Tiga Puluh Delapan

3.1K 461 150
                                    

Wow! Aku update loch!

Sebelum baca

VOTE

terus

KOMEN juga, ya!

Selamat membaca~

***

"Jahit sisanya," ujar Hamam kemudian mundur perlahan dari meja operasi setelah needle holder yang ia pakai sudah beralih ke tangan salah seorang residen. "Pagi ini saya ada jadwal rawat jalan. Setelah pasien masuk recovery room, laporkan perkembangan pasien melalui chat. Are we clear?"

"Yes, Doc."

Hamam bergegas keluar ruang operasi setelah dokter residen itu menggantikan dirinya untuk menutup luka pasien yang masih tidak sadarkan diri itu. Suara kumandang azan terdengar, membuat Hamam tanpa pikir panjang pergi ke masjid untuk melaksanakan ibadah subuh berjamaah.

Selesai beribadah, Hamam langsung pergi menuju ruangannya karena ia merasa sangat lelah setelah melakukan operasi hampir lima jam lamanya karena operasi kali ini tergolong cukup sulit. Hamam memang sudah memiliki jam terbang yang cukup tinggi dalam melakukan operasi, jika bukan karena jam terbangnya, mungkin ia tidak akan menjadi salah satu dokter bedah toraks dan kardiovaskular yang patut diperhitungkan. Namun, seperti kata Hana, bagaimana pun ia tetaplah manusia biasa. Ia bisa merasa lelah saat menjalani pekerjaannya.

Ah, mengingat nama istrinya membuat sesuatu di dalam diri Hamam terasa diremas dengan kuat.

Hamam menyandarkan tubuhnya di kursi kerjanya dan menghela napas pelan. Ia kemudian mengambil ponsel dan membuka aplikasi pesan singkat untuk memeriksa apakah ada pesan dari Hammi atau tidak, tetapi ia harus kembali menghela napas berat ketika tidak mendapat pesan dari iparnya mengenai kondisi Hana.

Tidak mau larut dengan pikirannya, Hamam pun memilih untuk menyalakan komputer untuk membaca medical report pasien-pasien rawat jalan yang akan ia temui pagi ini. "Good morning, Doc." Hamam menatap seseorang yang baru saja membuka pintu ruangannya dengan senyum ceria, namun ia tidak berniat menanggapi sapaan orang itu dan memilih kembali membaca medical report pasien-pasiennya. "Ice americano buat dokter yang akhir-akhir ini banyak ngelamun," orang itu berseru ceria sambil meletakkan satu cup kopi itu di meja Hamam. "Gue yang traktir."

"Ini masih pagi, kalau mau ganggu, agak siangan aja," jawab Hamam tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar monitor. "Jadi, tolong tutup pintunya dari luar, Dokter Dika."

Dika—orang itu, berdecak sebal. "Lo emang orang yang paling enggak seru sedunia."

"Thanks."

Hamam kembali membaca medical report pasien-pasiennya dengan khidmat setelah Dika keluar dari ruangannya hingga ponselnya berbunyi, sebuah pengingat bahwa ia harus bersiap sebelum menemui pasien-pasiennya yang lain.

Setelah membersihkan tubuhnya dan berganti baju, Hamam pun pergi menuju ruang konsultasi di mana ia akan bertemu dengan pasiennya. Saat menyusuri koridor rumah sakit, ponsel Hamam bergetar—tanda sebuah pesan baru saja masuk. Tanpa berpikir dua kali Hamam memeriksa pesan itu yang membuatnya langsung memutar jalan.

Kini Hamam menyandarkan kepalanya di tembok sambil bersedekap, dan matanya tidak lepas dari sosok yang sudah tiga hari ini jauh dari jangkaunnya—Hana. Wanita itu tidak jauh berbeda dari yang terakhir kali Hamam lihat, masih begitu kurus dan pucat. Belum ada perubahan yang berarti, dan hal itu membuat dada Hamam seperti tersayat belati.

Hari ini adalah pertemuan ke-dua Hana dengan psikolog di rumah sakit yang juga rekan kerjanya, Karin. Meski Hamam tahu jadwal pertemuan Hana dengan rekan kerjanya, namun Hammi ternyata tetap memenuhi janjinya untuk memberi tahu bagaimana kondisi Hana dan apa yang sedang wanita itu lakukan. Hal ini tentu membuat Hamam bersyukur, tetapi hal ini juga membuat Hamam semakin merindukan Hana.

Me After YouWhere stories live. Discover now