Empat Puluh Empat

2.5K 358 67
                                    

WAW UDAH LAMA BANGET YA!

Semoga masih ada yang nunggu hehe

Yuk bantu VOTE! Kasih komen juga dong biar lapakku rame hihihi

Selamat membaca~

***

Hana masih terjaga dari tidurnya ketika Hamam masuk ke ruang rawat Dian. Ya, remaja laki-laki itu akhirnya dirawat inap di rumah sakit di kabupaten karena usus buntu—sesuai diagnosa awal Hamam, dan harus menjalani operasi.

Setelah memutuskan untuk membawa Dian ke rumah sakit malam itu juga, Hana pun memutuskan untuk ikut bersama Ahsan dan Hamam yang membawa Dian ke rumah sakit di kabupaten, sementara Fitri berada di rumah.

Fitri sendiri sebenarnya mendesak ingin ikut karena tidak bisa dipungkiri ia mengkhawatirkan adiknya. Namun, Hana berhasil meyakinkan Fitri bahwa Dian akan baik-baik saja yang akhirnya membuat Fitri tidak ikut agar bisa menemani Warsih di rumah.

Kini, Hana masih terpejam dalam tidurnya dengan posisi duduk di sofa yang memang disediakan untuk tamu atau orang yang memunggu pasien. Hamam sendiri hanya bisa menghela napas pelan, sedikit merasa lega melihat Hana yang akhirnya tertidur setelah semalaman terjaga.

Hamam meletakkan kantong plastik berisi sarapan yang baru saja ia beli di atas meja dengan perlahan sebelum mengubah posisi Hana yang nampak tidak nyaman dan Hamam yakin jika tubuh wanita itu akan sakit setelah bangun nanti. Namun, baru saja Hamam memegang bahu Hana, wanita itu membuka matanya.

Tatapan mereka bertemu.

Detak jantung berderu.

Entah detak jantung milik siapa, tetapi seperti terhipnotis, keduanya sama-sama terpaku dengan tatapan mata yang sama-sama terkunci. Tubuh mereka seolah kaku hingga tidak menjauh satu sama lain, dan tidak tahu mendapat keberanian dari mana, Hamam perlahan mendekatkan wajahnya pada wajah Hana hingga hidung mereka saling bersentuhan.

Namun, seolah tersadar dengan apa yang sedang mereka lakukan, Hana segera memalingkan wajahnya tepat ketika Hamam ingin menyatukan bibir mereka hingga membuat bibir Hamam kini sukses mendarat di pipi kanan Hana.

Sadar mendapat penolakan, Hamam bergegas menjauhi Hana, namun pandangannya tidak lepas dari wanita itu. Suasana di antara keduanya yang sudah canggung menjadi semakin canggung, dan Hamam menyesali perbuatannya. Sangat menyesalinya.

"Di mana Mas Ahsan?" tanya Hana mencoba mengalihkan kecanggungannya sendiri.

"Ahsan baru jemput Fitri sama Bu Warsih," jawab Hamam setelah beberapa saat terdiam. "Tadi setelah subuh Fitri telepon, bilang kalau mereka mau ke sini naik bus dan minta tolong di jemput di terminal."

"Aku tadi beli sarapan," ujar Hamam yang membuat Hana mengalihkan pandangannya ke meja yang membuat Hana menyadari jika ada kantong plastik di sana. "Kamu perlu makan biar kuat ngurus Dian."

"Terima kasih." gumam Hana yang kini bangkit dari duduknya tanpa berniat membuat bungkusan itu.

"Kamu mau ke mana?"

"Cuci muka." Hana menjawab seadanya sebelum membawa dirinya ke kamar mandi.

Di kamar mandi, Hana mencoba mengatur napasnya agar Kembali teratur—atau lebih tepatnya, mengatur detak jantungnya karena Hana rasa jantungnya saat ini sudah sangat siap untuk terlepas dari tempatnya.

Hana mengusap wajahnya kasar.

Apa yang baru saja terjadi?

Hana menghela napas berat sebelum membasuh mukanya dengan air dingin, sambil berharap ia bisa menghapus ingatan yang menempel di kepalanya tentang kejadian yang terjadi antara dirinya dan Hamam tadi.

Me After YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang