Dark Angel [END]

By anna_minerva

138K 27.4K 1.7K

"Kadang kala, kau akan menemukan manisnya cinta dalam setiap tarikan napas seorang pendosa" -Dark Angel- *** ... More

BAB 1 - Anastasya
BAB 2 - Korban Pertama
BAB 3 - Detektif Kembar
BAB 4 - Vicky
BAB 5 - Petunjuk Pertama
BAB 6 - Bunuh Diri?
BAB 7 - Selingkuhan
BAB 8 - Bullying
BAB 9 - Kecelakaan yang Disengaja
BAB 10 - Taksi Biru dan Sebuah Obat
BAB 11 - Surat Dari Igrid
BAB 12 - Siapa Mirai?
BAB 13 - Pencarian
BAB 14 - Kisah Si Genius
BAB 15 - Petunjuk Baru
BAB 16 - Daerah Gunung
BAB 17 - Rahasia Rumah Tua
BAB 18 - Buku Diary Tersobek
BAB 19 - Siapa Dia?
BAB 20 - Album Lama
BAB 21 - Mengumpulkan Kejanggalan
BAB 22 - Sampai Jumpa, Gadisku
BAB 23 - Bertanya Pada Ferida
BAB 24 - 1994
BAB 25 - Aku Yang Sesungguhnya
BAB 26 - Menerima Takdir
BAB 27 - Petunjuk Dari Dokter Yelena
BAB 29 - Ancaman
BAB 30 - Penembakan
BAB 31 - SDN Janggala
BAB 32 - Cinta Pertama
BAB 33 - Bukti
BAB 34 - Secarik Kertas
BAB 35 - Penyusup
BAB 36 - Keyakinan
BAB 37 - Kekalahan?
BAB 38 - Julia Kecil
BAB 39 - Si Bedigasan
BAB 40 - Siapa Vanya?
BAB 41 - Seseorang yang Terlupakan
BAB 42 - Perpustakaan
BAB 43 - Penembakan (Lagi)
BAB 44 - Pria Bertopeng
BAB 45 - Kecurigaan Tersembunyi
BAB 46 - Perkelahian
BAB 47 - Bayangan
BAB 48 - Setitik Asumsi
BAB 49 - Terlambat
BAB 50 - Iris
BAB 51 - Tidak Ada Kata Terlambat
BAB 52 - Kembali
BAB 53 - Kenyataan
BAB 54 - Masa Lalu Itu
BAB 55 - Deklarasi
BAB 56 - Ambigu
BAB 57 - Ruang Bawah Tanah
BAB 58 - Cerita dan Segalanya
BAB 59 - Mirai dan Segalanya
BAB 60 - Pengungkapan
BAB 61 - Pertarungan dan Jawaban
BAB 62 - Permintaan
BAB 63 - Pertaruhan Terakhir
BAB 64 - Sampai Jumpa
BAB 65 - Usai
BAB 66 - Sesuatu yang Berharga
Epilog
Hallo, Kak !
-Sekadar Menyapa (dan curhat)-

BAB 28 - Menggeledah

1.5K 368 36
By anna_minerva

Sebelum baca jangan lupa vote yah 🌟

***

Dean, Eliza dan si kembar langsung menuju alamat yang diberi oleh Dokter Yelena tadi. Tempatnya sangat tidak terduga---tepat di daerah kumuh dekat pasar mati. Tempat yang dituju oleh anjing Dean beberapa waktu lalu ketika mereka mencari mobil Pak Andi.

Dean juga sudah meminta bantuan Ren---adik Vicky untuk menuntunnya masuk ke dalam tempat itu. Sebab tidak mungkin mereka masuk ke sana sendiri. Tempat itu terlalu berbahaya. Ada beberapa preman yang menunggu di depan, tugas mereka adalah untuk menghadang orang asing yang hendak masuk. Setidaknya jika ada Ren, semuanya akan lebih mudah sebab dia sudah lumayan kenal dengan penghuni di sana. Dia juga sudah bilang kalau dia mau membantu.

Setelah beberapa menit, mereka sampai tepat di depan pasar mati. Di sana sudah ada Ren yang menunggu bersama dua rekannya. Sudah bisa ditebak, mereka bertiga juga membolos sekolah.

Dean, Eliza dan si kembar keluar dari mobil. Dengan tergesa-gesa, mereka melangkahkan kaki mendekati Ren dan dua rekannya itu.

"Kita nggak punya banyak waktu. Sama sekali nggak punya. Cepet!" seru Dean.

Ren mengangguk. "Kita ke rumah Bang Yudya dulu aja. Siapa tahu dia bisa bantu."

"Terserah. Yang penting kita bisa ketemu sama orang yang kita cari."

Tanpa basa-basi lagi, mereka semua masuk ke dalam pasar. Kembali menyelusuri daerah yang lebih mirip dengan tempat sampah itu. Bau-bau busuk mulai tercium dan ada anjing-anjing liar terlihat sedang menggeledah tong sampah.

"Hi jijik." gumam Andri. "Orang mana sih, Kak, yang mau tinggal di tempat kayak gini?"

"Hey bule! Jangan menghina!" seru Ren. "Lo tahu, nggak ada orang mau tinggal di sini. Tapi mereka nggak punya pilihan lain. Mereka nggak seberuntung kalian. Ingat itu!"

Andri menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. Dia berfikir apa yang dikatakan Ren benar. Tidak ada satupun orang yang mau tinggal di tempat sampah. Tapi, mereka tidak memiliki pilihan lain. Beberapa dari mereka memiliki kehidupan yang kelam yang tidak akan pernah Andri mengerti.

Setelah itu, mereka sampai di sebuah tugu kayu yang terlihat sudah rapuh. Tanpa ragu Ren dan kedua rekannya melangkah di depan. Eliza, Dean dan si kembar mengikutinya dari belakang. Tidak ada banyak orang di sana. Bahkan, pintu-pintu bangunan tertutup rapat. Tempat itu sepi. Lebih mirip lokasi angker daripada sarang kriminal.

Langkah Ren berhenti tepat di depan sebuah bangunan sempit yang berada di tengah-tengah area kumuh itu.

"Bang Yudya ada nggak ya?" tanya Ren ke salah satu rekannya.

"Ada. Bang Yudya itu kalau siang kayak gini tidur, kalau malam kerja," jawab rekan Ren.

Andri keheranan. "Malam-malam kerja apa?"

"Kang nyolong."

Andri dan Andre terkekeh. Mereka menanggapi apa yang dikatakan Ren tadi adalah lelucon. Padahal itu kenyataan.

Ren mendorong pintu kayu rumah itu perlahan. Terbuka. Seperti yang sudah dia duga, pintu tersebut tidak dikunci. Lagi pula, siapa yang mau mencuri di rumah seorang pencuri?

"Bang?"

Seorang pria acak-acakan keluar dari dalam sebuah kardus bekas wadah kulkas. Dia mengenakan kaos dalam berwarna putih dan celana hitam compang-camping. Matanya terlihat mengantuk---kurang tidur.

"Oh, Ren. Dan siapa?" tanya pria itu sambil menguap.

"Dean, Eliza dan dua bocah bule yang nggak penting." Ren melangkahkan kaki mendekati Bang Yudya. Dia membuka tasnya dan mengeluarkan kotak makan berwarna hijau. "Ini punya gue. Makan aja. Kayaknya Abang belum makan."

Bang Yudya menerima makanan itu. "Kenapa ke sini? Ada perlu apa? Tadi nggak dihadang sama preman-preman nyebelin di pintu masuk. Kan?"

"Mereka nggak ada."

Kini pandangan Yudya beralih ke Dean. Dia memperhatikan Dean dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Lo adiknya Kenny?"

Dean keheranan? Bagaimana orang acak-acakan di hadapannya ini bisa mengenal Kenny. "Ya. Kenny kakak gue. Kok Abang tahu? Dan kenapa Abang bisa kenal Kenny?"

"Jelas muka lo mirip Kenny, meskipun nggak mirip-mirip banget sih. Lagi pula, semua orang di sini kenal sama yang namanya Kenny van Lier."

Dean melongo. Dia heran bukan main. Untuk apa Kenny pergi ke tempat seperti ini? Ekspresi si kembar juga tidak kalah dari Dean. Mereka sulit percaya jika Kenny suka pergi ke tempat semacam ini.

"Udah. Nggak usah bahas masalah lain lagi." Ren menghela nafas panjang. "Bang, di sini kita nggak mau basa-basi. Kita perlu tahu informasi tentang wanita bernama Igrid. Dia tinggal di sini 'kan?"

"Eh, ngapain lo lo pada nyari dia? Nggak guna sumpah!" Bang Yudya terkekeh keras. Dia kemudian duduk di sofa lapuk di samping kardus tempatnya tidur tadi.

"Bang, ini serius!" seru Ren.

"Ah, kenapa? Kayak penting aja. Asal kalian tahu, Igrid itu nggak waras. Dia aneh, suka bicara-bicara sendiri dan kayaknya dia nggak bisa bedain mana kenyataan mana halu belaka." Bang Yudya terdiam sejenak. Matanya melirik ke arah luar. "Rumah Igrid di pojokan paling kiri. Lo, lo pada tinggal lurus. Nggak usah belok-belok nanti juga ketemu."

"Bang, kita nggak tahu Igrid itu siapa dan bagaimana. Jadi, bisa nggak kita minta bantuan Abang buat nemuin Igrid? Siapa tahu bisa. Kan abang tetangganya." Eliza memohon.

Bang Yudya yang tadinya malas berubah sumringah ketika seorang gadis cantik-lah yang meminta bantuan. "O-oke."

Bang Yudya bangkit dari posisi duduknya. Dia melangkah keluar dari bangunan reyot itu. Ren dan kedua rekannya mengikuti Bang Yudya dari belakang. Eliza, Dean dan si kembar masih mematung di rumah reyot milik Bang Yudya. Ah, sebenarnya tidak layak di sebut rumah. Ukuran tempat itu sangat kecil dan tidak memiliki ruang belakang sama sekali.

"Udahlah ayo!" seru Dean.

Mereka berempat mengikuti Bang Yudya, Ren dan yang lainnya. Di sepanjang perjalanan, mereka tidak melihat keanehan apapun. Hanya ada beberapa pria berpakaian seperti preman yang tengah menatap mereka dengan tatapan yang tidak menyenangkan. Beberapa gadis dengan lipstik merah merona setebal satu senti mengedip-ngedipkan matanya dari balik jendela. Rumah-rumah di sana teramat tertutup.

"Kalian beruntung, sudah punya kesempatan untuk ke sini." Ren berjalan sambil berbisik perlahan.

"Mengapa?" tanya Andri.

"Mungkin, besok-besok tempat ini akan digusur. Yah, sampai sekarang belum ada pihak berwenang yang tahu kalau ada tempat seperti ini di kota. Mungkin karena posisinya sangat tidak terduga," jelas Ren.

"Lalu, bagaimana dengan nasib orang yang tinggal di sini?" tanya Andri.

Ren mengangkat bahunya. Dia juga tidak tahu.

Tanpa mereka sadari, mereka sudah sampai di pojokan tempat itu. Di sana ada sebuah tembok tinggi yang memisahkan lingkungan kumuh itu dengan lingkungan lainnya. Di pojokan sebelah kiri, ada sebuah bangunan kecil yang terbuat dari kayu. Sebuah kincir angin kecil di letakkan di depan pintu bangunan mungil itu.

"Ini rumah Igrid. Kalau ditutup kayak gini, biasanya dia nggak ada." Bang Yudya memperhatikan rumah kecil itu.

"Bang, apa Abang tahu latar belakang Igrid atau apalah semacamnya?" Dean bertanya.

"Nggak tahu banyak sih. Dia tinggal di sini sejak setahun lalu sama anak kecil cewek---nggak tahu siapanya. Dia nggak kerja apa-apa tapi tetep bisa makan setiap hari dan beli barang-barang bagus. Duh jadi iri gue."

Ren mendekati pintu masuk perlahan. Secara refleks, tangannya menyentuh gagang pintu itu. Tanpa dia duga, pintu tersebut terbuka---tidak terkunci. "Wow."

"Masuk aja kalau mau," kata Bang Yudya.

"Nggak. Nggak sopan!" seru Eliza.

"Hey, ciwi Jepang, di sini nggak ada yang namanya kesopanan. Lakukan apa aja yang lo mau, nggak akan ada yang lapor polisi kok."

Bang Yudya benar. Ini adalah kesempatan yang tidak boleh disia-siakan. Mungkin besok-besok dia tidak memiliki kesempatan untuk sampai ke sini lagi. Persetan dengan sopan santun. Rasa penasaran Eliza mengalahkan itu semua.

Mereka semua melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah kecil itu. Sementara Bang Yudya menunggu di luar untuk berjaga-jaga jika Igrid tiba-tiba datang.

Di ruang depan, ada empat buah kursi kayu berwarna coklat berjejer. Di sampingnya ada sebuah meja kecil lengkap dengan laci. Dengan penasaran, Dean membuka laci tersebut. Di sana dia menemukan sebuah album foto dan beberapa benda lainnya. Dia membuka albun foto tersebut. Terlihat foto-foto di sana sudah luntur dan mulai memudar. Bahkan ada beberapa wajah yang tidak bisa dikenali.

Di halaman pertama ada foto wanita muda yang tidak lain adalah Igrid. Ciri-cirinya sama seperti yang dikatakan oleh Ferida kemarin. Dia duduk di sebuah kursi mewah berwarna merah dan emas. Di foto itu, Igrid mengenakan sebuah gaun berwarna merah dengan kalung mutiara.

"Dia adalah wanita kaya, tapi bagaimana bisa kini tinggal di tempat semacam ini?" batin Dean.

Di halaman-halaman berikutnya ada beberapa foto yang sudah rusak. Wajah orang-orang dalam foto tersebut sudah tidak bisa dilihat sama sekali. Tapi di sana ada gambaran beberapa anak laki-laki kecil yang semakin ke belakang semakin dewasa. Siapa mereka? Apakah salah satunya adalah anak Ferida yang diadopsi oleh Igrid?

Sampailah Dean pada halaman paling belakang. Di sana ada sebuah foto yang masih lumayan bagus. Di sana ada beberapa wajah anak laki-laki. Mungkin empat wajah.

Dean memperhatikan baik-baik wajah-wajah itu. Yang paling kiri sudah jelas bahwa itu foto Pak Franz. Dan di samping Pak Franz juga sangat tidak asing bagi Dean.

Tubuh Dean seketika membeku. Dia menelan ludah dan memasang ekspresi terkejutnya. Tangannya gemetar. Tapi dia berusaha tetap berfikiran positif.

"Kak Dean!" Andri dan Andre menyadarkan Dean dari lamunannya. "Kakak Kenapa?"

"Ke-kenapa dia ada di sini... dia..." Dean meremas sampul album itu kuat-kuat. "Kenny."

"Apa?!" Andri dan Andre juga ikut kaget.

"Anak laki-laki di samping Pak Franz ini adalah Kenny. Kenny van Lier. Kakak gue Kenapa dia di sini? Kenapa Igrid menyimpan fotonya?"

"Eh... Entah. Cuma kebetulan mungkin. Mungkin Kak Ken adalah kawan lama mereka." Andri mencoba tenang.

"Kau benar. Tapi tetap saja... Lupakan saja. Dengan begini jelas bahwa Kenny mengenal Igrid. Dia harus ditanyai."

Andri dan Andre ikut memperhatikan foto tersebut. Dari samping kiri pertama adalah Pak Franz, itu sudah jelas karena dia memiliki kemiripan 95% dengan Pak Franz. Postur tubuhnya juga. Di sisi samping Pak Franz adalah orang yang Dean yakini sebagai Kenny. Dia masih ingat bagaimana penampilan Kenny semasa remaja. Kenny juga seusia Pak Franz dan seangkatan dengan Pak Franz meskipun mereka tidak satu SMA. Seingat Dean, Kenny bersekolah di SMA Negri Janggala, bukan di State Lighting. Lalu, bagaimana Kenny bisa mengenal mereka semua?

Lalu di samping Kenny pasti Hisao dan satu pemuda misterius yang belum diketahui namanya. Entah kenapa mereka seakan tidak tertarik mencari tahu siapa pemuda itu.

Beberapa meter dari posisi Dean dan si kembar, Eliza dan Ren sedang memasuki sebuah ruangan kecil. Mungkin kamar. Di sana ada sebuah ranjang dan almari.

"El, emangnya ngapain sih ke sini?" tanya Ren.

"Lo diem aja. Dan... jangan bilang ke Iki," jawab Eliza.

Ren hanya mengangguk. Lagi pula, siapa yang akan bilang ke Vicky? Dia sendiri tidak akrab dengan kakaknya itu.

Tanpa ragu, Eliza membuka almari di samping ranjang tempat tidur. Di sana ada pakaian wanita dewasa dan juga pakaian anak kecil perempuan. Mungkin, anak itu adalah anak yang diceritakan Bang Yudya tadi. Dia tinggal bersama Igrid.

Di atas deretan paling atas ada sebuah kotak lumayan besar yang mencuri pandangan Eliza. Dia mengambil kotak itu dan menurunkannya ke bawah. Kotak itu tidak terbuat dari kayu melainkan kardus. Jadi kotak itu bisa dibuka dengan mudah.

Eliza membuka kardus itu perlahan. Dia menemukan banyak sekali mainan anak laki-laki. Seperti robot, mobil mainan dan sebagainya. Di sana juga ada setumpuk buku cerita anak-anak. Eliza mengeluarkan setumpuk buku itu terlebih dahulu. Dia memeriksa satu persatu buku itu---siapa tahu ada sesuatu yang disembunyikan dibalik kertas-kertas.

Sayangnya tidak ada apapun di sana. Padahal tadi Dokter Yelena bilang kalau Igrid menulis cerita pembunuhan. Tapi di mana cerita yang dia tulis? Atau seseorang telah mengambil ceritanya dan benar-benar mengangkatnya menjadi kisah nyata?

Eliza meletakkan buku-buku itu. Dia kembali mencari-cari benda yang menurutnya bisa menjadi petunjuk selanjutnya. Kedua tangannya mengobrak-abrik isi kardus. Tanpa sengaja, dia menyentuh sebuah benda seperti kalung. Dia menarik benda tersebut ke atas. Ternyata benar, itu adalah sebuah kalung.

Kalung yang teramat sangat tidak asing baginya. Kalung itu sangat mirip dengan kalung yang dia pakai. Kalung perak dengan ujung silinder. Eliza mengeluarkan kalungnya dari balik baju. Dia menyamakan keduanya. Semuanya sama. Tidak ada perbedaan sama sekali di antara kedua kalung itu. Dari bentuk, warna dan juga bandul. Kalung itu seperti kloningan.

Kalung milik Eliza adalah pemberian kakak tertuanya, Hisao. Hisao bilang kalau kalung itu dia pesan saat masih remaja. Dipesan. Rasanya sedikit aneh jika ada yang menyamai. Apalagi kalung yang satu lagi ada di Igrid. Semuanya semakin mencurigakan. Satu-satunya cara untuk memecahkan misteri kalung ini adalah dengan bertanya pada Catherin. Mungkin dia tahu sesuatu.

Duak

Terdengar suara sesuatu terbanting dari ruang depan. Dengan tergesa-gesa, Eliza dan Ren langsung berlari ke sana. Mereka khawatir jika terjadi sesuatu pada yang lainnya.

Langkah Eliza terhenti di ambang pintu perbatasan ruang tengah dan ruang depan. Kedua matanya terpaku pada seorang wanita acak-acakan yang mengenakan baju merah panjang. Wanita itu berdiri di ambang pintu masuk dengan tangan yang memegang gagang pintu. Dia menatap Dean, si kembar dan yang lainnya dengan tatapan penuh amarah.

Tunggu sebentar. Eliza pernah melihat wanita itu. Dia adalah wanita yang tidak sengaja bertabrakan dengan Eliza di kafe sunflower beberapa waktu lalu ketika dia dan Dean akan mencari taksi milik Pak Andri.

"Ternyata rumahku diincar maling ya?" Wanita itu terkekeh. "Siapa kalian?" Nada bicara wanita itu melengking dan sebenarnya sedikit menyeramkan.

"Bang Yudya mana sih? Tadi katanya mau jaga di luar?" bisik Ren yang berada di belakang Eliza.

Pandangan wanita itu terfokus ke Dean yang masih memegang album foto dan si kembar berada di belakangnya.

"Wah, wah. Lagi-lagi seorang van Lier mengunjungiku." Wanita itu kembali terkekeh.

"A-anda Igrid?" tanya Dean perlahan.

"Menurutmu bagaimana?" Wanita itu---Igrid melangkahkan kaki menuju Dean.

"Bagaimana bisa kau tahu aku van Lier. Dan--" Dean berhenti sejenak. "Apa Anda mengenal Kenny?" Pertanyaan itu terlontar dari bibir Dean. Entah kenapa dia sangat penasaran tentang hubungan Kenny dan ketiga sekawan itu sekaligus hubungan Kenny dengan Igrid.

"Kenal. Kau tahu tidak? Dia sudah seperti anakku sendiri."

Dean membelakkan kedua matanya. Eliza juga ikut kaget mendengar pernyataan Igrid.

Igrid menatap Dean dengan tatapan aneh. Senyumnya lebar dengan pandangan sayu. Hal tersebut membuat Dean merasa tidak nyaman. Dia mengalihkan pandangannya ke arah Eliza.

Eliza mengisyaratkan pada Dean supaya dia tetap berbicara pada Igrid. Itu benar. Ini adalah kesempatan terbesar dalam khasus ini. Dia harus bertanya banyak hal pada wanita kurang waras ini.

"Igrid." Dean menghela nafas dalam-dalam. "A-apa khasus pembunuhan ini. Maksudku, apa kau tahu sesuatu tentang khasus pembunuhan yang terjadi saat ini?"

Igrid terkikik. "Yaaaa, Ya. 'Kan aku yang menulis skenarionya. Bagaimana aku tak tahu?"

"Jadi kau tahu pelakunya?" tanya Dean.

"Jawaban bohong atau jawaban jujur?"

"Tentu saja jawaban jujur!"

Igrid terdiam sejenak. Di belakang sana, Eliza masih belum bergerak dan sepertinya Igrid belum tahu jika ada Eliza di sana. Ren dan kedua rekannya hanya kebingungan---tidak tahu apa yang terjadi pada orang-orang itu. Sedangkan Andri dan Andre hanya terdiam mematung di belakang Dean. Lalu Bang Yudya, entahlah dia pergi ke mana.

"Jangan kaget ya dan juga jangan syok." Sekali lagi Igrid terkekeh.

Wanita itu semakin melangkah mendekati Dean. Dia membisikkan sesuatu di telinga Dean. "Dia adalah bagian dari dirimu. Siapakah dia? Tebaklah sendiri."

Dean tidak mengerti sama sekali apa yang dikatakan oleh Igrid. Tapi, entah kenapa dia bergidik ngeri ketika mendengar kalimat yang terlontar dari bibir Igrid.

"Baiklah. Sekarang jawaban bohong."

Igrid menggeleng. "Tidak bisa. Aku hanya akan bicara satu kali saja."

"Igrid!" Dean mencengkeram baju Igrid dengan penuh emosi.

Wanita itu tertawa-tawa tanpa henti. Setelah beberapa detik, suara tawa itu berubah menjadi tangisan. Suara tangisan yang amat mengganggu telinga.

"Hentikan!" Eliza yang sudah merasa geram mulai berbicara. Dia melangkah menuju Igrid yang membelakkan mata ketika melihat Eliza. "Aku mohon, katakan Nyonya Igrid Travkin. Katakan apa yang sebenarnya terjadi."

"Mi-Mirai?" Igrid mulai menjatuhkan bulir-bulir air matanya. "Kau--"

"Bukan. Saya adiknya. Jadi, saya mohon dengan sangat, katakanlah apa yang terjadi. Jujurlah Igrid. Kami janji nggak akan marah."

Igrid melepaskan cengkraman Dean. Wanita itu berjalan berlahan ke arah Eliza. Wanita itu masih menangis, hanya saja dia melakukannya dengan tersenyum lebar. Genggamannya menyentuh tubuh Eliza. Perlahan, dia mendekapkan tubuh gadis setengah Jepang itu ke pelukannya.

Eliza hanya terdiam. Dia tidak melawan atau melepas pelukan itu. Sebab dia merasakan tubuh Igrid yang dingin. Dia tidak tahu apa saja yang terjadi pada wanita yang memeluknya itu. Dia sama sekali tidak tahu. Mungkin, selama ini Igrid sudah bergerilya dengan luka. Luka yang merenggut separuh kewarasannya dan merubahnya menjadi wanita seperti ini.

Ren dan kedua rekannya hanya terheran-heran. Mereka tidak tahu apa yang sedang terjadi. Tapi pemandangan itu membuat hati mereka sedikit terenyuh.

"Kau sedang mencari malaikatmu 'kan?" bisik Igrid.

"Siapa dia, Nyonya?" tanya Eliza.

"Kau akan menemukannya jika--jika aku sudah mati." Igrid melepas pelukan itu.

"Kumohon." Eliza mulai merintih.

"Tenang saja. Aku akan segera mati, Mirai. Menyusul jiwamu yang kesepian di sana. Dan ya, bisa aku meminta suatu hal? Aku punya seorang anak perempuan yang kutemukan di jalanan. Bisa kau berikan kehidupan yang layak buat dia?" Igrid kembali menangis. "Namanya Julia."

Melihat air mata Igrid. Eliza juga ikut-ikutan menjatuhkan air matanya. Baginya, Igrid tidak gila. Dia sama sekali bukan wanita gila. Eliza bisa melihat ada sebuah tekanan dalam jiwanya.

"Beri aku clue lagi." Eliza berusaha menghapus air matanya.

"Baiklah. Kau tahu, akulah yang memberikan foto berlaminasi pada adiknya Hiro di rumah sakit. Ada tiga orang pemuda---sebenarnya ada empat. Yang satu adalah yang memotret foto itu. Masing-masing dari mereka memiliki sebuah kalung perak dengan bandul silinder. Temukan mereka, Mirai."

"Apa malaikatnya adalah salah satu dari mereka?"

"Aku tak tahu, hanya saja, mereka tahu." Bulir-bulir air mata wanita itu kembali berjatuhan. Kali ini semakin deras. "Aku pergi dulu."

Setelah itu, Igrid melangkahkan kaki dari bangunan kecil itu. Dia seakan tidak peduli lagi dengan orang-orang yang tengah sembarangan menggeledah rumahnya.

"Sampai jumpa." Kalimat itu adalah kalimat terakhir yang mereka dengar sebelum dia benar-benar pergi dari sana.

Dia melangkah pergi. Meninggalkan, Eliza, Dean, Ren dan kedua rekannya yang tengah mematung kebingungan. Yah, mungkin begitulah wanita gila. Tapi, kenapa? Kenapa Igrid bilang kalau dia akan segera mati? Lalu siapa Julia?

Selang beberapa detik, Bang Yudya datang.

"Bang, dari mana sih? Kita ketahuan tahu!" seru Ren.

"Aduh, sorry. Tadi gue balik bentar. Nah, pas gue mau ke sini, malah simpangan sama Igrid di jalan." Bang Yudya juga terlihat panik.

"Ah, kejar aja gimana?" tanya salah satu rekan Ren.

Bang Yudya menggeleng. "Jangan dikejar. Kalau dikejar, dia malah melakukan hal nekat!"

"Gue pikir ini udah cukup. Kita punya clue lagi." Eliza menghapus sisa-sisa air matanya.











Continue Reading

You'll Also Like

1.2K 384 20
Dia seorang siswi biasa yang menyukai kakak seniornya yang cuek tapi karismatik, dan populer di sekolahnya, mampukah dia menyampaikan sukanya kepada...
Ace. By hiatus.

Fanfiction

80K 10.9K 42
argy bargy after story. 25 Nov, 2021.
KENZOLIA By Alpanjii

Mystery / Thriller

89K 4.8K 13
Iexglez diketuai oleh Kenzo, anggota inti menyamar menjadi siswa di SMA Rajawali untuk suatu misi. Ditengah misi itu ada Lilia, gadis yang Kenzo suka...
Oktober By Bintang

General Fiction

381 112 26
Silakan Folow Dulu Sebelum membaca!! Sesuatu telah terjadi hingga merenggut kebahagiaan lima tahun yang telah Reya rajut bersama sang kekasih. bermi...