Bab 16

241 46 8
                                    

Hari terus berganti, waktu terus bergerak, dan hidup terus berjalan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari terus berganti, waktu terus bergerak, dan hidup terus berjalan. Patah hati bukan berarti waktu akan menunggumu merenung, terdiam hingga kau kembali sadar.

Bukankah setiap hari aku selalu merasa patah, kalah, dan payah?

Siang begitu terik. Namun, AC di seluruh sudut mall mengusir suhu tinggi yang menyengat tubuhku.

"Nih, lihat sepatu baru dari Aska." Gena menggoyang-goyangkan kakinya yang dibalut sepatu. Sepatu yang tak asing untukku.

Sepatu itu, aku yang memilihnya. Aska berbohong, bukan untuk adiknya. Namun, hadiah ulang tahun Gena.

Aska tahu aku sahabat Gena. Sebab itu, ia mendekatiku untuk tahu segalanya tentang Gena. Aku baru sadar saat insomnia kembali menyerangku kemarin malam.

"Ke lantai atas yuk! Makan dulu, nanti biar si cowok-cowok nyusul."

Sandra berjalan lebih dulu. Diikuti yang lain, tapi sebelum melangkahkan kaki aku merenungkan arti ucapan Sandra.

"Eh, emmm. Kayaknya gue harus pulang deh. Ayah nyariin." Aku tersenyum meyakinkan.

"Enggak, lo ikut. Nanti gue yang bilang sama bokap lo." Lauren berjalan menghampiriku, menggandeng lenganku.

Pasrah, hanya itu yang bisa kulakukan. Mau berkata tidak, namun tak enak. Mereka banyak membantuku.

Sedari tadi pagi aku di sini. Terjebak, mereka selalu menahan kala aku berkata ingin pulang.

Kami berjalan berdampingan. Menghampiri restoran yang menjadikan pizza sebagai menu utama.

Gawaiku berdering. Nomor tak dikenal menelpon, tapi aku tahu siapa pemilik nomor itu. Sebab itu aku tak menghiraukannya.

Lama-lama kesal juga, mendengar suara deringnya. Aku mengangkatnya.

"Hallo! Kenapa?" Aku berbicara dengan nada dingin.

Di sebrang sana Amel terisak. Suaranya terdengar bergetar, bahkan untuk berbicara ia kesusahan.

Tubuhku menegang. Air mata lolos, mengalir di pipiku. Perkataan Amel membuat duniaku berhenti.

"Gue pulang!" Aku berdiri, mengambil sling bag di atas meja.

Laura memegang lenganku, "Kenapa sih, dari tadi pengen pulang aja? Di sini dulu!"

Aku melepaskan tangan Lauren dari lenganku, "Gue ada urusan."

"Urusan apa sih? Penting banget emang? Hari minggu harusnya santai-santai, jangan terlalu sibuk entar cepat dipanggil Tuhan." Sandra berbicara santai, menggigit ujung pizza.

"Gue malah pengen cepat dipanggil tuhan. Ah, kalian enggak bakal ngerti." Aku pergi. Tak lagi menghiraukan larangan mereka.

Berlari sekuat tenaga, air mata tak henti-hentinya mengalir. Meski tatapanku lurus ke depan, aku sadar telah melewati Aska dan kawan-kawannya.

Pikiranku tengah kacau. Duniaku runtuh, kini aku tak punya alasan apa pun untuk bertahan.

Sampai di depan mall, aku celingukan di pinggir jalan. Tidak ada kendaraan umum satupun yang melintas.

Tubuhku bergerak tak tenang. Sambil sesenggukan aku menatap gawai, mencari kendaraan umum lewat benda kotak itu.

"Butuh tumpangan neng?" Tukang ojek hadir di saat yang tepat.

Tanpa ragu aku naik ke bagian belakang jok motor itu.
...

Tubuh pria yang kusayangi terbujur kaku, ditutupi beberapa lapis kain. Dengan pelan, aku duduk di sampingnya. Memeluk jenazah ayah.

Menangis keras. Nafasku tercekat. Ayah pergi dan aku sendiri. Untuk apa aku bertahan jika alasanku ada telah tiada.

"Jangan pergi ayah, jangan! Bulan enggak mau sendiri. Ayah." Aku menyandarkan kepala di atas tubuh ayah. Merengkuhnya erat.

"Ayah jahat ninggalin Bulan. Ayah kangen ya sama bunda? Sama yah Bulan juga. Tapi, kenapa tuhan enggak manggil kita bareng-bareng ya yah?"

Air mataku terus mengalir, sesak menghantam dadaku.

"Padahal, aku sudah minta sama tuhan. Untuk memanggilku sehari sebelum ayah. Aku enggak mau kehilangan lagi. Tapi..."

Aku tak mampu lagi. Duniaku hancur untuk kesekian kali. Ayah adalah orang yang kehadirannya sangat kubutuhkan.

Ayah tidak pernah berkata sayang padaku. Tapi tindakannya sudah membuktikan hal itu.

Ayah tidak selalu ada untukku. Namun, kala ayah di sampingku semuanya akan terasa menyenangkan bagiku.

Kini. Tidak ada lagi yang seperti itu. Tidak ada yang menjagaku, merengkuhku, dan menguatkanku.

Aku sudah kehilangan hal itu sejak ayah menikah lagi. Tapi yang sekarang adalah kehilangan yang lebih menyakitkan.

...

Vote yuk🥺

Vote yuk🥺

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Massa (TAMAT)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang