Delapan

3.8K 589 29
                                    

Ini aku kepagian ga sih updatenya? wkwkwk

Ada yang masih nunggu? Harus masih ada yang nunggu! Wkwkwkwk

Yok vote dulu!

Selamat membaca <3

***

Sejak Hari pulang dari rumah sakit, atau lebih tepatnya hampir dua minggu yang lalu, Hana belum melihat batang hidung Hamam di rumah. Laki-laki itu seperti hilang ditelan bumi, bahkan Hana tidak tahu kabarnya bagaimana—mengingat mereka belum bertukar nomor ponsel. Sejujurnya Hana bahkan hampir lupa jika ia sudah menikah. Mungkin jika tidak karena Hamas dan tempat tinggal barunya, Hana masih merasa seperti wanita lajang karena memang rasanya ia seperti wanita yang belum menikah.

Hana tidak pernah berkomunikasi dengan suaminya, bahkan tidak memiliki nomor ponsel suaminya. Hana tidak tahu apapun tentang suaminya, dan sepertinya Hamam pun tidak berniat mencari tahu apapun tentang Hana juga. Setelah Hana pikir-pikir lagi, pernikahan ini lebih dari salah, karena sudah sangat aneh dan berjalan tidak seperti seharusnya. Pernikahan ini berjalan seperti pernikahan konyol yang berguna untuk mengganti status dari lajang menjadi menikah saja, tidak lebih dari itu.

Ah, tapi, memang apa yang Hana harapkan dari penikahan ini? Awal pernikahannya saja sudah sangat konyol dan salah.

"Bu, waktu pentas seni, ayah dateng enggak, ya?"

Hana tersadar dari lamunannya dan menatap anak laki-laki yang kini berada di dekapannya. "Kalau kamu bilang, ayah pasti dateng."

"Tapi ayah sibuk terus," sahut Hamas kemudian mengerucutkan bibirnya. "Ayah enggak pernah dateng ke acara sekolah, enggak pernah anter aku sekolah, enggak pernah jemput aku juga," ujar Hamas yang membuat Hana tersenyum miris. "Sebenernya ayah sayang enggak sih bu sama aku?"

Hana mengusap rambut halus Hamam dengan sayang. "Kalau ayah enggak sayang, buat apa ayah kerja dari pagi sampai malem?" tanya Hana dengan lembut. "Dengerin ibu ya, Bang," Hana menatap Hamas yang juga sedang menatapnya. "Ayah itu sayang banget sama abang sampai rela buat capek-capek kerja, dari pagi sampai malem buat dapet uang. Kan kalau ayah dapet uang, uangnya buat siapa? Buat ayah sendiri? Bukan, kan? Buat abang juga.. buat abang beli makanan, beli es krim, beli mainan juga."

"Selain itu, abang harus tahu kalau pekerjaan ayah itu hebat banget loh," sambung Hana. "Abang tahu enggak sih pekerjaan ayah itu apa?"

"Dokter!"

Hana membenarkan. "Kalau dokter kerjaannya ngapain?"

"Sembuhin orang sakit."

Hana kembali membenarkan. "Nah, sekarang kan abang tahu kalau pekerjaan ayah itu dokter yang kerjaannya sembuhin orang sakit, berarti bekerjaan ayah itu mulia apa enggak?"

"Mulia, Bu."

"Nah, selain biar punya uang yang banyak, pekerjaan ayah itu juga mulia karena sembuhin orang sakit, Bang," ujar Hana mencoba memberi pengertian. "Jadi, abang jangan pernah bilang atau kepikiran kalau ayah enggak sayang sama abang, ya. Nanti kalau abang kepikiran dan bilang gitu terus ayah sedih gimana? Kan kasihan ayah, Bang. Abang enggak mau buat ayah sedih, kan?"

Hamas mengangguk. "Aku enggak mau ayah sedih, aku sayang sama ayah," Hana tersenyum lebar. "Aku sayang sama ibu."

"Ibu juga sayang sama abang," jawab Hana sambil mengeratkan pelukannya pada Hamas. "Sekarang abang tidur, ya? Besok kan harus bangun pagi buat salat subuh terus sekolah." Hamas menagngguk di dalma pelukkan Hana.

Tak lama Hamas sudah tertidur, sementara Hana masih belum bisa memajamkan matanya karena merasa haus. Setelah menyingkirkan tangan Hamas dari perutnya secara perlahan, Hana pun bergegas pergi ke dapur untuk mengambil minum. Hana hanya butuh segelas air mineral hangat lalu tidur.

Me After YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang