Enam Belas

3.6K 537 47
                                    

Waw! Pagi banget ya aku update hihiw

Vote dulu yuk!

Kasih komen jugaa yaw

Selamat membaca~

***

Terbangun dari tidurnya dengan mendapatkan pemandangan laki-laki selain sang ayah atau Hamas merupakan hal yang baru bagi Hana. Bahkan ia berulang kali harus meyakinkan dirinya jika apa yang ada di hadapannya memang nyata—Hamam benar-benar nyata. Bagaimana pun ini adalah pertama kalinya Hana tidur satu ranjang dengan suaminya meski mereka sudah menikah hampir lebih dari dua bulan lamanya.

Sebenarnya selama menikah, Hana tidak merasakan ada kemajuan atau bahkan tanda-tanda hubungannya dengan Hamam akan maju. Jadi, saat ia menghadapi realita bahwa ia harus tidur satu kamar bahkan satu ranjang dengan Hamam, Hana menjadi begitu kikuk. Bahkan Hana yakin jika ia sama sekali tidak pindah posisi dari kemarin malam saat ia mulai terlelap, karena saat ini tubuh bagian kirinya terasa sakit.

Tidak mau larut dalam pikirannya, Hana bergegas turun dari ranjang dan memulai aktivitas paginya. Mandi, bersiap untuk bekerja, kemudian menyiapkan sarapan—tanpa membangunkan Hamam karena ia terlalu penakut untuk melakukan hal itu. Tetapi tanpa Hana bangunkan pun Hamam sudah bangun sendiri, laki-laki itu juga menjalani rutinitas paginya seperti biasa—mandi, pergi ke masjid untuk beribadah, kemudian membaca resume atau apapun itu yang Hana tidak mengerti.

"Wah, masak apa kamu, Hana?" tanya Helen dengan senyum cerahnya. Ia berjalan mendekati Hana yang sedang sibuk di dapur. "Perlu mami bantu?"

"Enggak usah, mami tunggu aja di meja makan, sebentar lagi selesai kok."

Helen mengulas senyumnya. "Oke deh," jawab Helen. "Tapi mami bantu buat kopi buat Hamam, ya?"

"E—Mas Hamam enggak minum kopi lagi, Mi," sahut Hana bergegas mencegah Helen yang sudah berniat mengambil cangkir. "Sekarang kalau pagi Mas Hamam minumnya rebusan rempah-rempah," jelas Hana menjawab kebingungan di raut wajah Helen. "Tapi kalau mami emang mau bantu Hana, mami bisa buat susunya Hamas."

Helen terdiam sejenak, namun tak lama ia mengiyakan dan bergegas membuat susu untuk cucunya. Helen diam-diam tersenyum, mensyukuri perubahan baik dari hidup anak laki-lakinya. Bersyukur karena ia tidak salah mengizinkan Hamam menikah dengan Hana—meski terkesan tergesa-gesa.

"Ibu!"

Seperti pagi hari sebelumnya, Hamas akan berseru memanggil Hana dengan antusias yang tentunya akan mendapat sambutan hangat dari Hana. "Udah ganteng banget sih anak ibu," puji Hana sambil menangkup pipi Hamas dengan gemas. "Sekarang abang tunggu di meja makan sama oma dulu, ya. Sebentar lagi ibu selesai masak."

"Siap, Ibu!"

Tak lama masakan Hana matang, ia pun bergegas menyajikannya di meja makan. Hamam pun kini sudah bergabung di meja makan dengan pakaian rapi, siap berangkat bekerja. Dengan cekatan Hana pun bergegas mengambilkan nasi dan lauk pauk untuk Hamam dan Hamas, tentu saja hal itu tidak lepas dari pandangan Helen yang tidak bisa menyembunyikan senyumnya ketika melihat hal itu.

"Ngelihat kalian kayak gini, mami jadi enggak perlu khawatir lagi sama pernikahan kalian," ujar Helen yang tidak untuk tidak berkomentar. "Kalau tahu kalian seharmonis ini, mami bakal minta papi buat ngenalin kalian lebih cepet."

Hana terdiam, ia melirik Hamam sekilas. Pria itu tidak menunjukkan ekspresi yang berarti, seperti biasanya. "Kita enggak seharmonis kelihatannya, Mi, enggak usah berlebihan," ujar Hamam yang membuat senyum di wajah Helen lenyap. "Kita cuma lagi nyoba buat menjalani aja, jangan taruh ekspetasi mami di atas awan."

Me After YouWhere stories live. Discover now