Eps.38 - Berpisah

Start from the beginning
                                    

"Ya ampun, Erin, ternyata itu yang bikin lo nangis bombay." Aku tersenyum, lalu menepuk bahunya. "Rin, lo sampai sekarang masih belum move on juga sama dia? Masih berharap sama dia? Mau sampai kapan, Rin?"

Gilvan adalah mantan pacar Erin sekaligus cinta pertama Erin yang kini bersekolah di SMA Anak Indonesia dan merupakan salah satu kalangan murid populer. Dengar-dengar dari Erin—dia masih suka stalking—cowok itu mendapat julukan Duta Lingkungan Sekolah serta sudah memiliki pacar yang cantik banget.

"Gue tahu, nggak seharusnya gue masih mengharapkan dia, tapi...," kata Erin sembari mengusap mata dengan tisu.

"Rin, udahlah, move on, lo tuh cantik, pasti banyak cowok lain yang lebih baik dari dia yang mau menghapus kisah masa lalu lo," tukasku, berusaha menghibur hatinya.

Erin mengangguk pelan. "Makasih, Ay. Lo emang sahabat gue yang paling pengertian."

Ya, aku beruntung bisa memiliki Erin, Decha dan Vinny dalam hidupku. Mereka yang tak sungkan untuk berbagi cerita dan keluh kesah membuatku merasa berharga, berarti dan dipercaya. Aku janji, akan tetap menjunjung tinggi tali persahabatan kami, sampai kelak kami mempunyai kehidupan pribadi.

***

Perpisahan. Triple O em ji, harus banget ya di dunia ini ada kata perpisahan? Ah entahlah, mendadak hari ini aku diliputi rasa sedih lantaran akan berpisah dengan Pak Arnold yang sudah tidak akan mengajar kami lagi selamanya. Masa kerja Pak Arnold di SMA 25 ini sudah habis, dan dia akan kembali ke kehidupan yang sebenarnya yaitu sebagai mahasiswa yang hanya tinggal merampungkan skripsinya saja.

Well, dalam kurun waktu 3 bulan ini, aku sudah banyak mengalami perubahan dalam sesi praktik olahraga berkat Pak Arnold. Tak bisa dipungkiri, jasa-jasa dia dengan sabar melatihku agar cepat bisa menguasai teknik-teknik tertentu dalam berbagai permainan olahraga sangat berarti bagiku, terlebih untuk ke depannya di mana tak ada lagi Pak Arnold yang selalu mengajariku.

Kali ini, kelasku dibuat diam seribu bahasa oleh kata-kata Pak Arnold di lapangan olahraga. Salam perpisahan terucap dari bibirnya.

"Saya sangat senang sekali bisa bertemu murid-murid seperti kalian. Apalagi, ada yang mau berusaha maksimal untuk memperbaiki nilai, yang pada akhirnya cukup membuahkan hasil yang lumayan." Aku tahu Pak Arnold sedang membicarakan diriku. Bukannya aku ge-er, tapi tidak ada murid lain di kelasku yang bloon pelajaran olahraga selain diriku ini.

"Tapi, kita memang sampai di sini. Terima kasih atas segala hubungan timbal balik yang apik dari kalian untuk saya selama ini. Selepas semua ini berakhir, tentu saya berharap kita masih bisa berinteraksi melalui sosial media. Anggap saja saya ini teman kalian."

"Siyaap, Pak Arnold. Nanti Bapak kita anggap teman, suatu saat bakal kita ajak duel futsal," kata Heksa yang berdiri dengan sikap istirahat di tempat.

Pak Arnold tersenyum lebar. "Suatu saat saya tagih tantangan kamu, Heksa."

"Eh, Heksa, lo nggak usah ngadi-ngadi, memangnya Pak Arnold punya tim?" timpal Arraja di sebelahnya.

Pak Arnold hanya menyeringai dan geleng-geleng kepala.

"Jangan meragukan beliau, Ja." Heksa menyahut lirih.

Sementara itu, kami para anak cewek sedang dilanda galau. Sebab nanti tidak ada rasa semangat yang tinggi lagi untuk mengikuti mapel olahraga ini setelah kepergian Pak Arnold. Dan kami akan kembali diajar oleh Bu Dhini yang biasa-biasa saja slash tidak asik cara mengajarnya. Kapan lagi coba kami punya guru muda nan tampan seperti Pak Arnold? Triple O em ji, rasanya waktu tiga bulan ini begitu cepat berlalu.

Be My Miracle Love [End] ✔Where stories live. Discover now