7. Baper

100 24 4
                                    

"Lo harus jadi pacar gue."

"H-hah?"

Jevan menghela napasnya, malas sekali ia harus mengulang ucapannya itu. "Lo harus jadi pacar gue. Lo budeg atau tuli?" tanyanya malas.

Dahnia mengerutkan alisnya. Bukannya dia tak mendengar ucapan Jevan barusan, hanya saja, apa maksud Jevan ia harus jadi pacarnya? Apa pula hubungannya dengan tanggung jawabnya atas perbuatannya tadi?

"Biar apa coba?" tanya Dahnia yang tak juga mengerti apa maksud Jevan.

Lagi-lagi Jevan menghela napasnya. "Kalau lo jadi pacar gue, otomatis teman-teman menyimpulkan kalau gue udah move-on dari Nadya, karena gue udah jadi pacar lo," jelas Jevan.

Dahnia membulatkan matanya, alasan macam apa itu?

"Bodoh! Ntar yang ada malah mereka kira lo jadiin gue pelampiasan! Kan mereka udah terlanjur tau kalau lo belum move-on dari Nadya! Anehlah kalau tiba-tiba gue sama lo jadian!" tolak Dahnia, dia mana mau jadi pacar Jevan. Ia tak sebodoh itu, ia tahu ada maksud lain dari lelaki di depannya ini.

"Mereka tau itu kan juga gara-gara lo, sialan!" sembur Jevan kesal.

Dahnia menghela napasnya kasar. Kenapa jadi serumit ini? Padahal ia kira dengan menyebarkan berita bahwa Jevan belum move-on dari Nadya itu bisa menjadi hal yang menyenangkan baginya. Kesempatan untuknya melihat Jevan habis-habisan diejek. Eh, malah sekarang dirinya sendiri yang kena imbasnya.

Dahnia berdecak lalu menolak ucapan Jevan tadi. "Gue gak mau! Lagian memang gak ada cara lain?"

Jevan tampak berpikir, ia memikirkan hal apa yang Dahnia jelas akan menolaknya dan terpaksa menerima untuk menjadi kekasihnya. Ya, Jevan memang sengaja melakukan itu, namun jangan salah, ia meminta Dahnia untuk menjadi pacarnya itu jelas bukan karena rasa suka, namun ia sengaja ingin membalas perbuatan Dahnia.

Tiba-tiba ide konyol muncul di otaknya, jelas hal ini akan Dahnia tolak, dan gadis itu tak punya pilihan lain selain menerima menjadi kekasihnya.

"Kalau lo gak mau tanggungjawab dengan jadi pacar gue, gue akan bilang ke semua orang, kalau lo juga belum bisa move-on dari mantan lo yang bernama Eric itu, dan lo harus mengiyakan kalau ada yang bertanya memastikan hal itu ke lo," ujar Jevan memberi pilihan lain untuk Dahnia. Ia tersenyum santai melihat Dahnia yang raut wajahnya semakin bingung. Ia yakin pasti Dahnia akan menolak hal ini.

Sial! Kenapa pilihannya lainnya begini? Batin Dahnia kesal.

"Kenapa harus ini pilihan lainnya?" tanya Dahnia.

"Karena dengan begitu, kita impas. Lo juga akan diejek karena lo gamon ke Eric padahal elo yang mutusin," ujar Jevan tersenyum puas.

"Tapi gue udah move-on!" sanggah Dahnia.

"Ya masa bodoh," ujar Jevan tak peduli.

Dahnia mengacak rambutnya frustrasi. Mengapa Jevan sangat menyebalkan! Jika ia memilih pilihan pertama, apa kata dunia? Jevan dan dirinya adalah dua manusia yang tak boleh jadi satu. Pasti sekolah akan gempar bila dirinya benar-benar berpacaran dengan Jevan. Tapi jika ia memilih pilihan kedua, ia juga akan malu jika oranglain mengira ia gamon pada Eric padahal Dahnia lah yang meminta putus duluan. Ah! Dahnia jadi serba salah sekarang.

"Gue gak mau tanggungjawab," ujar Dahnia yang bingung harus memilih apa.

"Harus! Gue gak kasih lo pilihan buat gak tanggungjawab! Lo pilih, lo mau jadi pacar gue atau gue bilang ke semua orang kalau lo gamon ke--"

"Ck, iya-iya! Bentar gue mikir dulu!" potong Dahnia cepat. Jevan bawel sekali sih!

"Cepat!" seru Jevan tak sabar.

RIVAL Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ