Kasian si Netta, berasa jahat banget karena membuat tokoh pada menderita semua:( Kagak ada yang waras pula:p
Happy Reading!
Oh, ya, jan lupa rekomendasikan cerita ini sama teman-teman literasi kalian, ya!
_
"Kenapa nggak belajar?"
Suara seseorang yang begitu familiar ditelinga Netta terdengar. Membuat gadis yang baru saja merebahkan diri ke kasur itu menoleh.
Diambang pintu, Sonya datang membawa segelas susu. Wanita itu menatap bingung anaknya yang sudah bersiap-siap untuk tidur.
Padahal baru jam 11, kok tidur, sih? Belajar dong!
Dalam hati Netta menggerutu, namun gadis itu tidak berani menyuarakannya secara langsung. Netta perlahan duduk sambil menghela nafas gusar.
Mencoba untuk tersenyum, gadis itu berkata, "Udah tadi, Ma. Lagipula besok hari Minggu, masih bisa disamb—"
"Ya, Tuhan! Anak zaman sekarang suka sekali menunda-nunda, hah? Kamu itu sudah besar, Netta. Masa mama masih harus menyuruh kamu belajar dulu baru gerak? Nggak ada pengertian sama sekali!"
Teriakan Sonya memang tidak begitu besar, tetapi mampu membuat kamar Netta bergema. Meneguk air ludah, Netta bangkit dari kasur dan berjalan menuju meja belajar.
"Iya, Ma. Ini aku belajar lagi." jawabnya pelan.
Sonya tersenyum lalu menatuh satu gelas susu itu keatas meja belajar. "Jangan lupa minum obat dan vitamin. Mama lihat kamu tuh kayak nggak sehat gitu." perintah wanita itu.
Netta mengangguk tanpa menoleh, ia langsung membuka bukunya dan menulis, "Iya, aku bakal minum obat," jawabnya.
"Ingat, ya, Netta! Kalau kamu sakit, kamu bakal ketinggalan pelajaran di sekolah. Otomotis nilai kamu bakalan turun, mama nggak mau itu," kata Sonya sebelum keluar dari kamar.
Pintu kamar Netta tertutup menandakan kalau sang mama sudah keluar, membuat bahu Netta melemas bersamaan dengan nafas gusar yang keluar.
Ditatapnya buku didepannya lalu ia tersenyum sinis.
I'm so stupid!
It's me, crazy girl. Obsession with grades score!
Bitch!
Damn school!
Netta merasa kalau amarah menyelimuti dirinya. Dengan cepat, dirobeknya kertas itu dan ia membuang ke bak sampah disamping mejanya.
Gadis itu membeku, menatap tissue bekas yang banyak serta bungkusan obat batuk yang dijual di warung terdekat.
"Mama lihat kamu tuh kayak nggak sehat gitu."
Ucapan Sonya tadi kembali terngiang-ngiang diingatan Netta. Bukan hanya Sonya yang merasa seperti itu, sebagai pemilik tubuh, Netta lebih tahu bagaimana keadaan dirinya.
Tidak baik
Netta bahkan tidak bisa mendiagnosa apa yang terjadi dengan tubuhnya. Ia takut jika diirnya ternyata sakit. Demi Tuhan, Netta tidak ingin itu!
Tangannya gemetaran, Netta mengambil ponselnya diatas kasur. Gadis itu langsung terdiam beberapa detik.
"Apa gue tanya dokter aja, ya?" gumamnya pelan. Perlahan, Netta membuka play store dan mendownload satu aplikasi, dimana ia bisa berkonsultasi secara gratis.
Dari review yang Netta baca, dokter disana terpercaya dan fast respon. Sejujurnya, Netta takut jika harus pergi ke dokter. Itu sebabnya ... tidak ada salahnya bukan, berkonsultasi online?
Ayolah, Netta sudah lama mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ini hanya sakit biasa saja. Tapi, ini sudah cukup lama, ia tidak bisa menahan rasa penasaran lebih lanjut.
Netta semakin sengit saja berdebat dengan batinnya. Namun, kali ini ia kalah. Kalah akan rasa ketakutannya. "Cuma flu biasa, kok!" ucapnya meyakinkan diri.
"Tapi ... hidung tersumbat hingga pernapasan aja terganggu itu maksudnya apa, sih?" Netta menggigit kukunya sambil berjalan kesana-kemari.
"Gue ... harus konsultasi sama dokter THT kayaknya."
Dokter spesialis THT (otolaringologis) adalah dokter yang khusus menangani masalah kesehatan telinga, hidung, dan tenggorokan (THT). Organ-organ ini bisa mengalami gangguan kesehatan misalnya karena infeksi, alergi, atau tumor.
Gangguan yang terjadi pada salah satu organ THT dapat memengaruhi organ THT yang lain, karena karena ketiga organ ini saling berhubungan.
Itu sebabnya Netta berpikir, bisa saja hal itu yang terjadi, bukan? Netta bisa menghela nafas lega karena tetangganya adalah dokter spesialis THT.
***
Sean mengernyitkan dahi saat melihat pandangan semua orang di meja makan malah mengacu pada dirinya. Pemuda itu tersedak membuat Dion tertawa namun tetap memberikan segelas air.
"Hati-hati!" peringat mamanya, terlambat. Sean hanya mengangguk sambil sesekali kembali terbatuk karena air.
"Kek anak kecil, makan gitu aja sampai tersedak segala," cibir Dion. Sean mendengus, "Lo kira hanya anak kecil yang bisa tersedak? Gue doain keselek mampus lo!" kesal Sean.
Suara sendok beradu dengan piring terdengar di ruang makan itu selama keheningan yang masih menyapa. Namun, suara berat pria membuat Dion dan Sean menoleh bersamaan.
"Papa tidak mendapatkan apa-apa, itu sangat menyebalkan," keluh pria itu sambil mengunyah.
Sean terdiam, ia tahu betul pembicaraan ini mengarah ke mana. Menghela nafas, Sean menjawab, "Aku juga tidak mendapatkan apa-apa—"
Sean mengernyitkan dahinya seketika, ia langsung teringat sesuatu. Menganga tidak percaya, Sean mengingat sesuatu.
- Hari Pertama Di SMA Alger
Saat ini Sean sedang berada di ruangan kepala sekolah, hari ini hari pertama ia kembali sekolah setelah bertahun-tahun.
Ada rasa gugup yang menghampiri, apalagi ia akan kesulitan bersosialisasi nantinya. Sean mencoba menenangkan diri lalu menatap pria paruh baya didepannya.
"Hm, homeschooling sebelumnya? Seharusnya kamu masih kelas 10, benar?" Bukan pertanyaan, pria tua itu hanya berbasa-basi.
Sean hanya mengangguk, bingung bagaimana cara menanggapi orang ini.
"Selama ada—"
"Bukankah untuk masalah uang ..." Sean hampir tersenyum sinis jika tidak mengingat kalau ia harus menjaga sopan santunnya, "... sudah diurus."
Pak kepala sekolah itu hanya tersenyum, senyuman mengejek membuat Sean merasa kesan pertama mereka sangat buruk.
Guru itu ingin mendapatkan balasan setimpal. Cih, jika tidak mengingat misinya, Sean rasanya ingin melaporkan orang ini karena suap dan korupsi.
Merasa tidak ada lagi yang perlu dikatakan, Sean bangkit dari duduknya lalu berjalan menuju pintu keluar.
"Jangan mencari gara-gara dengan gadis itu." Suara pak kepala sekolah itu sukses membuat Sean menghentikan langkahnya.
Merasa kalimat itu begitu ambigu untuk dicerna, Sean membalikkan badan sambil mengeryitkan dahi, "Apa maksud bapak?"
Pak kepala sekolah itu hanya mengerdilkan bahu acuh lalu tersenyum menyebalkan, "Hanya mengingatkan," jawabnya lagi-lagi tidak nyambung.
Sean menghela nafas, merasa dipermainkan, langsung berjalan keluar dan mulai mencari kelasnya.
"Eh, lo tau nggak? Elisha udah jadi pacar gue." Suara laki-laki yang berbicara dengan temannya membuat Sean melambatkan jalannya.
Entah apa yang ia lakukan dan pikirkan, pemuda itu malah mendengarkan apa yang dikatakan pemuda lain itu baik-baik.
"Paling cuma dijadikan anjing, doang," sahut temannya lalu tertawa. Sean mengernyitkan dahi, bingung.
"Ingat, cuk. 'Jadi anjing harus setia, masa cari kupu-kupu lain' hahahaha" Pemuda lainnya tertawa setelah berbicara seperti meniru seseorang.
"Salah-salah dibunuh Beauty Psycho-nya sekolah kita, mampus lo!" ujar teman lainnya.
Beauty Psycho-nya sekolah? Apaan, sih? Sean penasaran tapi tidak mengerti secara bersamaan. Percakapan mereka entah mengapa terdengar menarik.
"Hai, bro! Anak baru?" Seruan seseorang membuat Sean terkejut. Walaupun begitu, ekspresinya masih terlihat datar. Ternyata pemuda-pemuda yang tadinya berbicara itu menyapa dirinya.
"Perlu bantuan?" tawar salah satu dari mereka. Sean yang merasa kalau dirinya malah seperti penguping langsung menggeleng.
Pemuda itu berjalan mencari kelasnya sendiri. Namun, tiba-tiba bahunya ditepuk oleh seseorang membuat pemuda itu tersentak kaget. Menoleh, Sean kembali dikejutkan dengan pemuda yang tadinya berbicara bersama teman-temannya.
"Hai," sapa pemuda itu membuat Sean mau tidak mau mengangguk, "hai," balasnya sekenanya.
"Anak baru?" tanyanya, Sean memicing, "Kelihatannya?"
Pemuda itu terkekeh, "Ah, iya. Santai aja dong, nak baru." ucapnya lalu menepuk pundak Sean.
Tampaknya pemuda itu tipikal pemuda cerewet. Buktinya pemuda itu tidak berhenti diam sejak menemani Sean berjalan. Sean menghela nafas, ingin sekali ia menyumpal mulut pemuda itu.
"Oh, ya! Ada peraturan yang harus lo ketahui tentang Alger," ucap pemuda yang tidak ia ketahui namanya.
"Keturunan pemilik sekolah ini adik kelas kita, kelas 11. Laki-laki, gengnya yang berkuasa di sekolah Alger ini." Sean menghela nafas, tidak tertarik dengan pembicaraan.
Tampaknya pemuda itu masih ingin berbicara, "Punya tunangan juga. Baru aja sekolah, sekitar ... em, 2 minggu? Lebih atau kurang gue luka."
Sean menggelengkan kepalanya, "Itu peraturan?" sindirnya. Aneh saja mengapa pemuda ini berbicara tentang siswa-siswi yang berkuasa.
Cih! Sean membenci orang yang terkenal karena kekuasaan saja. Makan tuh harta orang tua!
Pemuda itu tersenyum masam, merasa tersinggung karena Sean memotong ceritanya. "Gue cuma mau bilang jangan terlihat sama Arbryan dan pacarnya, Seyna dan pacarnya, Rivan dan tunangannya, sama ... NAH JANGAN SAMPAI LUPA BAHWA—"
Sean menoleh, menatap tajam pemuda yang tiba-tiba berteriak tidak jelas. Njir, baru masuk, woi! Masa harus dihadapkan dengan cowok mulut mercon?
"Diem nggak bisa?"
Pemuda itu kembali cemberut, "Terserah lo aja, dah. Gue mau mengingatkan kalau lo jangan sampai terlibat dengan Elisha Laudya, murid seangkatan kita, bisa dibilang ... dia punya kekuasaan lebih besar dari Rivan yang notabenenya pewaris nih sekolah," ucapnya sebelum menepuk pundak Sean dan pergi.
Sean memeringkat kepalanya bingung. Pemuda itu menggelengkan kepalanya, lagi-lagi karena kekuasaan.
Namun, tidak dapat disangkal kalau ia juga penasaran dengan gadis itu.
Nama itu ... nama yang sama dengan Beauty Psycho yang mereka bahas sebelumnya, bukan?
"Sean, jangan melamun!"
Sean tersentak kaget saat mendengar teriakan dari Dion yang ada disampingnya. Pemuda itu menoleh linglung.
Diirnya malah menjadi teringat dengan seorang gadis sekelasnya, Elisha Laudya, gadis yang mempunyai misteri disetiap kata-katanya.
Rumor yang beredar mengatakan kalau Elisha begitu berbahaya, walau ia tidak terlalu mempercayai rumor itu. Tapi, tidak menutup kemungkinan itu benar, bukan?
Melihat sikap Elisha, Sean bisa menebak kalau tidak ada yang mengganggu gadis itu. Ia setenang air mengalir.
Sean semakin dibuat kebingungan. Apakah orang yang ia cari adalah gadis itu? Tapi ... penjahat akan membuat dirinya tidak terlihat, bukan?
Lalu ... mengapa Elisha terlihat begitu kentara? Dari sikapnya hingga kata-katanya? Gadis itu terlihat begitu-begitu kentara.
Sean menggelengkan kepalanya, tidak mungkin, itu tidak mungkin. Gadis itu tidak mungkin gadis yang ia cari. Kalau itu benar, Sean yakin kalau Elisha akan memberikan ribuan topeng agar tidak terlihat.
Tidak, Sean! Terkadang penjahat adalah seseorang yang menjelma menjadi orang baik-baik yang terlihat baik. Bisa saja, bukan? Bisa saja kalau ia salah teori.
_
Hm, si geblek Sean mencoba menyangkal, guys. Padahal yang namanya menuduh itu mudah banget. Kok bisa ya Sean malah mencoba mematahkan teorinya sendiri.
Hm, patut dicurigai.