ke arahku, aku membalas dengan menunduk, menatap sepatu sneakers pemberian dari Miko.

"Gue...." Aku menggeleng pelan. Lagi, setetes air mata merembes secara perlahan hingga membasahi pipiku. "... gue nggak tahu."

Decha menepuk-nepuk bahuku. "Ay, sumpah ya, tangisan lo ini bikin gue nyesek tahu, nggak?"

"Iya, Ay." Vinny buru-buru mengambil tisu di atas meja. Sementara Erin menatapku dengan iba.

"Mungkin... gue harus melupakan Miko saja. Biarkan kalau dia udah nggak mau berhubungan sama gue lagi," kataku dengan menangis tersedu-sedu. Untung saja penghuni kantin lain tidak ada yang memperhatikan kami lantaran sibuk dengan hidangan masing-masing.

"Enggak, Ay." Erin berpindah duduk di sebelahku. "Gue yakin, pasti Miko kembali."

"Ay, ingat. Tuhan nggak menjanjikan langit selalu biru, tapi Tuhan selalu menghadirkan pelangi setelah badai berlalu," ujar Decha sembari merangkul bahuku erat.

Erin mengangguk setuju, tangisku semakin pecah. "Makasih ya atas dukungan kalian. Gue bener-bener nggak tahu kalau nggak ada kalian di sisi gue."

Melihat itu, Vinny beranjak dan ikut duduk di sebelah Decha. Jadilah kami saling berangkulan satu sama lain.

Be My Miracle Love [End] ✔Where stories live. Discover now