5. Sisi lain

124 28 21
                                    

Sore hari, tepatnya pukul 15.00, motor matic milik Jevan sudah terparkir di pekarangan rumah milik keluarga Dahnia. Lelaki itu segera berjalan menuju pintu dan mengetuknya beberapa kali.

Tak lama, seorang gadis dengan penampilan ala rumahan, membukakan pintu untuk tamu yang datang kerumahnya itu.

"Eh Jeje, ada apa?" tanya gadis itu saat melihat seorang lelaki yang ia kenali di depan pintu rumahnya.

"Gue cari Dahnia, mau kerja kelompok," jawab Jevan seadanya.

Gadis yang adalah kembaran Dahnia itu segera mengangguk. "Bentar ya, gue panggil Dahnianya dulu," ujar Dahlia, lalu kembali masuk untuk memanggil Dahnia.

Beberapa menit kemudian Dahnia keluar, masih dengan baju ala rumahan dan celana selutut yang ia pakai. Ia menghampiri Jevan yang sudah menunggunya di depan.

"Lah? Cepat banget? Gue baru aja selesai makan."

Jevan berdecak. "Yaudah gue tinggal." Lantas ia hendak pergi kembali menghampiri motornya. Namun sebelumnya, Dahnia menarik lengan cowok itu.

"Tunggu ish! Bentar, gue ganti baju. Sebentar doang kok, jangan ditinggal!" pinta Dahnia, lalu ia buru-buru masuk ke dalam rumah dan mengganti bajunya.

Jevan terkekeh, padahal dia tidak benar-benar mau meninggalkan Dahnia. Biasalah, tadi ia sengaja membuat Dahnia kesal, dan takut ditinggal. Apa lagi kalau bukan karena ekspresi lucu dan manis gadis itu yang membuat Jevan selalu sengaja membuatnya kesal.

Tidak menunggu waktu lama, Dahnia sudah keluar lagi dengan baju lengan panjang berwarna hitam, dan celana jeans yang juga berwarna gelap. Dahnia juga memakai topi berwarna hitam dan tas ransel mini berwarna abu-abu yang berisi buku dan alat tulis lainnya, menambah kesan manis pada gadis itu. Meskipun penampilannya serba hitam, tapi wajahnya tidak berubah menjadi seram, justru tambah lucu dan imut.

"Hitam-hitam begitu kayak mau melayat aja lo," komentar Jevan saat melihat warna pakaian yang dipakai Dahnia.

Dahnia melihat pada baju dan celana yang ia pakai, lantas ia menatap Jevan dengan tatapan datar.

"Iya, gue pengen melayat, tapi lo nya belum meninggal," jawab Dahnia yang membuat Jevan langsung melotot kepadanya. Sementara Dahnia, langsung tertawa setelah merasa puas dengan jawabannya yang membuat Jevan tak bisa lagi mencibir soal penampilannya itu.

"Astaghfirullah, lo pengen gue meninggal?"

Dahnia tampak berpikir mendengar pertanyaan dari Jevan. "Gak juga sih, gue cuma pengen lo pergi aja dari hidup gue."

"Kalau gue pergi dari hidup lo, gak seru dong. Ntar yang bikin lo kesel siapa? Kan cuma gue," ujar Jevan dengan senyuman bangga. Senyuman itu benar-benar terkesan menyebalkan bagi Dahnia.

"Banyak, yang nyebelin bukan lo doang. Danang, sama Ricko juga sama-sama nyebelinnya seperti lo!"

"Tapi yang nyebelin, ganteng, pintar, lucu dan keren, cuma gue," ujar Jevan bangga.

Dahnia memutar bola matanya malas. Ia paling sebal jika Jevan sudah mulai membangga-banggakan dirinya sendiri. Dahnia heran, kok ada sih manusia sangat percaya diri seperti Jevan?

"Udahlah cepat berangkat, ntar pulangnya kesorean lagi!"

"Lo udah pamit ke ibu lo?" tanya Jevan yang merasa tidak enak jika belum pamit pada ibunya Dahnia.

Jevan itu orangnya sopan sekali. Ia harus mendapat izin dulu dari orangtua Dahnia kalau ia akan membawanya pergi kerja kelompok. Ya, ia selalu meminta izin sebelum ia melakukan sesuatu yang berkaitan dengan orang lain. Termasuk membawa Dahnia kerja kelompok. Meskipun, Dahnia memang hanya menebeng Jevan karena tak tahu rumah Ragil.

RIVAL Kde žijí příběhy. Začni objevovat