Sembilan

3.8K 593 45
                                    

Masih ada yang nungguin cerita ini kan, ya?

Semoga aja masih ada xixixi

Vote dulu yuk!

Jangan lupa kasih komen biar rameee wkwkwk

Selamat membaca~

***

Sejak 'pertengkaran' mereka beberapa hari yang lalu, hubungan Hana dan Hamam tidak menunjukkan tanda-tanda membaik. Hamam terlalu sibuk dengan pekerjannya hingga tidak sempat berbicara dengan Hana, sementara Hana sendiri selalu berusaha menghindari dan mengabaikan Hamam.

Sejauh ini hubungan Hana dan Hamam tidak mengalami perkembangan, berhenti di berganti status dari lajang menjadi suami atau istri, tidak berkembang seperti sewajarnya pasangan yang sudah menikah. Mereka bahkan tidak berkomunikasi satu sama lain, sampai sekarang mereka juga belum bertukar nomor ponsel masing-masing. Hana dan Hamam lebih pantas disebut sebagai pasangan suami-istri yang sudah berada di ujung tanduk pernikahan daripada pasangan pengantin baru.

Sebenarnya Hana sempat berpikir, mengapa Hamam merekrutnya sebagai seorang istri jika akhirnya mereka hanya menjadi orang asing? Mengapa Hamam membutuhkan seorang istri jika akhirnya Hana hanya menjadi pengasuh atau ibu untuk Hamas? Mengapa Hamam tidak merekrut Hana menjadi pengasuh Hamas saja?

Hamam benar-benar masih menjadi orang asing bagi Hana, padahal mereka sudah menikah hampir satu bulan. Hana sebenarnya ingin mengenal suaminya itu lebih dalam, tetapi Hamam terlalu sibuk dengan pekerjaannya dan terkesan membangun tembok tinggi yang menghalangi Hana untuk mengenal Hamam lebih jauh.

Jujur saja, Hana tidak tahu dengan arah hubungan mereka. Hana seolah tidak melihat Hamam di masa depannya, dan Hana merasa Hamam pun tidak melihat Hana di masa depan laki-laki itu. Tapi, memang apa yang diharapkan Hana? Sudah berulang kali Hana mengingatkan pada dirinya bahwa awal dari pernikahannya saja salah, tidak seharusnya ia mengharapkan apapun dari pernikahan ini.

Hana menghela napas pelan. Ia melipat mukena dan sajadah yang baru saja ia gunakan untuk beribadah sebelum pergi ke dapur karena ia harus segera memasak sarapan untuk dirinya dan Hamas. Jika pikiran-pikiran tentang pernikahannya merasuki pikiran Hana, ia memang bergegas mengalihkannya dengan hal lain, seperti memasak. Hana tahu jika memikirkan pernikahannya yang tidak berarah hanya akan membuat kepalanya pusing, jadi ia akan langsung mengalihkannya dengan hal lain.

Lagi pula yang bisa mengontrol diri kita hanya diri kita sendiri, dan Hana tidak mau memusingkan hal-hal yang sudah jelas hanya akan membuat dirinya sengsara, karena bagaimana pun ia berhak bahagia.

"Ibu!"

Hamas berseru kencang kemudian berhambur memeluk Hana yang sedang sibuk memasak, Hana tertawa kecil melihat kelakuan anak laki-lakinya itu. "Ibu lagi buat sarapan, Bang," ujar Hana sambil mengusap rambut Hamas dengan sayang. "Abang mandi dulu ya, minta tolong Bi Asih buat nemenin abang mandi. Habis itu turun lagi buat sarapan."

"Oke, Ibu!" jawab Hamas dengan bersemangat kemudian melepaskan dekapannya pada Hana dan pergi mencari Asih agar menemaninya mandi. Hana sendiri hanya bisa tersenyum kecil melihat kelakuan Hamas dan kembali melanjutkan kegiatan memasaknya.

Tak lama masakannya pun matang, ia bergegas menyajikan masakannya di meja makan. Saat Hana sedang menata meja makan, Hamam datang ke ruang makan dan duduk di kursi meja makan. Hana menatap Hamam melalui ekor matanya, tanpa berniat menyapa atau memulai pembicaraan dengan Hamam, ia terus menata meja makan dengan wajah terjudes yang bisa ia tampilkan.

Hamam sendiri memilih diam dan mengambil piring yang Hana siapkan untuk piring lain, Hana menatapnya dengan kening berkerut. "Balikin, itu punya Hamas." ujar Hana yang membuat Hamam menatapnya tanpa ekspresi dan bergegas mengembalikan piring yang baru saja ia ambil.

Me After YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang