Dark Angel [END]

anna_minerva tarafından

137K 27.4K 1.7K

"Kadang kala, kau akan menemukan manisnya cinta dalam setiap tarikan napas seorang pendosa" -Dark Angel- *** ... Daha Fazla

BAB 1 - Anastasya
BAB 2 - Korban Pertama
BAB 3 - Detektif Kembar
BAB 4 - Vicky
BAB 5 - Petunjuk Pertama
BAB 6 - Bunuh Diri?
BAB 7 - Selingkuhan
BAB 8 - Bullying
BAB 9 - Kecelakaan yang Disengaja
BAB 10 - Taksi Biru dan Sebuah Obat
BAB 11 - Surat Dari Igrid
BAB 12 - Siapa Mirai?
BAB 13 - Pencarian
BAB 14 - Kisah Si Genius
BAB 15 - Petunjuk Baru
BAB 16 - Daerah Gunung
BAB 17 - Rahasia Rumah Tua
BAB 18 - Buku Diary Tersobek
BAB 19 - Siapa Dia?
BAB 20 - Album Lama
BAB 21 - Mengumpulkan Kejanggalan
BAB 22 - Sampai Jumpa, Gadisku
BAB 23 - Bertanya Pada Ferida
BAB 24 - 1994
BAB 25 - Aku Yang Sesungguhnya
BAB 26 - Menerima Takdir
BAB 27 - Petunjuk Dari Dokter Yelena
BAB 28 - Menggeledah
BAB 29 - Ancaman
BAB 31 - SDN Janggala
BAB 32 - Cinta Pertama
BAB 33 - Bukti
BAB 34 - Secarik Kertas
BAB 35 - Penyusup
BAB 36 - Keyakinan
BAB 37 - Kekalahan?
BAB 38 - Julia Kecil
BAB 39 - Si Bedigasan
BAB 40 - Siapa Vanya?
BAB 41 - Seseorang yang Terlupakan
BAB 42 - Perpustakaan
BAB 43 - Penembakan (Lagi)
BAB 44 - Pria Bertopeng
BAB 45 - Kecurigaan Tersembunyi
BAB 46 - Perkelahian
BAB 47 - Bayangan
BAB 48 - Setitik Asumsi
BAB 49 - Terlambat
BAB 50 - Iris
BAB 51 - Tidak Ada Kata Terlambat
BAB 52 - Kembali
BAB 53 - Kenyataan
BAB 54 - Masa Lalu Itu
BAB 55 - Deklarasi
BAB 56 - Ambigu
BAB 57 - Ruang Bawah Tanah
BAB 58 - Cerita dan Segalanya
BAB 59 - Mirai dan Segalanya
BAB 60 - Pengungkapan
BAB 61 - Pertarungan dan Jawaban
BAB 62 - Permintaan
BAB 63 - Pertaruhan Terakhir
BAB 64 - Sampai Jumpa
BAB 65 - Usai
BAB 66 - Sesuatu yang Berharga
Epilog
Hallo, Kak !
-Sekadar Menyapa (dan curhat)-

BAB 30 - Penembakan

1.5K 383 50
anna_minerva tarafından

"Kak, Kakak tahu, Igrid bunuh diri dengan cara melompat dari atap Hotel Gardenia kemarin---tidak lama setelah dia bertemu dengan kita. Dan, Kakak tahu, Hotel Gardenia adalah hotel milik Daniil."

"Katanya, Igrid itu adalah mantan istri Daniil."

Jam menunjukkan pukul sembilan lebih empat puluh lima menit---menandakan istirahat tengah berlangsung. Saat ini Eliza, Dean, Andri dan Andre tengah duduk di kursi bundar melingkar di taman State Lighting. Banyak siswa-siswi yang ada di taman itu, namun mereka berempat tidak peduli.

Suasana riuh---sama seperti biasanya. Ada beberapa anak gadis yang tengah menatap mereka berempat. Khususnya menatap Dean dan Eliza. Kabar tentang kedekatan mereka sudah membeludak di penjuru sekolah. Hal tersebut membuat banyak pihak merasa cemburu. Apalagi gadis-gadis yang mengidolakan Dean. Mereka semua terlihat membenci Eliza. Tapi, Eliza sama sekali tidak peduli dengan mata-mata penuh iri dengki yang menatapnya itu.

"Siapa Julia?" Pertanyaan itu terlontar dari bibir Eliza lagi. Saat ini, dia lebih ingin mencari Julia daripada mencari si pembunuh. Sebab, Julia adalah amanah dari Igrid.

"Tenanglah Eliza, pasti akan ada orang yang mengurus anak bernama Julia itu," kata Dean dengan pandangan datar. Dia masih terngiang-ngiang masalah kemarin di rumahnya. Tapi, dia belum menceritakan pada siapapun. Satu hal lagi yang membuatnya cemas : Kenny belum pulang sejak kemarin. Keluarganya serta rekan-rekan Kenny sedang melakukan pencarian saat ini. Jika sampai 48 jam Kenny belum ditemukan, maka mereka harus benar-benar melapor polisi.

"Memangnya, kenapa Igrid melakukannya?" Andre menyeruput es teh dalam cup-nya.

Andri menggeleng, Dean juga menggeleng. Mereka benar-benar tidak mengerti alasan kenapa Igrid bunuh diri setelah bertemu dengan mereka. Lebih tepatnya bertemu dengan Eliza.

"Kak, ada satu hal yang harus kami beri tahu pada Kakak," kata Andri. "Ini tentang Pak Franz."

Dean dan Eliza menyimak dengan seksama.

"Pak Johni yang dibicarakan Pak Franz di rekaman wawancara kemarin ternyata bukan rekannya---melainkan mertuanya. Aneh 'kan? Kenapa Pak Franz bilang kalau dia rekannya? Kenapa tidak jujur saja! Hal ini membuatnya dicurigai." Andri mengetuk-ngetukkan jemarinya ke meja di depannya.

"Betul. Hal tersebut membuat kami yakin bahwa Pak Franz tengah gugup ketika menjawab. Jadi, dia spontan menjawab kalau Pak Johni adalah rekannya. Yah, intinya dia gugup." Andre kembali menyeruput es teh nya.

Dean diam sejenak. Pak Franz ada di foto bersama Kenny. Itu artinya dia mengenal Kenny, bahkan mungkin lebih dari sekedar kenal.

"Dan juga, Kenny mengenalnya. Kenny mengenal Pak Franz, Eliza." Setelah dipikir-pikir, menyembunyikan sesuatu di dalam khasus ini bukanlah hal yang benar. Jadi, Dean akan mengatakan apa adanya saja.

Eliza langsung membelakkan matanya ketika mendengar hal tersebut. "Be-beneran?"

"Iya, Kak. Kak Ken ada di foto bersama Pak Franz dan dua pemuda lagi. Foto itu kami temukan di rumahnya Igrid kemarin," kata Andri.

Eliza berdecak sebal. "Kenapa kakak lo itu nggak bilang?"

"Ya-ya. Jangan buruk sangka sama kakak gue. Bisa aja mereka cuma temenan---nggak ada sangkut pautnya sama sekali. Lagian, Kenny juga nggak tahu kalau Pak Franz merupakan salah satu orang yang dicurigai dalam khasus pembunuhan ini. Kenny nggak tahu apa-apa, El." Dean berusaha menjelaskan.

Menurut Eliza, Dean benar. Hanya karena sebuah foto tidak mungkin dia mencurigai orang itu. Teman Pak Franz bukan hanya Hisao dan pemuda berkaca-mata saja. Teman Pak Franz pasti banyak. Apalagi dia anak laki-laki. Pasti memiliki banyak kenalan.

Tanpa mereka sadari, jarum jam berputar cepat. Kini bel masuk telah berbunyi. Tanpa basa-basi, Eliza ingin segera masuk kelas. Dia tidak ingin terlambat di jam pelajaran Bahasa.

"Gue cabut dulu," kata Eliza.

Dean dan si kembar mengangguk. Mereka masih berbincang-bincang di sana sebentar. Sebuah perbincangan yang memang akan disembunyikan dari Eliza.

Eliza melangkah cepat menuju lorong. Dia akan segera masuk ke kelasnya. Di sana, banyak sekali mata para gadis yang menatapnya dengan tatapan tidak baik---mereka terlihat membenci Eliza.

Saat sampai di depan kelas Dean, kelas---XI IPA 2, Eliza dihadang oleh seorang gadis berambut sebahu dengan kaca-mata yang mendekap beberapa buku paket. "A-anu, Eliza, se-sebentar."

"Alta. Kenapa? Ada perlu apa?" Eliza menaikkan sebelah alisnya.

"Pu-pulang sekolah nanti, ka-kamu sibuk ng-ngak?" Kalimat Alta terbata-bata---sama seperti biasanya. Dia adalah gadis pemalu dan pendiam.

Eliza terdiam sejenak. Dia mengingat-ingat agendanya. Namun, dia berfikir kalau hari ini dia free atau lebih tepatnya, mencoba untuk free. Dia ingin beristirahat sebentar supaya otaknya tidak tegang-tegang amat.

"Nggak juga," jawab singkat Eliza.

"Ba-bagus. Aku mau minta tolong, a-ajari aku ma-matematika. Aku kesusahan sih. Kata bu guru, a-aku ha-harus belajar dari murid yang cerdas. Dan, kau ya-yang paling cerdas." Alta berbicara sambil mengalihkan pandangannya pada Eliza.

"He? Kamu kesusahan matematika? Setahuku, kamu itu pinter lho." Eliza menyipitkan matanya.

Alta terdiam---mengalihkan pandangannya. Dia semakin mendekap erat-erat buku-buku paketnya. "A-aku..."

Eliza tidak tahu apa yang sebenarnya dipikirkan Alta. Tapi, dia telah janji untuk tidak mengabaikan orang lain. Tidak mungkin dia akan mengingkari janji itu. Boleh jadi Alta benar-benar membutuhkan bantuan Eliza.

"Baiklah kalau begitu. Kita ketemu di taman sekolah nanti pas pulang." Eliza segera beranjak dari sana.

"Tunggu!" Alta meraih lengan Eliza. "A-ku nggak bisa di sana. Di tempat lain saja. Kalau kamu mau."

"Baiklah, di mana maumu?" Eliza sedikit kesal dengan sikap Alta.

Alta terdiam sejenak. Dia terlihat sedang berfikir. "Um, ehmm rumah makan terbuka dekat plaza atau--"

"Okay. Kita ke sana nanti. See you, Alta." Eliza melepaskan genggaman Alta dari lengannya. Dia segera melangkah pergi meninggalkan Alta yang tengah mematung di sana.

~~~

Setelah bel pulang sekolah berbunyi, Eliza dan Alta segera menuju tempat yang mereka katakan tadi.

Itu hanyalah sebuah restoran terbuka di depan plaza. Tempatnya tidak jauh dari trotoar dan jalan raya, jadi di sana tidak sepi. Apalagi terletak di tengah kota dan di sepanjang jalan dipenuhi bangunan-bangunan besar dan juga gedung tinggi.

Tidak jauh dari sana, ada sebuah gedung tua yang cukup tinggi. Tempatnya tepat di persimpangan jalan. Di samping gedung itu ada sebuah perempatan besar dengan banyak sekali rambu lalu lintas.

Jika di kira-kira, tempat itu tidak jauh dari rumah Russel. Sekitar satu kilo meter dari sana.

Eliza memilih duduk di sebuah bangku dengan dua kursi. Alta duduk di hadapannya. Mereka berdua-pun mulai membuka buku paket matematika masing-masing.

"Gue heran, kenapa lo sampai kesusahan matematika. Padahal, kata orang lo itu cerdas." Eliza membuka kontak pensilnya.

"Um, eh... cu-cuma aku kesusahan di matriks trigonometri." Alta mengalihkan pandangannya pada Eliza. "Ka-kamu ikhlas 'kan ajari aku?"

Eliza menaikkan sebelah alisnya---Alta cukup mengherankan. Kata orang-orang, Alta itu cerdas. Dia mampu meraih peringkat kedua di kelas IPA-2 setelah Dean. Jadi, cukup mengherankan jika Alta kesulitan dalam matematika. Bahkan, dia bisa mengalahkan dua anak dari IPA-2 yang pernah mewakili olimpiade saat kelas satu dulu.

"Nggak, cuma lo itu aneh aja." Eliza menggedikkan bahunya.

"Sebelum kita mulai, boleh aku tanya sesuatu, El?" Pandangan Alta kosong. Namun, saat ini dia tidak terlihat gugup ketika berbicara.

"Ya? Ada apa?" tanya Eliza.

"Apa hubunganmu dengan Dean?"

Eliza menghela nafas dalam-dalam. Kini sudah jelas bahwa tujuan Alta mengajak Eliza bertemu bukan untuk belajar, tapi untuk menanyakan masalah-masalah seperti ini. Sebenarnya ada banyak gadis yang mencoba bertanya pada Eliza, tapi dia tidak menanggapinya. Hanya saja, kali ini dia sudah berbicara empat mata dengan Alta dan tidak mungkin Eliza pergi dari sini. Dia sudah memesan beberapa makanan tadi.

Eliza memutar kedua bola matanya. "Gue nggak ingin mengatakan banyak. Gue sama Dean... bukan siapa-siapa. Kami cuma lagi ada kegiatan yang harus dilakukan bersama."

"Oh, cuma berdua?" tanya Alta.

Eliza menggeleng. "Nggak. Kami juga sama Andri dan Andre. Anak kelas X IPS 1. Jadi, kami nggak berduaan."

Alta tersenyum. "Syukurlah."

"Mengapa?"

Alta menghela nafas dalam-dalam. "Ini sebenarnya rahasia, El. Tapi, karena kau selalu bersama dengannya. Aku nggak tahu lagi harus gimana."

Eliza menghela nafas dalam-dalam. "Jadi?"

"Sejak SMP aku memiliki hubungan dengan Dean. Ketika UN dulu, kami break sementara. Setelah itu, kami mendaftar di SMA yang sama. Kupikir setelah itu kami akan kembali. Tapi ternyata tidak dan Dean tidak pernah mengatakan apapun. Kau tahu itu?"

Eliza menggeleng. Dia tidak menduga kalau Dean se-brengsek ini. Dia meninggalkan seorang gadis tanpa mengatakan apapun. "Gue nggak tahu banyak tentang Dean."

"Makanya aku kasih tahu, El. Aku ingin mengatakan satu hal lagi." Alta menundukkan pandangannya. "Dia pergi dariku karena kamu."

"Apa?" Eliza sedikit tekejut.

"Dahulu, kami berjanji untuk saling kembali. Tapi, dia bertemu kamu. Lalu melupakanku karena itu."

Eliza terdiam sejenak. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Dean dan Alta. Tapi, di sini Eliza merasa tersinggung. Dia merasa bahwa Alta menyalahkan Eliza atas hubungannya dengan Dean.

Eliza mendekatkan wajahnya pada Alta. "Itu... bukan salah gue!"

"Tentu saja salahmu! Kau tahu, tanpamu, kini aku dan Dean bisa bersama lagi seperti dulu."

Eliza terkekeh. "Mungkin itu dulu. Tapi, sekarang Dean nggak akan pacaran-pacaran nggak jelas lagi. Kau tahu, dia adalah seorang Kapten Basket sekaligus murid terbaik tahun lalu."

"Oh, jadi kau menghinaku, Eliza?" Nada bicara Alta tidak seperti biasanya---dia terlihat lebih berani dari pada biasanya.

"Tapi lo menghina gue. Ya terserah aja gue mau ngomong apa. By the way, sebenarnya gue nggak mau ribut. Tapi, gue nggak mau disalahkan atas sesuatu yang bukan salah gue." Dengan santainya, Eliza menyeruput jus-nya.

"Jangan karena kamu sedikit hebat, kamu jadi sok superior!" Alta menaikkan nada bicaranya.

Eliza terdiam. Sungguh, dia tidak ingin banyak ribut di tempat umum seperti ini.

"Katakan sesuatu, Nona Superior?" Alta semakin menjadi-jadi.

"Jadi, lo itu manipulatif ya? Mereka bilang lo adalah kutu buku yang cerdas, pendiam dan tidak banyak tingkah. Tapi di sini... lihatlah dirimu. Menyalahkan orang lain atas kesalahan lo sendiri? Memalukan." Eliza sedikit mengejek. Dia sudah mulai jengkel.

Dengan emosi, Alta-pun menarik dasi Eliza. Hal tersebut membuat tubuh Eliza menyentuh gelas jusnya. Jus itu-pun tumpah membasahi baju Eliza. Orang-orang di sana mulai memperhatikan Eliza dan Alta.

"Dasar jalang!" seru Alta. "PHO."

"Siapa?" Eliza masih mencoba santai meskipun sedikit mengejek sikap Alta.

Alta-pun menampar pipi Eliza. Namun, entah kenapa Eliza malah tersenyum setelah mendapat tamparan keras dari tangan dingin Alta.

Eliza memutar kedua bola matanya. "Satu fakta tentang gue, Al. Gue punya malaikat pelindung yang nggak segan-segan membunuh siapa aja yang nyari masalah sama gue. Jadi, gue harap lo nggak coba-coba deh."

"Stress!" Mata Alta memerah. "Andai--andai saja aku punya kekuatan untuk melenyapkanmu. Akan kulenyapkan gadis jalang sepertimu di sini."

Alta masih kuat-kuat mencengkeram dasi Eliza. Eliza-pun juga tidak tertarik untuk melepaskan cengkeraman itu meskipun kini semua mata yang ada di tempat itu tertuju pada mereka berdua.

Tiba-tiba, Eliza merasakan sesuatu yang aneh di sekitarnya. Dia-pun diam sejenak dan tidak mempedulikan ocehan Alta. Di sana dia mendengar sesuatu yang cukup mengganggu telinganya. Eliza-pun menoleh ke arah gedung tinggi di seberang jalan.

Tanpa dia duga, sebuah peluru melesat dengan begitu kencangnya. Eliza yang mendengarnya-pun melepas cengkeraman Alta dan mundur dengan sekencang-kencangnya sampai dia terjerembap karena kursi yang ada di belakangnya.

Peluru itu mendarat tepat di leher Alta. Darah segar langsung menyiprat ke mana-mana. Bahkan, ke wajah dan baju Eliza.

Eliza masih mencoba mencerna apa yang terjadi. Kejadian itu sangat cepat sehingga dia perlu waktu untuk mencernanya.

Orang-orang di tempat itu sudah riuh dan berteriak-teriak. Ada juga yang langsung menelephone polisi, ada juga orang tidak tahu diri yang mempotret kejadian tersebut.

Eliza berdiri perlahan. Dia menatap Alta yang sudah tidak bernyawa. Lehernya tertembus peluru sampai darah-darah segar mengalir deras dari lehernya---lalu menggenang di lantai. Eliza masih mencoba tenang, dia tidak terlalu gemetar. Sepertinya, dia sudah mengalahkan rasa takutnya pada darah dan kematian.

Padahal, kondisi Alta lebih mengenaskan dari pada Anastasya. Jika darah Anastasya sudah mengering, kini darah Alta masih terus mengucur. Darah itu membasahi baju seragamnya. Wajahnya-pun juga ikut terkena darah.

Indra pengelihatan Eliza beralih pada gedung yang ada di seberang jalan. Sebuah gedung tua yang terlihat tidak terurus. Di samping gedung itu adalah sebuah distro yang cukup besar dan ramai. Meski begitu, Eliza cukup yakin bahwa suara tembakan tadi berasal dari gedung itu.

Gedung itu terletak tidak terlalu jauh. Tepat di seberang jalan dan berbelok ke kiri sekitar dua puluh lima meter. Meski begitu, terlihat mustahil jika ada orang yang menembak dari sana. Tapi, boleh jadi dia menembak dari lantai atas.

Eliza berlari ke sana. Dia tidak peduli dengan orang-orang yang mencoba menahannya untuk tetap duduk dan menenangkan diri.

Eliza menyeberang jalan dengan mudah sebab kendaraan-kendaraan sudah berhenti karena ingin melihat peristiwa penembakan tadi. Tidak butuh waktu lama bagi Eliza untuk sampai di gedung tua itu.

Dengan bermodalkan nekat, dia menerobos pagar lapuk yang sudah bolong itu. Ilalang panjang cukup menjerat kakinya, namun dia tetap berlari. Bangunan itu tidak terlalu menyeramkan meskipun ada bau amis yang cukup kuat.

Eliza masuk ke dalamnya. Masih ada beberapa perabotan yang telah rusak dan berlumut. Bisa dipastikan bahwa tempat itu dulunya adalah sebuah rumah. Rumah dengan banyak sekali kamar. Terbukti ada banyak pintu yang menghiasi setiap dinding. Eliza segera melangkahkan kaki ke lantai atas. Tangganya masih belum terlalu lapuk---jadi dia tidak takut jika tiba-tiba tangga itu roboh.

Kini kakinya telah sampai di lantai atas. Dia berjalan perlahan mendekati jendela besar yang mengarah ke jalan raya.

Ternyata benar, dari sana sangat mudah melihat posisi restoran terbuka itu. Bahkan, Alta yang terbaring di bersimbah darah-pun bisa terlihat dari sana. Boleh jadi, si pembunuh benar-benar menembak dari sini.

Eliza terdiam sejenak sambil mengamati orang-orang yang tengah bergerombol di seberang jalan sana. Di sana, dia memperkira-kira kronologi penembakan itu.

Jika peluru itu bisa ditembakkan dengan sangat tepat dan tidak meleset sama sekali, bisa dipastikan kalau si penembak ini sudah cukup handal dan terbiasa melakukan tembak-tembakan. Lalu, dia memilih tempat ini karena tempat ini benar-benar tepat untuk menyentuh target. Tempat ini juga tempat yang paling sepi di sekitar plaza.

Penembakan terjadi baru beberapa menit. Artinya, si pelaku masih ada di sekitar sini. Bahkan mungkin masih ada di gedung tua ini. Dia adalah orang yang cerdas, tidak mungkin dia tiba-tiba pergi saat kondisi di luar masih sangat ramai.

"Permisi, ada seseorang di sini? Siapapun kau, kumohon tunjukkan dirimu!" seru Eliza.

Namun, tetap saja tidak ada siapapun yang menjawab pertanyaan itu. Eliza-pun segera pergi ke lantai bawah. Dia kembali melewati tangga. Setelah sampai di anak tangga paling bawah, Eliza melihat ada lorong yang cukup luas menuju ke belakang.

Entah apa yang memasuki pikiran Eliza, dia-pun berjalan mengikuti lorong tersebut.

Satu hal lagi yang membuat Eliza yakin kalau si pelaku masih ada di sekitar sana : yakni bau parfum melati yang masih bisa terasa---menggantikan bau amis yang tadi tercium.

Sepanjang perjalanan, dia menemukan banyak sekali pintu. Eliza mencoba membuka salah satu pintu. Ternyata di balik pintu tersebut ada sebuah kamar. Jika bangunan itu memiliki banyak kamar, artinya dahulu bangunan ini merupakan sebuah kos-kosan ataupun semacamnya. Tapi, itu bukanlah hal yang penting untuk di cari tahu.

Kini dia sudah sampai di bagian belakang bangunan itu. Ada sebuah jendela besar yang menghadap ke bagian belakang. Tempat tersebut dipenuhi ilalang dan benalu.

Dia melangkahkan kakinya menuju jendela besar di hadapannya. Dari sana, dia bisa melihat luasnya bagian belakang bangunan tersebut. Meski begitu, masih terasa hawa menyeramkan di sekitar sana.

Pandangan Eliza tertuju pada sebuah kertas kecil yang digantung pada sebuah benang. Benang tersebut diikatkan di atas jendela---tepat berada di hadapan Eliza. Kertas itu bergoyang ke sana-kemari perlahan-lahan ditiup angin.

Dengan hati-hati, Eliza mengambil kertas tersebut. Sekali lagi, aroma melati tercium dari sana. Dia benar-benar bisa merasakannya.

Dia membuka perlahan kertas itu. Hanya ada empat larik kata yang ditulis di sana.

"I Love You, Harada"

Tinta yang digunakan berwarna merah. Tulisan itu-pun dibuat dengan sangat rapi. Tegak bersambung seperti tulisan Igrid, namun lebih mudah dibaca.

Kalimat sederhana itu dapat membuat Eliza terpaku. Dia masih berlumuran darah, namun dia merasa tenang. Entah kenapa... tubuhnya benar-benar merasa berbeda.

"Sebenarnya, kamu ini siapa?"
















Hai kembali lagi dengan ke-absurd-an ini.

By the way, kalau kalian lupa siapa itu Alta, coba deh inget-inget cewek yang ngehadang Eliza pas Eliza ngajak Dean ke daerah gunung.

Dan sebenarnya aku merasa down menulis ini, jadi mohon maaf jika ada beberapa yang tidak nyambung dan semacamnya. Akan kuperbaiki nanti setelah selesai.

See u....

-anna-

Okumaya devam et

Bunları da Beğeneceksin

1.2K 384 20
Dia seorang siswi biasa yang menyukai kakak seniornya yang cuek tapi karismatik, dan populer di sekolahnya, mampukah dia menyampaikan sukanya kepada...
12.9K 1.6K 15
Dikutuk menjadi boneka barbie karena harus menanggung kesalahan orang tua mereka yang kejam dan sombong. Sallete dibuang dari Vespera ke dunia manusi...
80K 10.9K 42
argy bargy after story. 25 Nov, 2021.
137K 6.3K 37
Sebulan menjelang pernikahan Irene dan Eliot, Wira mendatangi Irene untuk menyatakan cinta yang kesekian kalinya. Dan lagi-lagi ditolak. Merasa putus...