Dark Angel [END]

Par anna_minerva

137K 27.4K 1.7K

"Kadang kala, kau akan menemukan manisnya cinta dalam setiap tarikan napas seorang pendosa" -Dark Angel- *** ... Plus

BAB 1 - Anastasya
BAB 2 - Korban Pertama
BAB 3 - Detektif Kembar
BAB 4 - Vicky
BAB 5 - Petunjuk Pertama
BAB 6 - Bunuh Diri?
BAB 7 - Selingkuhan
BAB 8 - Bullying
BAB 9 - Kecelakaan yang Disengaja
BAB 10 - Taksi Biru dan Sebuah Obat
BAB 11 - Surat Dari Igrid
BAB 12 - Siapa Mirai?
BAB 13 - Pencarian
BAB 14 - Kisah Si Genius
BAB 15 - Petunjuk Baru
BAB 16 - Daerah Gunung
BAB 17 - Rahasia Rumah Tua
BAB 18 - Buku Diary Tersobek
BAB 19 - Siapa Dia?
BAB 20 - Album Lama
BAB 21 - Mengumpulkan Kejanggalan
BAB 22 - Sampai Jumpa, Gadisku
BAB 23 - Bertanya Pada Ferida
BAB 24 - 1994
BAB 25 - Aku Yang Sesungguhnya
BAB 26 - Menerima Takdir
BAB 27 - Petunjuk Dari Dokter Yelena
BAB 28 - Menggeledah
BAB 29 - Ancaman
BAB 30 - Penembakan
BAB 31 - SDN Janggala
BAB 32 - Cinta Pertama
BAB 33 - Bukti
BAB 34 - Secarik Kertas
BAB 36 - Keyakinan
BAB 37 - Kekalahan?
BAB 38 - Julia Kecil
BAB 39 - Si Bedigasan
BAB 40 - Siapa Vanya?
BAB 41 - Seseorang yang Terlupakan
BAB 42 - Perpustakaan
BAB 43 - Penembakan (Lagi)
BAB 44 - Pria Bertopeng
BAB 45 - Kecurigaan Tersembunyi
BAB 46 - Perkelahian
BAB 47 - Bayangan
BAB 48 - Setitik Asumsi
BAB 49 - Terlambat
BAB 50 - Iris
BAB 51 - Tidak Ada Kata Terlambat
BAB 52 - Kembali
BAB 53 - Kenyataan
BAB 54 - Masa Lalu Itu
BAB 55 - Deklarasi
BAB 56 - Ambigu
BAB 57 - Ruang Bawah Tanah
BAB 58 - Cerita dan Segalanya
BAB 59 - Mirai dan Segalanya
BAB 60 - Pengungkapan
BAB 61 - Pertarungan dan Jawaban
BAB 62 - Permintaan
BAB 63 - Pertaruhan Terakhir
BAB 64 - Sampai Jumpa
BAB 65 - Usai
BAB 66 - Sesuatu yang Berharga
Epilog
Hallo, Kak !
-Sekadar Menyapa (dan curhat)-

BAB 35 - Penyusup

1.5K 365 7
Par anna_minerva

Jangan lupa vote sebelum baca 🌟🙌

***

Beberapa malam setelahnya, Dean dan Eliza benar-benar melakukan apa yang mereka rencanakan. Mereka akan benar-benar menyusup ke ruang guru hanya untuk memeriksa tulisan saja. Sedangkan Andri dan Andre masih mengawasi gerak-gerik kepolisian dan ayahnya dalam penyelidikan dengan bermodalkan sebutir peluru, sesobek kain serta bukti lain yang mereka temukan di gedung itu.

"Sorry, Kak, kami nggak bisa ikut. Oh ya, di sini, beberapa orang sudah diperiksa. Kakak nggak perlu khawatir, ini akan menjadi langkah besar dalam kasus ini."

"Memeriksa orang? Siapa saja yang diperiksa. Ada daftar nama-nama orang yang akan diperiksa?" Dean terus menempelkan ponselnya di telinga.

Andri terdiam sejenak di sana. Hening---tanpa bersuara sedikit pun. Dean hanya bisa mendengar suara helaan nafas yang cukup berat "Ndri?"

"Nggak ada, Kak. Udah ya, Kak. Dadah." Panggilan itu sempurna dimatikan.

Dean merasa bahwa Andri berbeda dari biasanya. Anak itu tidak se-semringah hari-hari sebelumnya. Bahkan, dia tidak memberi kabar apa-pun tentang perkembangan kasus yang ditangani oleh kepolisian. Padahal, sudah jelas mereka tahu banyak hal. Mereka juga tidak menghubungi sebelum Dean menghubungi mereka terlebih dahulu.

Jam tangan Dean menunjukkan pukul sembilan malam tepat.

Dia segera memasukkan ponselnya ke dalam saku. Tangannya langsung meraih sebuah besi pipih panjang yang dia gunakan untuk mencongkel pintu ruang guru nanti.

Sedangkan Eliza sedang memasangkan topi french beret ke kepalanya. Dia mengenakan sebuah long coat berwarna coklat muda yang lumayan besar untuk tubuhnya. Gadis itu berdiri di hadapan Dean yang sejak tadi memperhatikannya tanpa beralih pandangan sedikit-pun.

"Hey, Dean, mungkin suatu saat nanti, aku ingin menjadi seperti Detektif Fenil. Atau mungkin yang lebih luar biasa lagi---seperti Sherlock Holmes atau Hercule Poirot." Secercah senyuman muncul di bibir Eliza.

"Ya. Gue juga!" Dean menjawab secara otomatis. Padahal, awalnya dia sama sekali tidak berfikiran menjadi seperti itu. Tapi, karena Eliza menginginkan hal itu---maka dia sama.

"Mimpi yang indah." Eliza tertawa kecil.

"Okay, mungkin nggak perlu basa-basi lagi. Kita harus segera masuk. Buat CCTV, gue udah serahin segalanya ke salah satu rekan kepercayaan gue tadi pas sekolah. Jadi, kita langsung ke kantor dulu aja." Dean berjalan perlahan mendahului Eliza.

Di sana sudah terlihat sempurna gerbang State Lighting. Hanya dipisahkan oleh jalan raya yang lenggang. Eliza segera menyusul langkah Dean dari belakang. Hanya beberapa meter mereka berjalan. Kini mereka telah sempurna berdiri di hadapan gerbang besi yang menjulang tinggi itu.

Dean berhenti tepat di hadapannya. Jemarinya segera merogoh sebuah kawat dari saku jaket hitamnya. Tanpa mengucap sepatah kata-pun, dia segera memasukkan besi itu ke dalam gembok pagar. Butuh beberapa menit untuk kawat pipih itu untuk benar-benar bekerja membuka pintu.

Eliza hanya berdiri di belakangnya tanpa mengucap sepatah kata apa-pun. Jemarinya sudah menggenggam erat kertas yang sudah lusuh itu.

"Yes." Dean berhasil membuka gerbang itu. "Wah, wah, kayaknya sekarang kita udah lumayan punya skill ya?"

"Nggak perlu membanggakan diri. Kita aja tahu ini dari internet." Eliza membenarkan posisi masker hitamnya.

Mereka berdua-pun melangkah ke dalam. Di sana terasa sangat sepi. Tidak ada siapa-pun yang terlihat. Hanya suara jangkrik yang memekik. Lampu-lampu yang berada di sisi kanan kiri jalan utama menyala dengan terang. Tapi, ada pula beberapa yang mati.

"Yan' jangan lupa masker lo. Buat jaga-jaga!" Eliza menyikut bahu Dean.

"Oh, iya lupa." Dean tertawa, lalu dia membenarkan posisi maskernya.

Kini mereka telah sampai ke bangunan depan. Di sana terdapat sebuah pintu geser yang cukup besar. Pintu tersebut tidak terkunci. Bahkan, Dean langsung bisa menggesernya dengan satu tangan.

Kantor guru tepat di hadapan mereka. Mata kedua patung marmer yang mengapit kedua sisi pintu itu seakan memperhatikan dua penyusup itu.

Dean berusaha membuka kunci kantor guru, sedangkan Eliza mengamati patung marmer itu dengan lebih rinci lagi.

Patung itu terlihat biasa saja di siang hari. Namun ketika malam seperti ini, mereka benar-benar menggambarkan situasi State Lighting sesungguhnya. Penuh dengan nyawa yang melayang. Mereka terlihat seperti malaikat maut. Menatapnya secara terus-menerus membuat Eliza cukup bergidik.

"El, udah nih. Lo ngapain?" Dean telah membuka pintu kantor guru.

Eliza langsung menghadap ke arah Dean dan melupakan sesuatu di patung marmer tersebut.

Di dalam ruang guru hanya ada kegelapan. Sampai pada akhirnya Dean menghidupkan sakelar lampu yang ada di samping pintu. Kini, ruangan menyeramkan itu sudah mulai benderang.

"Okay, kita periksa satu-persatu meja. Um, mungkin akan lama. Tapi, gue yakin nggak akan sampai setengah jam." Dean mulai berjalan mendekati meja guru yang paling ujung. Eliza-pun juga melakukan hal yang sama.

Mereka membuka satu persatu buku, secarik kertas bahkan jurnal milik setiap guru sekali-pun. Dengan teliti, mereka menyamakan setiap tulisan dengan tulisan yang ada di secarik kertas. Tanpa ada yang terlewat sekali-pun. Mereka juga memeriksa tulisan mantan terduga tersangka alias Pak Jordan Lie. Namun, tulisan itu sama sekali tidak mirip tulisan Pak Jordan.

Kini, langkah Eliza telah sampai di meja Pak Franz. Tidak perlu menunggu lama, Eliza langsung membuka salah satu buku catatan Pak Franz.

Dia menyandingkan tulisan Pak Franz dengan tulisan misterius itu. Namun, itu sama sekali tidak mirip. Sangat berbeda. Tulisan Pak Franz rapi. Bisa disimpulkan kalau dia menulis dengan sepenuh hati. Begitu juga dengan tulisan misterius itu. Namun, tidak ada satu-pun persamaan antara keduanya.

Eliza langsung memegangi pelipisnya. Sudah hampir semua tulisan guru dia periksa, namun tidak ada satu-pun tulisan yang menyamai tulisan misterius itu.

Dean-pun juga sama, dia merasa bahwa malam ini sia-sia.

"Gue nggak habis fikir sih. Nalar gue bener-bener mati, El. Sumpah ini gila. Kira-kira, siapa yang nulis ini? Apa bener kalau tulisan ini dibuat-buat?" Dean memijat perlahan pelipisnya.

"Lo bener. Gue cukup yakin kalau dia nulis itu setelah tahu gue masuk ke dalam gedung. Sebab surat itu ditunjukkan pada gue, bukan pada polisi. Jadi, gue yakin kalau dia menulis tepat setelah tahu gue jalan ke gedung.  Dan satu hal lagi, baru beberapa menit setelah peristiwa penembakan itu gue langsung cabut ke gedung. Jadi, singkat banget waktunya. Dia nggak mungkin punya pikiran untuk merubah tulisannya. Makanya gue yakin kalau itu tulisan asli. Dan gue juga punya alasan kenapa gue curiga sama warga sekolahan. Sebab, peristiwa penembakan itu terjadi tepat saat gue sama Alta pulang. Jadi gue yakin dia udah ngikutin gue. Kalau enggak, gimana dia tahu kalau gue ke plaza?"

"Iya. Tapi masalahnya nggak ada sama sekali orang yang bisa kita curigai. Kalau-pun ada, itu cuma insting kita doang. Lagian, nggak ada banyak bukti 'kan?" Dean berdecak sebal.

"Lo bener. Kayaknya, ini udah jalan buntu. Satu-satunya hal yang bisa kita lakukan adalah menunggu kepolisian kota."

***

Jauh dari posisi Dean dan Eliza, si kembar masih berusaha ikut menyelidiki kasus di gedung itu. Sudah banyak hal yang didapatkan oleh kepolisian dari kota tanpa campur tangan Detektif Fenil. Sebab dia sedang fokus menyelidiki peristiwa kebakaran. Banyak pihak yang menentang jika kedua kasus itu memiliki dalang yang sama. Jadi, kasus penembakan diselidiki oleh kepolisian kota sedangkan kasus kebakaran masih tetap diselidiki oleh Detektif Fenil.

Kepolisian sudah menemukan banyak acuan. Mereka sudah mendapat semua data orang-orang yang keluar masuk jalan belalang gedung tua tersebut. Salah satunya adalah orang yang masuk ke dalam list yang ada di otak si kembar.

"Kenny van Lier. Dia masuk ke jalan belakang pukul empat sore dan keluar pukul empat dua puluh. Dia mengenakan jas farmasi sebab dia bekerja di laboratorium farmasi. Sejauh ini, hanya dia yang mencurigakan. Sayangnya, keberadaannya saat ini masih menjadi misteri." Seorang polisi berkata dari balik ruangan yang tertutup rapat.

Meski begitu, Andri berusaha menguping pembicaraan itu.

"Nggak usah mendengar sesuatu yang enggak ingin kamu dengar dan jangan melihat sesuatu yang nggak ingin kamu lihat." Andre menepuk bahu Andri yang tengah menempelkan telinganya di pintu ruangan itu.

"So? Kita harus ngapain?" Andri menghela nafas panjang.

"Nggak tahu juga." Andre menyandarkan tubuhnya ke tembok. "Semakin banyak yang kita tahu, semakin banyak pula luka yang ada di hati kita. Jadi, lebih baik kita memejamkan mata dan menutup telinga saja."

"Yah. Memang menyakitkan jika kepercayaan kita rusak. Meski-pun itu belum pasti."

"Yaudah deh. Nanti, aku nggak mau jadi kayak ayah. Aku mau jadi orang biasa-biasa saja. Mungkin jadi dokter spesialis anak." Andre tertawa.

Andri hanya menghela nafas dalam-dalam. Kakinya melangkah menjauhi pintu dan mendekati jendela besar yang ada di hadapannya.

Posisi jendela itu di lantai atas dan menghadap ke jalan raya. Di sana indra penglihatan bisa menangkap kendaraan yang berlalu-lalang dari bawah. Sama seperti yang sering Kenny lakukan ketika dia merasa bosan bekerja.

Tiba-tiba, sebuah mobil polisi masuk ke area kantor polisi. Tanpa basa-basi, mobil itu parkir di antara mobil-mobil lainnya. Seorang petugas polisi keluar dari dalam mobil---dari pintu depan. Dia melangkah cepat dan membuka pintu belakang mobil.

Di sana seorang pria tinggi tegap keluar dari dalam mobil. Dia mengenakan kaos berwarna hitam dan celana dengan warna yang sama.

Andri langsung membelakkan matanya ketika melihat pria itu---pria yang teramat sangat tidak asing baginya. "Kak Ken?"

Andre yang tengah bersandar di dinding langsung membelakkan matanya juga. Dia segera melangkah ke samping saudaranya itu. Dari bawah dia juga melihat pemandangan yang sama dengan yang dilihat Andri.

Di sana, Kenny tengah berjalan perlahan dengan polisi-polisi yang mengitarinya. Andri dan Andre tidak terlalu tahu apa yang terjadi. Namun, mereka tahu itu bukanlah sesuatu yang bagus.

"Apa yang harus kita lakukan? Menemuinya? Bertanya baik-baik dengannya? Atau gimana?" Andre mengacak-acak rambutnya sendiri.

Andri mengangkat bahu. "Aku yakin Kak Ken nggak akan ngomong apa-pun sama kita, bahkan dia nggak akan menatap wajah kita sedikit-pun. Sebab dia tahu kalau kita bisa mengerti kalau dia berbohong."

"Bodo amat lah, aku mau nemui dia." Andre berlari ke meninggalkan Andri. Beberapa detik kemudian, Andri juga ikut menyusul Andre.

Mereka berlari menuruni tangga. Di sana, seorang polisi muda menghentikan langkah mereka. Dia adalah Edgar---satu-satunya polisi yang menentang keras tindakan atasannya. Sebab dia tahu bahwa ada kejanggalan di kasus tersebut.

"Kalian nggak usah nemui dia dulu. Biar kami yang menyelidikinya." Edgar menghadang Andre yang hendak turun lebih jauh lagi.

"Tapi, kami perlu bicara sama Kak Ken!" Andre berdecak sebal.

"Tenanglah. Dia akan diintrogasi dan tim forensik akan memeriksa sidik jarinya. Tunggu sebentar saja. Setelah semuanya ada kepastian nanti, kalian bisa bertindak---melakukan apa yang menurut kalian benar." Polisi itu berkata dengan nada rendah. "Aku akan membantu."

Andri dan Andre hanya melongo mendengar kalimat itu. Sebab setahu mereka, semua polisi dan penyelidik lainnya sudah mencurigai Kenny. Bahkan ayahnya sekali-pun.

"Mengapa?" Andri berdesis perlahan.

"Sebab aku tahu ini janggal." Edgar berbalik badan. Dia melangkah pergi meninggalkan si kembar yang masih mematung di tempat.

Indra penglihatan mereka bedua hanya bisa menangkap gambaran punggung Edgar yang kian lama kian menjauh. Setelah itu semuanya sepi.

"Ndri!" panggil Andre. "Kita harus mengecek ke lab."

"Lab? Untuk apa?" tanya Andri.

"Kita perlu tahu, apakah saat mendiang Kak Anastasya dibunuh, apakah Kak Ken ada di lab. Kalau enggak ada, maka mungkin--"

"Kau benar! Kenapa nggak kepikiran dari tadi?!"

"Otak kita nge-lag. Soalnya situasi lagi kacau."

"Yaudah ayo! Kita juga perlu tahu kapan Kak Ken tidak masuk kerja!"

Mereka berdua segera meninggalkan kantor polisi. Tanpa basa-basi, mereka berjalan cepat menuju lorong kantor.

Di sana, si kembar berpapasan dengan Kenny dan beberapa polisi yang mengawalnya. Mereka berhenti sejenak dan menatap wajah Kenny yang terus menunduk dari tadi. Kenny sama sekali tidak menatap kedua anak yang dahulu sangat candu baginya. Kini, hanya ada kehampaan di mata itu.

"Kak?" Andri memanggil perlahan. Namun, Kenny sama sekali tidak menatapnya. Melirik-pun juga tidak.

Setelah beberapa detik, Kenny sudah melewati mereka. Dia tidak berbicara, tidak menatap---bagaikan patung pualam. Sudah tidak ada lagi jiwa Kenny yang konyol dan pemalas. Si kembar merasa bahwa Kenny berubah.

Hal itu membuat Andri hampir menjatuhkan bulir-bulir air matanya. Kedua bola matanya itu telah berkaca-kaca. Dia menggigiti bibirnya dengan keras.

"Heh, jangan nangis! Kamu kenapa?" Andre menggoyangkan tubuh saudaranya itu.

Andri-pun mengusap air matanya yang hampir terjatuh itu. Dia kembali berdiri tegak. "Ayo! Nggak perlu basa-basi lagi."

***

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Tapi, si kembar itu tetap bersikukuh untuk pergi ke lab. Mereka hanya bisa mengandalkan bus malam yang hampir pulang. Namun si supir akhirnya luluh karena ekspresi memelas mereka.

Hanya perlu beberapa menit untuk sampai ke laboratorium farmasi---tempat di mana Kenny bekerja.

Setelah turun dari bus, mereka segera berlari ke area lab. Dengan tergesa-gesa, mereka berusaha memanggil-manggil seseorang dari dalam. Namun, tidak ada jawaban sama sekali. Sepertinya, sudah tidak ada orang lagi yang berada di dalam---mengingat waktu sudah sangat larut.

"Gimana nih? Apa nunggu besok aja?" tanya Andre.

"Kita nggak bisa nunggu besok, Ndre. Kita harus sekarang! Nggak peduli apa!" Andri terus mengedor-gedor pintu besi yang membatasi lab dan area luar.

Tanpa diduga, seorang satpam muncul di belakang mereka. "Hey!"

"Arghhh!" Andri dan Andre menjerit secara bersamaan.

"Astaga! Ya Tuhan! Kalian?! Ngapain kalian malem-malem? Lab udah tutup!" Satpam itu juga memasang ekspresi terkejutnya.

"Maaf, Pak. Tapi ini perintah dari ayah. Anda tahu 'kan ayah kami itu?" kata Andre.

Satpam itu menghela nafas panjang. "Apa yang kalian inginkan?"

"Jurnal absen!" seru Andri. "Kami disuruh mencari jurnal absen."

"Baik. Hanya sepuluh menit. Cari di meja depan. Pasti ada." Satpam itu berjalan menuju arah pintu. Tangannya segera merogoh saku dan mengambil sebuah kunci dari dalam. Dia mengarahkan kunci itu ke dalam lubang kunci dan memutarnya. Tidak perlu waktu lama, pintu itu kini telah terbuka.

"Bapak tunggu di luar ya, kami masuk dulu." Andri segera mendorong pintu itu supaya terbuka dengan sempurna.

"Hey, di dalam gelap! Apa kalian tahu sakelar listriknya?!" seru Satpam.

Si kembar berlari masuk ke dalam tanpa menggubris kata-kata Satpam tersebut.

Di dalam gelap. Mereka tidak bisa melihat apa-pun. Hanya sinar rembulan yang masuk ke dalam gedung lah satu-satunya cahaya yang bisa menyinari laboratorium farmasi itu. Di tambah lagi bau obat yang cukup menyengat sehingga si kembar merasa tidak enak lama-lama berada di sana. Entah kenapa, bau itu terasa lebih kuat dari hari-hari sebelumnya. Si kembar juga menutup hidung mereka secara refleks.

"Hey, kau tahu di mana sakelar lampu di letakkan?" tanya Andre dengan nafas ngos-ngosan.

"Di belakang tiang itu." Andri menunjuk sebuah tiang besar yang tidak jauh dari pintu masuk.

Langkah Andre mendekati tiang itu. Dia segera menyalakan sakelar lampu ruangan utama itu.

Klek

Kini semuanya terlihat benderang. Tidak ada lagi kegelapan. Mereka bisa lebih leluasa mencari jurnal absen yang biasanya di letakkan di meja depan. Itu hanya jurnal harian yang mencatat siapa saja yang tidak masuk. Data-data di dalamnya pasti sudah di salin di tempat lain.

Andri segera mengecek meja itu. Benar saja, tepat di bawah meja itu ada sebuah laci kecil. Di dalamnya ada sebuah jurnal berwarna biru muda. Andri membuka jurnal itu dengan cepat.

Dia segera mencari-cari tanggal di mana Anastasya di perkirakan tewas.

"Empat Agustus. Ayolah, di mana empat Agustus." Andri bergumam dalam hatinya sembari menunjuk setiap tanggal dengan jari telunjuknya.

Tidak perlu waktu lama untuk Andri menemukan tanggal empat agustus di jurnal absen itu. Dia langsung mencari nama Kenny di daftar.

Setelah jari telunjuknya menyentuh tulisan nama Kenny secara otomatis, tubuh Andri seakan membeku seketika. Dia terdiam, menahan nafas, tidak bergerak dan tidak mengatakan apa-pun.

"Ada apa?" Andre mendekat ke arahnya.

Andri tidak menjawab apa-pun. Hal tersebut membuat Andre meraih jurnal itu dari genggaman Andri yang cukup kuat. Meski begitu, Andri tidak bergerak sedikit-pun. Ekspresinya sangat sulit dimengerti.

Andre segera memeriksa apa yang dilihat oleh Andri. Alangkah terkejutnya dia ketika melihat nama Kenny di tanggal itu di beri tanda "A" yang berarti alfa---alias dia tidak masuk tanpa keterangan di hari itu.

"Kak Ken, dia tidak masuk kerja kala Kak Anastasya dibunuh?"

***

Continuer la Lecture

Vous Aimerez Aussi

SENIOR & JUNIOR Par zel🫧`☆

Roman pour Adolescents

90 64 4
"Kalau di bilang jangan telat, ya jangan telat!" "Siap, salah kak!" "turun!" "Siap, turun!" Gimana ya lika liku nya cerita tentang seorang gadis yang...
3.4K 336 32
Zara sama seperti gadis lainnya, menyukai murid baru yang tampan, Alvan. Sebuah keberuntungan, cowok itu duduk sebangku dengan Zara. Namun, sesuatu m...
1.7M 19.8K 106
[ 𝗖𝗢𝗠𝗣𝗟𝗘𝗧𝗘𝗗 ] 𝗡 𝗘 𝗪 𝐒𝐔𝐃𝐀𝐇 𝐃𝐈 𝐑𝐄𝐕𝐈𝐒𝐈☑️ ⚠️𝐂𝐋𝐎𝐒𝐄 𝐑𝐄𝐐𝐔𝐄𝐒𝐓⚠️ 𝘉𝘶𝘢𝘵 𝘬𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯 𝘱𝘢𝘳𝘢 𝘱𝘦𝘯𝘶𝘭𝘪𝘴 𝘢𝘵𝘢𝘶...
STREET ROMANCE Par ririsfarecca

Roman pour Adolescents

1.7K 231 4
"gue ga akan tunduk sama lo, cupu!" teriakan pria itu tampak menggemparkan seluruh siswa yang sedang menikmati makanannya di kantin. "gamau nurut? o...