Bab 33

265 34 1
                                    

Bulan baru menginjakkan kaki di rumahnya pukul setengah sebelas malam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bulan baru menginjakkan kaki di rumahnya pukul setengah sebelas malam. Banyak rencana yang harus ia susun bersama temannya.

Ia berjalan santai memasuki rumah. Tak peduli lagi jika tubuhnya hancur akibat kekesalan wanita itu.

Benar saja, wanita itu berada di atas tangga. Tangannya ia lipat di depan dada, matanya menatap Bulan nyalang.

"Ingat punya rumah? Jam segini baru pulang. Habis jual diri, iya?" Pertanyaan itu membuat hati Bulan berdenyut nyeri.

"Saya bukan anda." Bulan mendongak, menatap wanita itu.

"Berani sekali kamu." Wanita itu berteriak. Kakinya melangkah cepat, menghampiri Bulan.

Bugh

Perutnya ditendang begitu kerasnya. Tubuh manusia ini, seperti tak ada harganya. Bulan berpikir, untuk apa dia hidup, jika dimatikan. Bulan lelah, sangat penat.

"Apa sih salah saya? Saya bahkan tidak mengenal anda. Anak yang selalu anda siksa ini keluarganya telah hancur. Jangan hancurkan tubuhnya juga." Bulan meneteskan air mata. Namun, segera ia tepis.

"Saya tidak peduli. Saya ingin kamu mati seperti bundamu, tapi mari kita bersenang-senang dulu!"

Bulan menggelengkan kepalanya, kala wanita itu menghampirinya. Wanita itu menunduk di hadapan Bulan.

"Diam saja ya anak manis!" Tangan wanita itu menepuk-nepuk pipi Bulan, bibirnya tersenyum miring.

Rambut Bulan ditarik. Wanita itu berjalan sembari menarik rambut Bulan. Tubuh Bulan diseret dan ia hanya mampu menahan sakit di kepalanya.

Bulan dibiarkan terduduk di halaman rumah. Wanita itu masuk, mengunci pintu dari dalam.

Bulan berdiri, memukul-mukul pintu dengan kepalan tangannya, "Buka! Tolong!" Bahu Bulan merosot. Punggungnya ia sandarkan di pintu itu.

Kunci yang ia punya sudah tak ada lagi. Wanita itu mengambilnya.

Bulan menangis. Rambutnya berantakan, begitupun dengan bajunya.

Hutan tiba-tiba turun deras. Disertai petir yang menyambar. Udara dingin sekali, apalagi di malam hari.

Bulan sendiri, dalam kedinginan. Pelukan ia terima dari dirinya sendiri, aliran air mata menghangatkan pipinya.

"Tuhan, lelah." Bulan menatap hujan itu. Rintikan air hujan itu sebanyak kesedihannya.

Malam itu. Bulan tidur diselimuti hujan. Matanya terpejam, sejenak ia melupakan segala masalah. Tubuhnya meringkuk, lengannya memeluk diri sendiri. Air matanya terus mengalir, sampai Bulan benar-benar terlelap.

...

Byur!

Bulan terbangun dari tidurnya. Tubuhnya terasa menggigil, sebab semalam ia tidur beralaskan lantai dingin dan paginya ia diguyur air. Siapa lagi jika bukan wanita itu pelakunya.

Tidak ada perdebatan apapun. Wanita itu pergi begitu saja, setelah menunjukkan senyum miringnya.

Bulan berjalan terhuyung-huyung. Kakinya bergetar seperti tidak kuat menopang tubuh. Padahal, tubuh Bulan kurus, rapuh, hampir hancur.

Bukannya mandi air hangat, Bulan malah berdiri di bawah shower. Membiarkan air dari sana menurunkan suhu tubuhnya.

Biarkan air shower menyamarkan air matanya, biar tidak ada seorangpun tahu kepedihannya. Karena jika tahu, mereka hanya kasihan dan Bulan tidak suka itu.

Mobil milik wanita itu melaju kencang. Bulan yang telah memperhatikan sedari tadi lewat balkon, segera berlari. Kakinya tak takut menuruni satu persatu anak tangga.

Bulan masuk ke kamar wanita itu. Bukan maksud Bulan melanggar privasi, ia hanya rindu pelukan ayah. Jadi, biar ia memeluk baju sang ayah.

"Ayah, Bulan rindu." Air mata Bulan mengalir, membasahi baju yang diciumnya.

Tepat saat tangannya ingin menutup lemari, matanya menangkap hal aneh di belakang jejeran baju yang terlipat. Di sana terdapat sebuah garis, seperti goresan biasa namun membentuk pola.

Bulan menyingkirkan tumpukan baju itu, guna melihat garis itu lebih jelas. Bulan mendorong pola itu. Seketika matanya membulat, melihat hal yang tak pernah ia bayangkan.

Sebuah pintu kecil ada di dalam lemari. Pintu itu menyatu dengan kayu bagian belakang lemari, tentu tidak ada yang tahu. Goresannya pun sama seperti goresan di kayu pada umumnya.

Tangan Bulan terangkat, hendak membuka lebar pintu itu.

"Kak Bulan, Bunda udah datang!" Amel berdiri di depan pintu.

Bulan segera menutup lemari, sekaligus pintu kecil itu. Ia berlari menuju kamarnya. Tak menghiraukan kehadiran Amel.

 Tak menghiraukan kehadiran Amel

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Massa (TAMAT)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang