Dua Puluh Delapan

3K 444 31
                                    

Halo! Selamat bermalam minggu semwa!

Ada yang nungguin Hana sama Hamam?

Yuk VOTE dulu!

Selamat membaca~

***

"Hammi jadi ke sini?"

Hana yang sedang menyajikan makanan di meja makan mengiyakan pertanyaan Hamam. "Terakhir aku chat katanya udah di jalan, tapi mau mampir dulu. Jadi enggak tahu sampainya jam berapa."

Hamam yang duduk di kursi meja makan hanya mengangguk mengerti. "Aku laper!" seru Hamas yang berlari dari tangga menuju ruang makan. "Ibu, aku mau makan!"

"Pelan-pelan aja, kan enggak perlu lari-lari," tegur Hamam melihat anaknya yang kini sudah menarik kursi sebelum duduk di kursi itu. "Makanannya juga enggak ke mana-mana."

Hamas hanya tersenyum lebar ketika ditegur Hamam, Hana yang melihatnya pun hanya menggelengkan kepalanya pelan. "Abang, sambil nunggu nasinya agak dingin, ibu minta tolong abang panggilin Tante Fasa, ya," ujar Hana sambil mengambil nasi untuk Hamas. "Bilang tante diminta ibu buat sarapan dulu."

"Siap, Ibu." jawab Hamas kemudian turun dari kursi dan berlari menuju kamar tamu—kamar yang digunakan Fasa untuk tidur.

Hamam menggeleng pelan. "Lihat aja kalau jatuh nanti gimana," Hana hanya tersenyum tipis mendengar gerutuan Hamam sambil mengambilkan beberapa lauk di piring laki-laki itu. Tidak lama Hamas kembali ke ruang makan, diikuti Fasa di belakangnya. "Kamu habis nangis?" tanya Hamam pada Fasa saat melihat wajah adiknya yang sedikit bengkak dengan mata memerah.

"E—enggak kok, Kak," sangkal Fasa dengan gugup kemudian duduk di kursi, Hana yang melihat hal itu hanya diam saja. "Maaf ya, Kak Hana, aku enggak bantuin kakak masak."

Hana tersenyum. "Enggak apa-apa, Fa."

"Emang kamu itu bisanya cuma ngerepotin."

Ucapan Hamam membuat raut wajah Fasa seketika berubah, Hana memperhatikan hal itu dan menegur suaminya. "Enggak ada yang ngerepotin di sini, keluarga enggak pernah ngerepotin satu sama lain," Hana kemudian mengambil piring untuk Fasa. "Makan yang banyak ya, Fa, jangan dengerin Kak Hamam."

"Terima kasih, Kak."

Hamam mengendikkan bahunya tak acuh dan mulai makan, begitu juga dengan Hamas dan Hana. Namun pagi ini Hana tidak bisa sarapan dengan tenang, apalagi saat melihat kondisi Fasa sekarang. Wanita yang biasanya tidak mempedulikan ucapan kasar Hamam—yang sebenarnya hanya candaan itu, kini hanya menunduk seperti ingin menangis. Tidak ada Fasa yang ceria, tidak ada Fasa yang cerewet. Sepertinya hormon kehamilan benar-benar mengubah adik ipar Hana itu, terlebih sekarang ia hamil sendiri—tidak ada suami atau seseorang yang mendampinginya, bahkan hanya Hana yang tahu soal kehamilan Fasa ini.

"Kamu mau tambah makannya, Fa?" tanya Hana saat melihat nasi di piring Fasa tinggal sedikit. "Atau mau supnya lagi?" Fasa menggeleng pelan kemudian melanjutkan sarapannya dengan enggan.

"Ibu, aku udah selesai makannya. Aku boleh ambil puding?"

Hana melihat piring Hamas yang sudah kosong dan mengiyakan. "Tolong ambilin juga buat tante ya, Bang."

Hamas pun segera turun dari kursi dan pergi ke dapur untuk mengambil puding yang ada di lemari es. Tidak lama Hamas kembali dengan dua cup puding cokelat di tangannya, ia memberikan satu puding yang ia bawa kepada Fasa. "Ini, Tante." ujar Hamas sebelum mengambil sendok kecil dan beringsut pergi meninggalkan ruang makan.

"Jalan pelan-pelan aja, Hamas." Hamam berujar mengingatkan, namun perhatiannya teralihkan pada Fasa yang mendadak mual.

Fasa menutup mulutnya dengan satu tangan dengan wajah pucat. Hana yang melihat itu bergegas menjauhkan puding cokelat dari hadapan Fasa. "Kamu enggak apa-apa?" tanya Hana khawatir.

Me After YouDonde viven las historias. Descúbrelo ahora