Tiga Puluh Tiga

2.9K 486 106
                                    

Haluw!

Udah lama banget rasanya enggak update hiks :"

Semoga masih ada yang nungguin cerita ini, ya! Xixixi

Sebelum baca, VOTE dulu dong!

Selamat membaca~

***

Hana mengusap pelan wajahnya, berharap membuatnya sedikit lebih segar agar bisa bertahan beberapa jam lagi di depan layar laptop. Sudah hampir lima jam Hana berada di depan layar laptop, sibuk dengan pekerjaannya.

Sejak kepergian ayahnya, Hana memang memilih untuk menyibukkan diri. Dari mulai mengerjakan tugasnya sebagai guru, mengurus Hamas, mengerjakan pekerjaan rumah.. hampir semuanya ia kerjakan sendiri. Bahkan Hana kembali mengambil pekerjaan sebagai penulis konten, pekerjaan yang sudah lama tidak ia geluti. Hana bukannya kekurangan uang, tentu saja uang dari Hamam dan gajinya sudah lebih dari cukup, hanya saja ia perlu membuat dirinya sibuk agar tidak terus mengingat mendiang sang ayah.

Meski sudah hampir satu bulan Hari meninggal karena kecelakaan, Hana tetap masih sulit untuk mengendalikan emosinya jika teringat tentang sang ayah, karena tidak bisa dipungkiri jika kehilangan adalah hal tersulit, merelakan pun sudah seperti omong kosong. Tidak ada yang benar-benar bisa mengikhlaskan sesuatu yang hilang. Tidak ada.

Hana menghela napas pelan, ia sedikit merenggangkan otot-otot tubuhnya agar lebih rileks. Merasa sedikit lelah dan penat, Hana pun memutuskan untuk meninggalkan meja kerjanya kemudian pergi ke balkon yang ada di perpustakaan, berharap udara malam dapat menjernihkan kepalanya yang sudah begitu penat. Hana menghela napas berat dan menatap langit malam yang dipenuhi bintang, tanpa ia sadari sebuah pertanyaan menyelinap di benaknya.

Apakah ayah dan ibunya sudah bahagia di sana?

Bagi sebagian orang kematian adalah sebuah kebahagiaan, karena kematian membuat kita terhenti dari kehidupan di dunia yang menyesakkan ini. Hana tidak tahu apakah ayah dan ibunya bahagia dengan kematian mereka, tetapi Hana harap mereka berbahagia meski harus meninggalkannya sendiri di dunia, meski kematian mereka meninggalkan duka bagi dirinya.

"Hari ini langitnya cerah," sebuah suara menginterupsi lamunan Hana, beberapa saat kemudian Hana merasakan sebuah kehangatan oleh sebuah kain yang menyelimutinya kemudian disusul sebuah tangan kekar yang mendekapnya dengan kokoh. "Tapi udara malem tetep enggak baik buat kamu."

Hana tersenyum kecil. "Akhir-akhir ini sering hujan, sampai-sampai rasanya hari cerah udah langka. Jadi, aku enggak mau ngelewatin momen ini."

"Selalu ada hal-hal indah setelah hujan," ujar Hamam sambil ikut melihat bintang di langit, Hana mengangguk pelan seolah menyetujui ucapan Hamam. "Kerjaan kamu udah selesai?" tanya Hamam setelah beberapa saat diam.

"Tinggal sedikit," jawab Hana tanpa mengalihkan pandangannya pada bintang. "Ada beberapa yang harus aku baca ulang dan mungkin direvisi."

"Bisa dikerjain besok, kan?" Hana tidak menjawab. "Beberapa hari ini kamu kurang tidur, kamu juga enggak makan dengan teratur. Kalau kamu gini terus, kamu bisa sakit. Sisa kerjaan hari ini, dikerjain besok aja, ya?"

Hana terdiam sesaat sebelum memutar tubuhnya hingga kini berhadapan langsung dengan Hamam. "Terima kasih buat perhatiannya ya, Mas, tapi masih ada beberapa kerjaanku yang perlu aku cek," jawab Hana. "Kamu tidur dulu aja, nanti aku nyusul."

Hamam menghela napas pelan, ia mengangguk pelan sebelum pergi meninggalkan Hana yang masih ingin sendiri. Hana kembali menatap bintang ketika suaminya pergi, mempererat selimut yang diberikan Hamam karena angin malam yang begitu dingin, namun tidak lama Hana merasakan kakinya tidak lagi menginjak bumi dan hal itu membuatnya hampir berteriak jika saja ia tidak cepat-cepat mengetahui bahwa pelaku yang membuatnya merasakan sensasi sedang melayang adalah suaminya.

Me After YouWhere stories live. Discover now