Sepuluh

3.7K 578 59
                                    

Hayoo~

Pada kaget ga aku up malem-malem ginii?? wkwkwk

Semoga masih ada yang nunggu yaaa

Vote dulu!

Komen juga biar rame!

Selamat membaca~

***

Hana menatap Hamas yang masih terlelap dalam tidurnya dengan diam, ia memperhatikan bocah berusia lima tahun yang baru saja patah hati—yang entah untuk ke berapa kali—karena sikap sang ayah yang seolah mengabaikannya. Jujur saja, Hana juga merasakan sakit melihat sikap Hamam yang seperti tidak menyadari atau lebih kejamnya tidak menginginkan keberadaan Hamas di kehidupanya, meski Hana tahu jika Hamam tidak sekejam itu untuk mengabaikan anak kandungnya. Namun tetap saja apa yang dilakukan Hamam dinilai tidak pantas oleh Hana, terlebih Hamas hanyalah anak berusia lima tahun.

Bagaimana bisa Hamam menuntut anaknya mengerti tentang kesibukkannya?

Hana menghela napas pelan. Kini ia sudah menikah dengan Hamam—pria dingin yang sulit ditebak dan cenderung tidak berperasaan, dan suka tidak suka Hana harus memutar otak untuk mengatasi hubungan Hamam dan Hamas yang ia rasa sudah begitu buruk.

Hana menaikkan selimut Hamas dan membiarkan anak laki-laki itu tidur lebih lama sebelum ia pergi ke dapur untuk membuat sarapan. Namun Hana mengurungkan niatnya untuk pergi ke dapur saat melihat Hamam sedang membaca buku di tempat biasa ia membaca buku. Hana menghela napas pelan—mencoba memberanikan dirinya, sebelum mendekati pria itu.

Hana berdeham pelan, entah apa alasannya, tetapi ia merasa perlu melakukan hal itu. Hamam mengalihkan pandangannya dari buku tebal yang sedang ia baca dan menatap Hana tanpa ekspresi. "Kamu sakit tenggorokkan?" tanya Hamam yang sukses membuat Hana terpaku. Namun detik berikutnya ia memaki-maki dirinya sendiri karena sudah melakukan hal bodoh untuk mengalihkan perhatian Hamam.

"Ee—aku mau bicara sama kamu," ujar Hana, namun kali ini ini tidak mengalihkan perhatian Hamam pada bukunya. "Bisa kan kita bicara sebentar? Empat mata dan enggak ada gangguan?"

"Aku rasa dari tadi kita udah bicara, empat mata dan enggak ada gangguan." Hamam kembali menjawab tanpa mengalihkan pandangannya pada buku tebal yang sedang ia baca, bahkan kini ia sedang membalik halaman buku itu dengan tenang.

Hana mendengus sebal mendapat respon yang tidak ia harapkan dari Hamam, tetapi ia tidak boleh menyerah, demi Hamas ia akan mengobrak-abrik hidup Hamam. Setidaknya itu yang ia pikirkan sejak kemarin malam, ketika ia melihat anak laki-lakinya hanya diam dan mengatakan ia baik-baik saja, padahal Hana tahu betul bahwa Hamas sedang terluka.

"Ini soal Hamas," ujar Hana kemudian duduk di kursi di sebelah Hamam, lebih tepatnya di kursi samping meja yang menjadi pembatas dua kursi yang mereka duduki. "Emang kamu bener-bener enggak bisa ngeluangin satu hari aja buat dia?" tanya Hana dengan hati-hati. "Enggak perlu satu hari, tapi dua jam aja buat dia?"

"Aku ada operasi penting hari itu." jawab Hamam tanpa mengalihkan pandangannya dari buku yang ia pegang.

Hana menghela napas pelan, mencoba sekuat tenaga untuk tidak mencakar-cakar pria itu. "Emang di rumah sakit satu-satunya dokter yang bisa ngelakuin operasi di hari itu cuma kamu?" tanya Hana berusaha agar suaranya tidak terdengar jengah.

"Ada dokter lain, tapi yang nanganin pasien itu dari dulu kan aku. Jadwal operasi beliau juga udah ditentuin dari sekitar enam bulan yang lalu, aku enggak bisa seenaknya batalin operasi yang udah beliau tunggu-tunggu sejak lama." jelas Hamam yang kini sudah menutup bukunya dan menghadap Hana sepenuhnya, seolah sedang meminta pengertian dari Hana.

Me After YouWhere stories live. Discover now