Bab 1

2.2K 180 106
                                    

Gelap menyelimuti

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gelap menyelimuti. Cahaya seakan tidak mau menerangiku. Aku tidak sedang menjadi tawanan, tidak berada di dalam gedung terbengkalai, ataupun dalam ruang bawah tanah.

Aku di dalam kamarku sendiri. Dibelenggu amarah. Hatiku berkabut, mendung. Air mata turun di pipiku.

Kamar ini ruangan keramat bagiku, terkutuk. Aku sendiri yang mengutuknya. Meringkuk di pojok ruangan, isak terdengar di telingaku sendiri.

Cahaya masuk, menyelinap dari pintu yang terbuka. Derap langkah kaki semakin lama semakin terdengar.

Tidak ada yang boleh kemari selainnya. Bukan, bukan aku yang melarang, tapi wanita berpakaian mewah di depanku.

"Makan!" Aku mendongak sekilas, sebelum menunduk kembali.

"Jawab bego!"

Tubuhku terhuyung kala kaki putih wanita itu menendang tubuhku. Diam, tidak melawan. Jika aku bergerak atau berucap akan tambah runyam.

Air mataku mengalir deras. Mataku terpejam, meredakan sakit di kepalaku.

Wanita itu menarik rambutku. Tidak cukup dengan itu, ia menghantamkan kepalaku ke tembok dengan keras.

"Nangis aja bisanya, cengeng banget."

Dia pergi. Aku berteriak, menangis memegang kepala. Aku ingin pergi saja, bukan dari rumah ini tapi dari dunia.

Nafasku tersengal-sengal. Keringat mengucur di pelipisku. Kutengok jam di dinding, pukul enam pagi.

Segera aku berjalan ke kamar mandi, membersihkan tubuh yang tulang-tulangnya remuk. Sakit di sekujur.

Di depan cermin aku memandang wajah milik orang munafik. Bahkan sepertinya, bayangan manusia di dalam cermin menatapku remeh, menertawai keadaanku.

Pyar!

Darah menetes dari punggung tanganku. Kepingan kaca berceceran. Cermin itu tinggal kerangka saja.

"Gitu aja pecah, lemah memang."

Setelah membersihkan luka, aku keluar. Menuruni tangga, rasanya anak tangga ini tidak ada ujungnya.

Jangan berpikir tidak ada lift di rumah berlantai empat ini. Ada, namun kuanggap pajangan saja.

"Selamat pagi ayah," sapaku pada pria paruh baya yang duduk di kursi meja makan.

"Selamat pagi putri ayah."

Aku tersenyum saja, sebelum duduk bersama kedua orang tuaku. Bunda mengoleskan selai kepermukaan roti tawar. Menumpuk dua helai roti dan memberikan padaku.

Setiap pagi diawali sarapan, energi tidak akan tumbuh sendiri. Apalagi dengan senyuman, tidak akan bertambah.

Pertanyaan-pertanyaan seputar keseharian ditujukan padaku. Ayah dan bunda selalu bertanya tentang hal yang sama.

 Ayah dan bunda selalu bertanya tentang hal yang sama

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Massa (TAMAT)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang