Tiga Puluh Tujuh

3K 437 197
                                    

Bismillahirrahmanirrahim, dengan izin Allah dan restu ayah-ibu, aku mau update nich!

Jangan lupa VOTE!

Kasih KOMEN juga biar rame!

Selamat membaca~

***

Sebuah mobil SUV berwarna putih baru saja berhenti di sebuah halaman rumah, seseorang kemudian turun dari mobil itu—Hamam. Laki-laki itu menatap rumah yang sudah lama ia huni itu sebentar sebelum akhirnya melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah itu.

Hari sudah sore dan Hamam baru saja pulang dari rumah sakit, di mana pulang sore adalah hal baru untuknya karena selama bekerja Hamam jarang sekali bisa pulang sore, seringnya ia pulang di malam hari atau pada dini hari, tetapi karena keadaan istrinya yang masih belum stabil setelah pulang dari rumah sakit membuat Hamam memilih untuk mengesampingkan pekerjaannya dan pulang lebi awal setiap hari.

Hawa dingin menyambut Hamam yang baru saja masuk rumah. Sejak Hana pulang dari rumah sakit—tepatnya hampir satu minggu yang lalu, suasana hangat di rumahnya memang sudah tidak ada lagi. Rumahnya kembali dingin seperti sebelum Hana memasuki rumah ini, dan ia tidak menyukai keadaan rumahnya sekarang.

Asih baru saja keluar dari kamar tamu dengan membawa nampan berisi piring dan satu gelas air mineral, Hamam menghampirinya—sedikit berharap jika piring dan gelas yang dibawa Asih dalam keadaan kosong, namun harapan tinggal harapan karena makanan dan air mineral itu hanya berkurang sedikit—bahkan seperti hampir tidak tersentuh.

"Mbak Hana baru mau makan sedikit-sedikit, Mas," ujar Asih kemudian menghela napas pelan. "Tapi untungnya masih mau makan."

Asih kemudian meninggalkan Hamam yang masih terdiam di tempatnya. Sesaat kemudian ia menyadari keberadaan Hamas yang berada di depan pintu kamar tamu yang sedikit terbuka, mengintip seseorang yang berada di dalam kamar itu dalam diam.

"Hamas," Hamam menyentuh bahu Hamas dengan pelan, membuat anak laki-laki itu sedikit terkejut dan bergegas memutar tubuhnya agar dapat berhadapan dengan Hamam. "Kamu ngapain di sini?"

"Aku mau lihat ibu."

"Kamu kan bisa masuk."

"Aku takut ganggu ibu," jawab Hamas dengan sedih. "Kata Bi Asih, ibu lagi enggak mau ketemu sama siapa-siapa, termasuk aku."

Hamam menghela napas pelan dan berjongkok agar bisa menyamai tinggi anaknya. "Sekarang ini ibu lagi enggak baik-baik aja, tapi bukan berarti ibu enggak mau ketemu lagi sama kamu," ujar Hamam dengan pelan. "Ibu cuma masih butuh waktu," Hamam mengusap rambut Hamas dengan pelan. "Kamu sabar dulu, ya. Nanti setelah ibu baik-baik aja, ibu pasti mau main lagi sama kamu."

"Tapi sampai kapan?" tanya Hamas lesu. "Aku udah kangen sama ibu."

Hamam terdiam sejenak. "Kamu main sendiri dulu ya," jawab Hamam. "Kalau kamu sabar dan enggak nakal, ibu pasti mau main lagi sama kamu," Hamas menghela napas berat. "Sekarang kamu masuk kamar dulu atau main sama bibi."

Hamas mengangguk pelan sebelum pergi meninggalkan ayahnya. Setelah Hamas pergi, Hamam perlahan memasuki kamar yang menjadi tempat Hana tidur dan menyendiri setelah keluar dari rumah sakit. Hamam tidak tahu apakah Hana menydarai keberadaanya atau tidak, tetapi ia terus berjalan dengan perlahan mendekati istrinya yang sedang duduk di tepi ranjang menghadap ke jendela kamar yang terbuka sehingga Hana bisa melihat halaman belakang.

Hamam menghela napas pelan sebelum duduk di samping istrinya, sedikit berjarak agar Hana tidak merasa terganggu—meski sebenarnya Hamam pun tahu jika keberadaannya sudah cukup menganggu untuk Hana.

Me After YouWhere stories live. Discover now