Ngetik dengan mood yang hancur itu susah, ya;( Nggak tau kenapa, rasanya pengen sendiri aja.
Happy Reading!
_
Semuanya tampak klise, tabu, dan samar-samar. Membentuk sebuah kisah yang akan dikenang. Ada kala semua hal yang diperbuat akan dipertanggungjawabkan.
Apa yang kau tanam itu yang kau tuai.
Seperti kisah seorang gadis dari sebuah kastil di tengah hutan. Gadis cantik yang hanya bisa merenung, sambil menatap luar lewat jendela.
Tidak ada kebebasan, dirinya dikurung layaknya hewan peliharaan. Disangkar layaknya burung, dan diperlakukan tak jauh berbeda derajatnya dengan pelayan.
Lucunya, gadis itu sering kali berharap. Harapan yang tidak masuk akan dan hanyalah omong kosong belaka. Kehidupan yang diimpikannya hanyalah dongen belaka.
Tidak ada peri baik yang mengeluarkannya, tidak ada peri ajaib yang mengubahnya menjadi Cinderella. Tidak ada pangeran berkuda yang mengulurkan tangannya.
Gadis itu ... sendirian.
Namun, suatu hari yang tidak terduga sebelumnya. Seorang pangeran datang dengan fisik dan mental yang terluka. Gadis itu dayang, mengulurkan tangan dan membantu pangeran itu untuk kembali ke jalan yang benar.
Hari demi hari berlalu, sang pangeran tampan sudah sembuh secara fisik. Pangeran itu memutuskan untuk keluar hutan itu.
Sang gadis biasa dari kastil besar itu memberi syarat agar pangeran itu bisa keluar. Ia ingin pangeran itu selalu mengingatnya dan datang kembali untuk mengeluarkan gadis itu dari sini.
Sang pangeran menyanggupi, ia pergi. Namun, kepergiannya membawa petaka. Ketahuan menyeludupkan seorang pangeran, sang kakak perempuan yang jahat mengganggunya.
Ia diam, ia yakin pangerannya akan datang. Mengulurkan tangan dan membawanya pergi menggunakan sebuah kuda putih.
Namun, itu hanya angan. Sang pangeran tidak pernah kembali. Hingga petaka yang mengubah semuanya datang.
Memporak-porandakan jiwa dan pikiran, hingga gadis kecil pemurung itu berubah. Menjadi kuat dan tidak terkalahkan.
Hati yang penuh dendam, jiwa yang menghitam akibat dosa. Suatu hari, gadis yang menjelma menjadi iblis itu akan menderita. Jiwanya digerogoti dendam semua orang.
***
"Stop, Elly! Aku nggak kuat lagi." Rintihan Elena sama sekali tidak dihiraukan oleh sang kakak. Gadis kejam itu terus saja menendangi tubuh mungil yang sebelumnya sudah disiksa Erika.
Kondisi Elena sangat memprihatikan, terlalu kejam untuk mendeskripsikan bagaimana keadaannya saat ini. Yang pasti, ia terluka, baik psikis dan fisik.
Menjadi anak dari seorang pelacur membuat Elena dipandang begitu rendah dan hina. Tinggal di rumah semegah ini tanpa pelindung sama saja bunuh diri.
Namun, apalah daya? Ia tidak mempunyai siapapun.
"Kau tahu, Elle? Anak pelacur seperti mu tidak bisa bersanding dengan keluarga ini. Kau hanyalah sampah tidak berguna." Elisha terkekeh sinis, menatap adiknya yang masih meringkuk ketakutan.
"Kau tahu? Aku lebih menolerir hewan daripada manusia lemah kayak kamu. Terutama, anjing, paling tidak, ia patuh," sambung Elisha.
Elena yang mulai kesal berdecih, menatap tajam Elisha. "Patuh? Seharusnya anjing nggak gigit majikannya, 'kan? Kenapa anjing-anjing kamu ganggu aku, coba?"
Elisha menggeram marah, gadis itu susah sekali dikontrol emosinya. Dengan sekali tarik, tubuh Elena sudah di udara karena Elisha.
Elena semakin tersulut emosi. Jika ditanya apakah ia menyayangi Elisha maka ia akan menjawab dengan lantang bahwa Elena sangat membencinya.
Elena hanya mencoba bersabar, melihat tindakan kakaknya yang semakin anarkis. Elena hanya ingin hidup tenang, tetapi bagaimana bisa?
Wajah Elena mengeras, tidak ada ketakutan lagi, yang ada kebencian. Ia ikut mencengkram erat kerah baju Elisha. "Cukup, Elly, cukup!"
Elisha tertawa sinis, ia langsung mendorong tubuh Elena agar menjauhinya. Namun, Elena semakin beringas, ia malah mengulurkan tangan untuk mencekik kakaknya itu.
Semua penyiksaan dan hinaan demi hinaan tiba-tiba muncul dibenaknya. Mengingat itu semakin membuat Elena mengeratkan cekikanya. Ia sangat-sangat ingin melampiaskan amarahnya.
Elisha tidak tinggal diam, ia mencoba melaksanakan tangan mungil adiknya itu yang sudah berdarah. Nafasnya tercekat karena cekikan Elena semakin mengencang bukannya mengedor.
Ini diluar dugaan.
Elena yang mulai khilaf terkekeh. "Elly ku sayang? Kau tahu? Aku menyukaiii ekspresi mu saat ini." Gadis itu tertawa, tawanya terdengar mengerikan.
Melihat wajah Elisha yang memerah dengan nafas tersendat-sendat itu sangat menghibur bagi Elena. Seperti ada kenikmatan tersendiri yang ia dapatkan.
Matanya masih mengkilat dendam, api yang membara membuat emosinya tidak memadam.
Elisha benar-benar tidak bisa bernafas lagi. Ia tidak pernah menyangka kalau adik kecilnya yang lemah ini mampu membuatnya tidak berdaya.
Ia bisa merasakan kalau kesadarannya sudah diujung tanduk. Rasanya sangat sakit, Elisha merasakan kalau lehernya remuk.
BRAK
Elena melepaskan cengkeramannya membuat Elisha langsung terjatuh ke lantai sambil memegang lehernya. Gadis itu terbatuk-batuk dengan wajah memerah.
"Elisha, kau anjingku. Anjing tidak akan memberontak, bukan?" Elena menunduk, menatap Elisha yang masih mengambil nafas dengan rakus dikakinya.
Elena memejamkan matanya sejenak sebelum membalikkan badan dan membuka pintu itu lebih lebar. Rasanya ada angin muson yang membuatnya sesenang ini untuk pergi ke luar.
Elena akan bebas setelah ini. Ia tersenyum senang. Menghela nafas, gadis itu kembali melangkahkan kakinya.
Didepannya sudah ada tangga. Elena menatap lorong kanan dan kiri berharap tidak ada yang melihatnya.
Akhirnya, setelah penantian, Elena merasakan bahwa ia bisa pergi ke kamarnya saja. Dibandingkan dengan ruangan gelap yang hanya diberi satu lilin.
Lilin ... Elena akan selalu mengingat bagaimana Elisha memberinya lilin itu selama hidupnya. Gadis itu sudah tak tertolong, ia adalah jelmaan iblis sesungguhnya.
Tubuh Elena membeku saat dari belakang ia mendengar suara langkah kaki yang menggema mengarah kearahnya. Bisa ia tebak dengan jelas, kalau itu adalah langkah kaki Elisha.
Elena langsung membalikkan badannya. Namun ia kalah cepat, tangan dingin seseorang tiba-tiba mencengkram lehernya dengan keras.
Tidak salah lagi, seseorang itu adalah Elisha yang berusaha menyerangnya.
Pekikannya tertahan bersamaan dengan tubuh mungilnya yang terdorong dan sudah berada diambang ujung tangga.
Satu gerakan saja mampu membuat dan menjadikan sebuah kejadian fatal. Jantung Elena rasanya ingin meledak karena cepatnya detakan ini.
Setengah tubuh Elena dipaksa untuk melayang. Elena masih mencengkram tangan Elisha agar gadis itu sadar kalau Elena kali ini melakukan perlawanan.
Pasokan udara Elena semakin menipis, kentara dengan wajahnya yang memerah. Sial! Jika seperti ini, ia akan jatuh dari ketinggian!
Tubuhnya yang rapuh tidak mungkin bertahan dari ketinggian ini! Jatuh dari lantai dua sangatlah tidak epik, hoi!
Tubuhnya bergetar hebat, Elena merasakan kalau kakinya lemas seperti jeli. Namun, jika ia menyerah, dalam hitungan detik, tubuhnya sudah bisa dipastikan mendarat ke lantai yang dingin itu.
Satu tetes air mata keluar dari ujung mata Elena. Gadis itu mengerahkan kekuatannya untuk menendang Elisha menggunakan kakinya.
Berhasil!
Cekikannya terlepas bersamaan dengan pekikan kesakitan dari Elisha. Elena tersenyum puas, nafasnya memburu. Gadis itu terbatuk-batuk sambil memegangi lehernya.
Air mata mengalir begitu saja dipipinya. Ini sangat menakutkan!
Elisha tampaknya masih belum menyerah. Gadis itu menatap tajam Elena sambil memaki. Ia mengambil rantai besar bekarat dari dalam ruangan sebelumnya.
Melihat itu, Elena gemetaran. Ia memejamkan matanya sambil mendorong Elisha dengan cepat menjauhi tubuhnya.
"Arghhh! Tolong!"
"Apa yang ...?"
Elena spontan menutup mulutnya dengan kedua tangan. Matanya terbelalak saat melihat Elisha terjun bebas dari samping pegangan tangga.
Elena kaget, jika Elisha menggelinding di tangga, ia yakin gadis itu akan baik-baik saja. Minimal patah tulang. Tapi, kalau jatuh dari ketinggian ...
"ELLY!" pekik gadis itu histeris.
Elena semakin kaget saat Elisha masih menggelantung dengan rantai yang menjerat pergelangan kakinya hingga tubuhnya menggantung dalam keadaan terbalik.
Isakan Elena semakin kencang. Matanya lalu menatap rantai yang sedikit tersangkut dengan pegangan tangga itu.
"Tunggu, Elly!" Dengan mata yang buram karena air mata. Elena kecil langsung memegang rantai yang tersangkut itu.
Naas, karena pegangan Elena, rantai yang terangkut itu terlepas dan ...
"ELISHA!"
Untuk beberapa detik, bumi rasanya berhenti berputar. Tubuh Elena rasanya lemas dengan apa yang ia lihat. Gadis itu langsung menatap telapak tangannya.
Elena menangis semakin histeris. Gadis itu lalu berlari pontang-panting hingga tubuhnya yang tidak seimbang harus menggelinding ditangga.
Tubuhnya sakit, tetapi itu tidaklah penting. Dengan rasa sakit yang luar biasa ini, Elena mencoba berdiri dan berjalan menuju tempat kejadian jatuhnya Elisha.
BRAK
Tubuh Elena ambruk kembali ke lantai yang dingin. Pasangannya kosong, dihadapannya sang kakak sudah terbujur kaku dengan darah yang menggenang.
Elena hanya bisa terkekeh sinis. Antara senang dan takut. Senang karena untuk pertama kalinya ia bisa mengalahkan Elisha, takut karena ia malah menjadi malaikat maut kakaknya sendiri.
Bangkit, Elena hanya bisa meninggalkan Elisha yang padahal bisa saja diselamatkan. Namun, dendam membuatnya membiarkan sang kakak benar-benar kehabisan darah.
Elena ... ia berubah menjadi kejam diusia yang sangat dini.
***
Elisha benar-benar tidak bisa mengontrol emosinya. Melihat arti kode itu membuatnya naik pitam. Ia tahu betul siapa lagi yang mengetahui ini jika bukan kedua orangtuanya?
Setelah kejadian beberapa waktu yang lalu, Elisha dan Sean sama-sama bergelut dengan pikiran masing-masing.
Seperti saat ini, Elisha mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang, tetapi ia rasanya ingin menancap gas sekarang juga jika tidak ingat kalau ia harus tenang.
Tangannya yang memegang setir mobil bergetar. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Elisha mendatangi sebuah kediaman besar Alexander.
Saksi bisu akan semua yanh pernah terjadi.
"Sabar, Elena. Lo harus tenang, ok? Kalau nggak, mereka akan menertawai lo," gumamnya menghibur dirinya sendiri.
Jantung Elisha berdetak dengan kencang, ia sangat ketakutan. Apalagi kala ingatan demi ingatan kelam kembali mengusiknya seperti mimpi buruk.
Rasanya ia sangat tidak ingin menjajakkan kaki di sini. Namun apa? Sekarang ia harus menjilat ludahnya sendiri. Terkekeh miris, ia mengepalkan tangan menahan emosi.
"Wah-wah. Putri Alexander akhirnya kembali ke istananya."
***
Halo, saya minta izin untuk nggak up lapak ini untuk besok sampai lusa, ya! Jumat bakal update lagi. Sampai jumpa!