Empat Puluh Satu

3K 455 83
                                    

Halo! Ada yang nunggu?

Sebelum baca, bantu VOTE dulu, ya!

Selamat membaca🖤

***

Kumandang azan subuh terdengar ketika Hana baru saja membuka jendela rumah. Udara sejuk menyambutnya, membuat Hana menghirup dalam-dalam udara itu sebelum membuangnya secara perlahan. Suasana desa yang sepi membuat Hana semakin merasa tenang.

Sudah lebih dari satu minggu ini Hana berada di desa tempat ibunya di lahirkan, sebuah desa yang berada di kaki gunung. Jadi, tidak heran jika suasana di desa itu masih begitu tenang dan nyaman, terlebih di waktu subuh seperti saat ini.

Hana tersenyum kecil melihat anak-anak kecil berlarian di jalan sambil bercanda, mereka beramai-ramai pergi ke masjid, sebuah pemandangan yang jarang ia lihat jika berada di kota atau lebih tepatnya di perumahan tempat ia pernah tinggal dulu.

Senyum Hana surut ketika mengingat rumah terakhir yang ia huni, masih banyak kenangan yang membekas di kepalanya. Jujur saja Hana masih sulit melupakan segala kenangan yang ada di rumah itu, mungkin juga tidak akan pernah bisa. Kenangan tentang rumah terakhirnya tidak akan mungkin bisa Hana lupakan, karena ia hanya bisa mengikhlaskannya. Hana sadar akan hal itu, jadi ia tidak akan menolak perasaan-perasaan rindu atau pun kecewa yang hadir di benaknya mengenai rumah itu. Rasanya bukan hanya Hana saja yang akan sepakat jika melupakan bukan hal yang mudah.

Tidak ada yang mudah dalam hal melupakan.

Tidak mau larut dalam pikirannya, Hana bergegas pergi mengambil air wudu sebelum beribadah subuh. Ia harus menenangkan pikirannya, juga hatinya. Setelah tinggal di desa, perasaan Hana memang jauh lebih baik dari sebelumnya, ia tidak sekacau kemarin. Perasaan rindu pada orang-orang yang ada di kota tentu saja masih ada di benak Hana, namun sekuat apapun perasaan itu, Hana akan menahannya.

"Mbak Hana buat apa?" tanya seorang gadis muda saat Hana sibuk memotong daun bawang di dapur.

Hana menatap wanita itu dan tersenyum. "Mau buat nasi goreng," jawab Hana. "Kamu mau kan nasi goreng?"

Fitri—gadis muda itu mengangguk dengan penuh semangat. "Mau dong!" Hana tersenyum mendengar jawaban dari anak gadis itu. "Aku bantu ya, Mbak."

Saat ini Hana tinggal di rumah mendiang kakek-neneknya yang setelah tiada, rumah itu dihuni oleh asisten rumah tangga yang juga menjadi orang yang menjaga Hana saat kecil dulu, Warsih. Wanita paruh baya itu tidak sendiri, ia tinggal bersama dua cucunya yang sudah lama menjadi anak yatim-piatu, Fitri dan Dian.

Keluarga Hana yang memang jarang pulang ke desa, akhirnya memutuskan untuk membiarkan Warsih yang sudah lama mengabdi di rumah mereka untuk tinggal dan merawat rumah itu. Jadi, ketika sewaktu-waktu mereka ingin berkunjung, rumah peninggalan itu akan bersih dan terawat, seperti saat ini—saat Hana butuh 'mengasingkan diri' dari semua hal yang membuatnya lelah.

"Ini di masukin aja ya, Mbak?"

Hana membenarkan dan membuat Fitri dengan cepat memasukkan irisan sosis ke dalam wajan. Hana memperhatikan Fitri yang nampak antusias membantunya memasak, membuat Hana melengkungkan senyumnya.

Tangan Hana bergerak untuk mengusap kepala gadis yang tingginya hampir sama dengannya itu dengan pelan. "Terima kasih, ya." ujar Hana dengan tulus.

"Terima kasih buat apa, Mbak?" tanya gadis itu bingung.

Karena kamu udah buat mbak enggak terlalu sedih lagi. "Karena kamu bantuin mbak dong." Hana memberi senyum manisnya, yang membuat Fitri juga melakukan yang sama.

Hana menghela napas pelan. Cepat atau lambat rasa sedihannya akan menghilang, bukan?

*

Me After YouWhere stories live. Discover now