Bab 6

422 86 26
                                    

Kebahagiaan menghiasi pagiku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kebahagiaan menghiasi pagiku. Sarapan mengawali kegiatan pagi ini. Aku tidak sendiri melainkan ditemani ayah, istrinya, dan anaknya yang lain.

"Bulan, kamu harus baik pada bunda! Kemarin bunda pulang duluan cuma karena mau lihat kamu loh," aku menghentikan gerakanku, ayah berucap dengan senyum terukir di bibirnya.

Hatiku nyeri, aku tersenyum saja menanggapi. Raut wanita itu memancarkan aura kebahagiaan.

"Kemarin malam kalian menghabiskan waktu berdua kan? Ceritalah!"

Otakku mengingat kejadian kemarin malam. Tepat saat aku membuka pintu, wanita itu menyambutku. Dari wajahnya sudah dapat dibaca apa yang akan terjadi selanjutnya.

Malam itu, aku percaya adanya bahagia sebelum luka. Aku seharusnya menyadari sejak dulu, bahwa bahagia satu paket dengan luka.

Wanita itu, Sara namanya. Yang selalu mematikanku. Memadamkan semangat hidupku, bahkan tak membiarkanku merasakan rasanya bahagia yang nyata.

Ia menuntunku ke sudut dinding.  Bukan dengan memegang tanganku melainkan menggenggam leherku. Mencekikku hingga aku sulit mengalirkan udara.

"Siapa kamu, berani mencari muka di depan ayah Amel?"

"Tapi beliau ayahku juga," ucapku terbata-bata.

Aku diam saat wanita ini berkata apapun tentang diriku. Tapi, aku tentu tak terima jika diragukan sebagai putri ayah.

Aku lemah jika berurusan dengan ayah. Ayah bagai kelemahanku dan bunda adalah penguatnya.

Melawan berarti aku harus siap terluka lebih dalam. Setidaknya aku harus tetap bertahan sampai ayah datang.

Wanita itu menarik leherku lalu mendorongnya, seolah ingin membuat remuk punggungku dengan perantara tembok. Begitu seterusnya, sampai nyeri di tulang punggungku semakin terasa.

Aku dibanting. Bagai kaleng kosong yang di lempar di jalanan. Tubuh saja, kosong di dalamnya, bukan hanya organ tapi nyawa pun dianggap tak ada.

Telapak tangan menjadi alas terpijaknya high heels yang menghiasi kaki wanita itu. Ditekan sampai kumenjerit kesakitan.

Aku menyerah, aku ingin menyelesaikan semuanya. Tapi bagaimana? Jika bisa aku ingin mati saja.

Untuk apa hidup jika sedih selalu dirasa di atas kebahagiaan. Wanita ini bahagia karna ada aku untuk disiksa. Apa aku juga harus ikut bahagia sebab sudah membahagiakan orang lain? Aku tidak sebodoh itu, meski aku tidak mencintai diriku tapi mencintai orang lain lebih kubenci.

Belum puas, wanita itu menjambak rambutku yang terurai, menuntunku berdiri. Lalu mendorongku menggunakan kekuatan penuh.

Jatuh lagi, berdiri kembali untuk dijatuhkan hingga aku merasa di bawah lebih baik daripada di atas, jika untuk dimanfaatkan.

Usai sudah, suara mesin mobil terdengar. Wanita itu menata gaunnya. Berjalan anggun menghampiri keluarganya.

Aku berjalan tertatih menaiki tangga. Tangga ini sangat mengesalkan, mengapa di saat seperti ini terasa semakin tinggi?

Di dalam ruangan gelap ini, aku menumpahkan air mata yang sedari tadi kutahan.

Teriakan tak lupa kusertakan. Aku berfikir untuk apa aku ada jika tidak dianggap nyata. Apakah kehidupan memang bekerja dengan cara seperti ini?

Lelah, sungguh aku penat dengan ini semua. Aku memegang liontin kalung di leherku.

Berdialog sendiri di dalam hati.

"Bunda, ini Bulan. Bulan yang sinarnya tak pernah dianggap. Bunda kenapa pergi? Bulan sakit bunda. Bulan capek, ikut bunda boleh? Bulan ingin sekali bahagia seperti dulu, karena Bulan terbiasa seperti itu. Tapi Bulan tahu kok bunda, bahwa masa lalu hanyalah kenangan yang hanya boleh disimpan bukan diulang.

"Kita ketemu nanti ya Bunda. Setelah Bulan sudah benar-benar lelah, menyerah, dan harapan Bulan untuk bahagia sudah tak ada. Bulan ingin tidur, selamat malam sinarnya bulan!"

Aku tersentak. Ayah menyebut namaku dengan suara kencang. Aku menoleh ke arah ayah.

"Ngelamun apa?" Aku menggeleng saja. Menaruh sendok yang sedari tadi kugenggam.

"Itu tangan kenapa di perban?"

"Kena kaca yah, bulan pamit ya yah?"

Aku mencium tangan ayah dan bunda. Tak lupa tersenyum ke arah Amel.

"Bulan tidak berangkat bersama ayah dan Amel?"

Aku menghentikan langkah. Berbalik, menatap tubuh Amel. Seragam yang kini kukenakan juga melekat di tubuh Amel. Sedangkan gadis berambut panjang itu tersenyum manis.

 Sedangkan gadis berambut panjang itu tersenyum manis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Massa (TAMAT)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang