Astaga, baru pertama kalinya, saya ngetik satu bab itu berjam-jam. Huhu, tadi malam ngetik jam 9 eh selesainya jam 12.
Maaf kalau ada typo, belum saya baca ulang sebenarnya.
Jangan lupa rekomendasikan cerita ini sama teman-teman kalian, ya!
Happy Reading!
_
Mobil Dalmier AG berwarna merah berhenti disebuah halaman rumah yang begitu luas. Seorang gadis cantik turun dari mobil dan berjalan menuju pintu rumahnya.
Halaman yang begitu indah dengan banyak bunga-bunga berbagai jenis mulai dari Lily of the valey, Oleonder, dan Bunga sepatu.
Bunga-bunga yang indah tetapi memiliki bahaya apabila tertelan. Indah tetapi mematikan ... seperti yang punya rumah.
Tenang-tenang menghanyutkan.
Elisha begitu pandai berkamuflase dari musuh, tetapi luka tak kasat mata menembus dadanya. Dirinya ... serapuh itu.
Melewati ruang tamu, Elisha mengernyitkan dahi saat menangkap bayang dari ejor matanya lalu menoleh kearah sofa. Di sana ada seorang suami istri yang sedang duduk sambil meminum teh.
Elisha menghembuskan nafas lelah, ia baru pulang sekolah dan harus dihadapkan dengan kedatangan dua orang ini? Ayolah ... Elisha ingin merendam tubuhnya dengan air hangat.
Selalu saja semesta tidak berpihak dengannya. Ya ... mengapa Tuhan harus mengabulkan doa pendosa seperti dirinya?
Mencoba untuk mengabaikan, Elisha kembali melangkahkan kakinya. Namun, seperti dugaannya, langkahnya harus kembali terhentikan saat suara tegas seseorang menggema di rumahnya ini.
"Kita lihat sampai kapan kamu bertahan," pria itu menyeruput teh tanpa menatap Elisha, "menyerahkan," sambungnya membuat Elisha berdecih.
Menyerah?
Setelah perjuangannya keluar dari kediaman terkutuk itu?
"Mengapa tidak Anda mengalah? Bukankah saya sudah menyerahkan semuanya? Apa lagi yang Anda inginkan?" Elisha menatap kedua orang itu dengan sorot mata tajam.
Setiap kali melihat pasangan suami-istri itu, Elisha akan kembali teringat dengan masa lalunya yang kelam. Elisha sungguh lelah. Kedua orang ini yang memberikannya luka dan selalu membuka lukanya yang tidak akan pernah kering.
Ia tidak ingin serangan paniknya kambuh seperti tadi siang. Itu sungguh menyentil ego Elisha.
"Sebaiknya kau tidak membantah ayahmu sendiri," Suara wanita disampingnya terdengar membuat Elisha ingin mengusir mereka saja rasanya jika tidak mengingat kalau dua orang ini tidak bisa dilawan.
Elisha memejamkan matanya, mencoba meredam emosi yang bergejolak didirinya. "Sebelum itu, ajari suami Anda untuk menghormati anak perempuannya," sahut Elisha datar.
Wanita itu tersenyum miring, senyuman duplikat yang begitu mirip dengan Elisha, "Jadi, anak perempuan kita ini mengakui kalau dia anak kita?" Wanita itu menatap pria disampingnya.
Berdecih, Elisha berujar, "Mohon maaf Mr. Edison dan Mrs. Erika, Anda salah betul jika menganggap demikian."
Suara tawa merdu wanita yang dipanggil Mrs. Erika itu terdengar mengerikan. "Mau sampai kapan berlindung dibalik uang warisan Oma? Kau kira itu akan menghidupi dirimu selamanya?" tanyanya, sarkas.
Elisha mendengus, "Paling tidak saya tidak meminta uang kepada kalian berdua. Serta ... emangnya saya mau memakan uang kotor?"
Elisha mengepalkan tangannya erat, "Lihatlah nanti, mungkin di masa depan kalian akan mendekam dipenjara karena saya, berhati-hatilah." Elisha tersenyum sinis lalu kembali berjalan menuju tangga.
Suara tawa mengejek terdengar bersahut-sahutan, "Jika itu terjadi ... kaulah orang pertama yang akan ditanyai pihak kepolisian" Suara itu membuat jantung Elisha berpacu dua kali lebih cepat, tetapi ia tetap berjalan tanpa mengabaikan kedua orang yang berusaha memprovokasi dirinya.
Dirinya harus tetap tenang, ia tidak boleh bertingkah bodoh dan mempercayai ucapan kedua orang itu begitu saja.
Mrs. Erika terkekeh lalu menatap suaminya, "Kita membesarkan anak dengan baik, bukan?"
Elisha yang masih bisa mendengar kalimat itu walaupun dari kejauhan hanya terkekeh sinis, "Membesarkan atau memelihara?"
***
"Kesan pertama?"
Sean mengangguk acuh, "Membosankan," jawabnya membuat Papa terkekeh. Tidak sepenuhnya salah, Sean tidak terlalu suka keramaian seperti tadi, apalagi ia sempat menjadi pusat perhatian banyak orang.
Walaupun, jujur ia merasakan hal yang baru, yaitu bisa melaksanakan pelajaran bersama dengan orang lain.
Dion yang sedang memakan pisang goreng bertanya, "Bagaimana caranya mencari gadis itu diantara banyaknya orang?" tanyanya membuat Sean membeku.
Benar, bagaimana mencarinya? Apakah bisa hanya menggunakan insting? Ia akan kesulitan jika harus mencari gadis itu seorang diri tanpa tau identitas apapun.
"Lo bahkan nggak ingat sama wajah gadis itu, bagaimana cara lo mencarinya?" sambung Dion, menghela nafas. Tentunya ia tahu bagaimana kesulitannya sepupunya itu.
Ah, itu poin yang sangat penting. Apapun alur yang tersimpan di memori ingatannya, entah mengapa wajah-wajah itu terlihat samar-samar.
Papa hanya bisa menghela nafas, "Lupakan itu, cepat atau lambat kebenaran pasti terungkap. Kita hanya perlu membiarkan Sean bersosialisasi seperti remaja pada umumnya," jelas pria itu.
Dion tersenyum miring, "Adakah yang membuat lo tertarik?" tanyanya ambigu.
"Maksud lo?" tanya Sean bingung, Dion ini benar-benar membingungkan. Berbicara selalu dipotong-potong.
"Cewek? Cakep-cakep mah anak Alger," sambungnya mengedipkan matanya. Selain terkenal dengan siswa yang cerdas, SMA Alger pastinya adalah surga bagi yang mencari cewek cantik ataupun cowok tampan.
Sean hanya mengerdikan bahunya acuh, tapi ingatannya malah membuatnya memikirkan seorang gadis berambut panjang terurai. Gadis yang sanggup membuat dirinya tidak bisa berkata-kata di kelas tadi.
Gadis gila yang begitu angkuh.
Sean menaikkan satu alisnya, "Namanya Elisha, ya?"
***
Seorang gadis cantik berkacamata dengan tampak sedang berkutak dengan buku-buku di meja belajar. Setelah mandi, gadis itu langsung duduk disana tanpa memakan satu sendok pun nasi.
Percuma ... dirinya akan ditanyakan banyak pertanyaan dari kedua orangtuanya. Gadis itu tidak menyukainya, ada baiknya menghindari jam makan malam jika tidak ingin kembali tertekan.
Gadis itu mengusap hidungnya yang berair. Sudah berminggu-minggu lamanya ia mengalami flu, namun sampai saat ini, ia belum sembuh juga.
Padahal sudah meminum obat.
Apa yang salah dengan dirinya?
Terbatuk-batuk, gadis itu tiba-tiba meringis kesakitan. Dipegangnya erat dadanya, ulu hatinya terasa perih sekali. Ia tidak tau apa yang terjadi dengannya akhir-akhir ini.
"Netta!"
Panggilan itu membuatnya segera membuang tissue ke dalam bak sampah. Gadis itu langsung merapikan rambut dan kacamatanya sebelum kembali memegang pulpen.
Berpura-pura terganggu, gadis itu menoleh takut menatap sang mama yang baru saja memasuki kamarnya.
"A-pa ya, ma?"
Gadis itu menatap mamanya dengan takut, ia bisa menebak apa yang akan terjadi padanya saat sang mama menatapnya seperti itu.
"Apa-apaan ini, Netta!? Nilai kamu turun drastis!? Mengapa nilai ulangan matematika sampai dapat 90!?" bentaknya nyaring membuat Netta tersentak kaget.
Wanita itu mendekat, "Mama dengar ada anak baru di kelas kamu, benar? Kenapa nilai matematikanya bisa dapat 95!?"
Netta memejamkan matanya takut, mamanya selalu seperti orang kesetanan jika sudah menyangkut pendidikan dirinya.
"Kapan sih kamu bisa kayak Elisha!? Nilainya nyaris sempurna! Matematikanya aja 98 belum lagi nilai yang lainnya, Netta! 100, kapan sih kamu bisa membanggakan mama!?"
Dengan tubuh gemetaran, Netta menatap mamanya yang tengah murka itu, "Ma, aku capek, aku nggak mungkin nyiksa diri buat ini aja, kan?" tanyanya lembut tapi terdengar frustasi.
Ia tidak ingin dicap sebagai anak durhaka jika melawan mamanya. Jikapun bisa, ia tidak yakin hidupnya aman-aman saja.
"Pokoknya mama nggak mau tau, dapat nilai sempurna atau kamu nggak akan mama izinkan buat nulis novel lagi!" Wanita itu keluar sambil membanting pintu.
Netta tidak bisa menahan air matanya, ia menangis tersedu-sedu sambil meratapi nilai MTK. Ia tidak ingin kalau mamanya meminta dirinya berhenti menulis.
Karena ... menulis adalah salah satu cara agar ia bisa merasakan beban di punggungnya menghilang untuk sementara.
Semua kegundahan yang ia rasakan seakan-akan menghilang jika ia menguntai kata. Dirinya menyukai itu.
Mengapa sang mama tidak bisa mengerti, bahwa menjadi penulis adalah impiannya? Netta hanya bisa pasrah, gadis itu kembali membaca buku, ia akan belajar mati-matian kalau perlu.
Netta, gadis yang akan bersaing dengan sehat, ia masih punya akal untuk tidak berbuat curang. Ia akan belajar dengan caranya sendiri tanpa merugikan satu orangpun.
Namun, bisakah ia menahan amukan mamanya jika nilainya tidak masuk target harapan?
Netta kembali meringis sambil memegang kepalanya. Sudah sakit ulu hati, sekarang kepalanya juga sakit? Entah mengapa tubuhnya terus saja sakit tanpa sebab selama berbulan-bulan ini.
"Sebenarnya, gue kenapa, sih?"
***
"Ma, jangan kurung aku!"
Suara pekikan anak perempuan tidak dihiraukan orang dari luar sana. Gadis itu terus saja memohon untuk dibukakan pintu dengan pilu, tetapi tidak ada yang mendengarkannya.
Ia menatap sekeliling, bau dan gelap, dirinya tidak tahan dengan ruangan sempit yang gelap ini. Gadis itu berteriak frustasi, "Gelap, Ma. Aku takut!"
Pintu itu tiba-tiba terbuka membuat gadis itu terjatuh karena serangan mendadak, tapi ia tidak apa-apa. Ia tersenyum senang, senang karena untuk pertama kalinya, ia dibukakan pintu sebelum berhari-hari terkurung.
Ya ... ia sudah sering dihukum seperti ini. Mulai dari dikurung selama berhari-hari, tidak diberi makan, dicambuk, disuruh membunuh tiga ekor kucing, dan hal-hal yang begitu mengerikan untuk anak seusianya.
Diambang pintu, terlihat seorang gadis cantik yang lebih tua sedikit darinya, tetapi tinggi badannya sama. Tidak ada senyum, ia menatap dingin seorang gadis yang terlihat menyedihkan itu.
Gadis berambut sepinggang itu melempar dua buah lilin yang sudah menyala ke lantai membuat gadis dihadapannya tersentak.
"Gunakan agar terang, sampai jumpa satu minggu kemudian!"
Mendengar itu, gadis yang sedang memungut lilin itu tertegun, lalu ia berteriak histeris saat pintu sudah menutup. Ia tidak ingin dikurung selama satu minggu.
Tidak!
"ELISHA!? BUKA PINTUNYA! JANGAN KURUNG AKU!"
Elisha tersentak kaget dari mimpinya. Nafas gadis itu terlihat memburu, keringat dingin sudah membasahi baju tidur terusan yang ia pakai.
Pucat ... wajahnya begitu pucat.
Tubuhnya bergetar hebat, ia baru menyadari kalau kondisi kamar gelap dengan penerangan sesuatu seperti api. Mata gadis itu membola, mengapa ada lilin di kamarnya? Mengapa!?
Tubuhnya semakin gemetaran saat melihat banyak lilin yang menyala di kamarnya. Cahaya-cahaya itu membuatnya ketakutan. Dengan nafas tersengal-sengal, ia memegang kepalanya sambil berteriak histeris.
"Pelayan! Singkirkan semua lilin ini!" teriaknya nyaring, Elisha kalut, ia begitu ketakutan. Kejadian di masa lalu kembali berputar layaknya kaset rusak diingatkannya.
Mengapa ada lilin sialan ini di sini?
Beberapa detik kemudian, datanglah beberapa pengawal kepercayaan gadis itu diikuti dengan beberapa wanita muda yang tampak baru bangun tidur.
"Maaf, Nona. Ada pemadaman listrik-"
"-Sejak kapan ada pemadaman listrik, huh!?" Elisha bahkan tidak bisa menjaga image tenangnya saat ini membuat para pekerjanya merinding ketakutan. Untuk pertama kalinya mereka mendengar nona mudanya ini berteriak seperti itu.
"Keluar!"
Semua yang ada langsung mengambil lilin itu dan berlari ke luar. Mereka tidak tau apa yang membuat Elisha begitu marah saat ini.
Di dalam kamar yang gelap, Elisha tampak gemetaran. Setelah air mata yang tidak diharapkan mengalir begitu saja membuat gadis itu menggeram marah.
"Sial, gadis itu muncul setelah sekian lama."
_
Saya yang ngetik, saya yang puyeng, hehe.