Dark Angel [END]

By anna_minerva

137K 27.4K 1.7K

"Kadang kala, kau akan menemukan manisnya cinta dalam setiap tarikan napas seorang pendosa" -Dark Angel- *** ... More

BAB 1 - Anastasya
BAB 2 - Korban Pertama
BAB 3 - Detektif Kembar
BAB 4 - Vicky
BAB 5 - Petunjuk Pertama
BAB 6 - Bunuh Diri?
BAB 7 - Selingkuhan
BAB 8 - Bullying
BAB 9 - Kecelakaan yang Disengaja
BAB 10 - Taksi Biru dan Sebuah Obat
BAB 11 - Surat Dari Igrid
BAB 12 - Siapa Mirai?
BAB 13 - Pencarian
BAB 14 - Kisah Si Genius
BAB 15 - Petunjuk Baru
BAB 16 - Daerah Gunung
BAB 17 - Rahasia Rumah Tua
BAB 18 - Buku Diary Tersobek
BAB 19 - Siapa Dia?
BAB 20 - Album Lama
BAB 21 - Mengumpulkan Kejanggalan
BAB 22 - Sampai Jumpa, Gadisku
BAB 24 - 1994
BAB 25 - Aku Yang Sesungguhnya
BAB 26 - Menerima Takdir
BAB 27 - Petunjuk Dari Dokter Yelena
BAB 28 - Menggeledah
BAB 29 - Ancaman
BAB 30 - Penembakan
BAB 31 - SDN Janggala
BAB 32 - Cinta Pertama
BAB 33 - Bukti
BAB 34 - Secarik Kertas
BAB 35 - Penyusup
BAB 36 - Keyakinan
BAB 37 - Kekalahan?
BAB 38 - Julia Kecil
BAB 39 - Si Bedigasan
BAB 40 - Siapa Vanya?
BAB 41 - Seseorang yang Terlupakan
BAB 42 - Perpustakaan
BAB 43 - Penembakan (Lagi)
BAB 44 - Pria Bertopeng
BAB 45 - Kecurigaan Tersembunyi
BAB 46 - Perkelahian
BAB 47 - Bayangan
BAB 48 - Setitik Asumsi
BAB 49 - Terlambat
BAB 50 - Iris
BAB 51 - Tidak Ada Kata Terlambat
BAB 52 - Kembali
BAB 53 - Kenyataan
BAB 54 - Masa Lalu Itu
BAB 55 - Deklarasi
BAB 56 - Ambigu
BAB 57 - Ruang Bawah Tanah
BAB 58 - Cerita dan Segalanya
BAB 59 - Mirai dan Segalanya
BAB 60 - Pengungkapan
BAB 61 - Pertarungan dan Jawaban
BAB 62 - Permintaan
BAB 63 - Pertaruhan Terakhir
BAB 64 - Sampai Jumpa
BAB 65 - Usai
BAB 66 - Sesuatu yang Berharga
Epilog
Hallo, Kak !
-Sekadar Menyapa (dan curhat)-

BAB 23 - Bertanya Pada Ferida

1.6K 401 13
By anna_minerva

"Gadis-gadis itu tidak tewas karena terbakar." Seorang pria dengan seragam kepolisian menatap reruntuhan bangunan rumah yang semalam terbakar. "Ada yang membunuh mereka."

"Aku tahu itu." Detektif Fenil berdiri di samping pria muda itu.

Mereka melihat puing-puing rumah Erza. Terbakar habis. Hanya tinggal dinding-dindingnya yang berdiri, namun tetap saja sudah rapuh. Kebakaran terjadi di malam hari. Lokasi itu cukup sepi, jadi tidak ada yang menyadari jika ada kebakaran sehebat itu. Apalagi ruang tengah, semuanya sudah hangus. Tapi, ruang belakang tidak terlalu buruk. Masih ada beberapa benda yang terselamatkan di ruang belakang.

"Mayat mereka tidak wajar. Apalagi gadis yang ditemukan di kamar mandi. Dia tidak terlalu buruk, tapi sepertinya ada yang salah dengan mayatnya. Dia---"

"Jantungnya atau hatinya?" Detektif Fenil memotong kata-kata pria muda itu. Dia seakan sudah tahu apa yang terjadi.

"Entahlah. Antara dua itu, Tuan."

Detektif Fenil berjalan masuk ke dalam. Beberapa anggota kepolisian juga masih ada di sana, mencari beberapa petunjuk yang mungkin tersisa. Karena, dilihat dari sisi manapun, kebakaran itu tampak disengaja. Tidak korsleting listrik, tidak ada gas yang meledak.

"Kau baru bekerja selama dua tahun. Itu waktu yang singkat. Kau tidak tahu bahwa bertahun-tahun lalu hal semacam ini sudah pernah terjadi." Detektif Fenil terus berjalan diikuti oleh petugas muda tadi. "Semua ini terlihat sangat pesis. Bahkan terlampau persis."

"Jadi, pelakunya sama atau--"

"Kemungkinan besar sama." Detektif Fenil menatap kayu-kayu penyangga genting yang telah runtuh. "Dia sangat cerdik, beruntung dan mungkin ada pihak yang melindunginya."

Pria muda di samping detektif Fenil itu menghela nafas panjang. "Apakah di sekitar sini tidak ada CCTV atau semacamnya?"

Detektif Fenil memegangi janggutnya. Dia menoleh ke jalanan. Jalanan besar. Mungkin lebarnya sekitar lima meter. Di sisi jalan sana ada sebuah halaman yang cukup luas. Di belakang halaman tersebut ada sebuah rumah yang cukup besar, lokasinya menjorok ke dalam. Tepat di depan rumah itu ada sebuah pagar kayu yang menjulang tinggi. Di sisi kanan dan kiri pagar kayu tersebut ada tiang lampu berwarna hijau. Kedua tiang tersebut diapit oleh pohon-pohon besar dan beberapa tanaman lainnya. Tampak rumah yang menakutkan, tapi sebenarnya itu adalah rumah yang rindang.

"Aku memasang CCTV di tiang lampu rumahku. Mungkin, orang di rumah depan itu juga," kata detektif Fenil. "Mungkin kita harus bertanya sesuatu kepada pemilik rumah tersebut."

"Tidak hanya satu dua hal, Tuan. Tapi, beberapa hal. Termasuk, kenapa dia tidak sadar kalau ada kebakaran sebesar itu." Pria muda itu mengangkat sebelah alisnya.

Dari kejauhan, Andri dan Andre datang dengan senyum manis yang terlukis di wajah mereka. Mereka masih menggunakan seragam sekolah dipadukan dengan jaket berwarna biru. Mereka juga masih membawa tas sekolah mereka dan setumpuk buku fiksi yang mereka pinjam di perpustakaan sekolah. Wajar saja, mereka tidak memiliki banyak uang untuk membeli buku fiksi sendiri. Hanya ada satu jalan, yakni meminjam.

Mereka memperhatikan bangunan yang sudah rapuh dilahap si jago merah itu. Semua benda yang mereka temui sudah hangus. Lantai-lantai sangat kotor, dinding-dinding putih berubah menjadi hitam kecoklatan, langit-langit sudah roboh ke bawah. Semuanya hancur. Mereka bisa membayangkan bagaimana hebatnya kebakaran itu.

Mata Andri tertuju pada sebuah gelas perunggu yang tergeletak di dekat sofa yang sudah hancur. Gelas itu sudah berubah menjadi hitam. Tapi, dia tahu kalau itu pasti terbuat dari perunggu. Dia pernah melihat gelas seperti itu sebelumnya. Beberapa teman sekelasnya mencoba minuman keras dan meletakkannya ke gelas semacam itu. Mereka langsung bisa menyimpulkan bahwa sebelum tewas, gadis-gadis itu sempat minum. Jadi, mereka sedikit teler. Tidak terlalu menggubris ketika ada keanehan yang memasuki rumah besar itu.

Pembunuhnya hanya satu orang, gadis-gadis itu berjumlah lima. Ada kesempatan bagi mereka untuk memenangkan pertarungan dengan si pembunuh. Meskipun si pembunuh membawa senjata, tapi gadis-gadis itu berjumlah lebih banyak. Harusnya mereka mampu menyergap pembunuh itu. Sayang sekali mereka mabuk. Andai saja tidak, mungkin saat ini tidak ada kematian, tidak ada kebakaran.

Andre menghampiri saudaranya yang tengah berdiri mematung itu. "Hey, kau memikirkan hal yang sama sepertiku?"

Andri mengangguk. "Mabuk."

"Sayang sekali, ya."

Detektif Fenil melihat Andri dan Andre dari kejauhan. Tanpa basa-basi, dia menghampiri kedua putranya itu. "Kebetulan sekali kalian ke sini."

"Ya, Ayah?"

"Kita punya CCTV. Kita bisa tahu apa yang terjadi tadi malam."

~~~

Dean membuka pintu mobilnya. Seragam sekolah telah berganti menjadi sebuah kaos abu-abu dan jeans hitam. Dia dan Eliza memutuskan untuk bertanya sesuatu pada bibi Dean---Ferida Belvery. Eliza tidak pulang ke rumah terlebih dahulu karena dia tahu bahwa ayahnya tidak akan mengizinkannya pergi bersama Dean. Jadi, sepulang sekolah dia langsung mampir ke rumah Dean lalu pergi ke rumah Ferida menggunakan mobil milik Kenny---seperti biasanya.

"Wah, Yan' lo kok kayak jamet?" Eliza terkekeh.

Dean juga ikut terkekeh. "Gini-gini juga banyak yang suka lho." Dia langsung melesatkan mobilnya ke jalanan. "Btw, gue udah lama banget nggak ikut latihan. Pasti, bocah-bocah itu bakal bilang kalau gue cuma ketua yang suka ngatur-ngatur doang."

"Sorry." Eliza menatap jalanan yang lumayan lenggang.

Sial. Dean salah bicara. Dean menjadi sering tidak ikut latihan basket lagi karena mementingkan khasus konyol yang sebenarnya tidak penting bagi hidupnya. Mungkin, Eliza menjadi sedikit tersinggung karena Dean mengatakan hal itu. Tapi, mau bagaimana lagi. Dia juga cukup senang karena bisa berada di dekat Eliza setiap waktu---menjadi salah satu bagian penting di dalam hidupnya.

"Nggak. Dari dulu gue juga cukup sering bolos. Apalagi ketika Andri dan Andre masuk ke klub itu." Dean terkekeh. "Sebenarnya, mereka sama sekali nggak bisa basket. Cuka ikut-ikutan gue doang. Yah, daripada mereka ikut klub tata boga."

Eliza tersenyum tipis. "Gimana bisa, orang kayak lo pernah menjadi murid terbaik di sekolah?"

"Pas kelas satu sih, gue rajin banget. Tapi, lama-lama males juga jadi orang rajin."

Tanpa mereka sadari, mereka sudah memasuki area perdesaan. Ferida Belvery tinggal di perdesaan, namun tidak terlalu jauh dari kota. Sawah membentang luas di sisi kiri dan kanan mobil yang mereka lewati. Rumah-rumah warga berada di dalam gang. Jalanan bergeronjal, berlubang dan berbatu.

Dean menghentikan mobilnya sejenak di pinggir jalan.

"Kok berhenti?" Eliza menaikkan sebelah alisnya.

Dean merogoh saku celananya. Dia mengumpulkan beberapa uang berwarna merah dari dalam saku. Dia juga mengambil dompet Kenny yang diletakkan di dashboard mobil.

"Loh, buat apa?" Eliza kaget.

"Kalau kita mau tanya sesuatu sama Bi Ferida, maka kita harus bayar." Dean terkekeh, menanggapi hal itu sebagai hal yang biasa.

"Hah?"

"Denger, El. Bibi gue itu gila harta banget. Jadi, kalau kita minta bantuan sekecil debu-pun dia bakal minta uang." Dean menghitung uang-uang tersebut. "Untung gue punya banyak."

Eliza semakin menundukkan kepalanya. Dia merasa bahwa semakin lama dia malah semakin merepotkan Dean. Andai saja dia menolak ajakan Dean untuk ikut campur dalam khasus kematian Anastasya tempo hari, mungkin Dean tidak akan serepot ini. Lagi  pula, dia akan mendapatkan petunjuk dari Igrid. Mungkin, dia akan mengatakan pada Dean supaya dia menyudahi urusannya dengan hal itu.

"El?" Dean menepuk bahu Eliza. "Lo kenapa?"

Eliza menelan ludah. "Eh, nggak kok. Gue juga punya uang buat--"

"Nggak usah. Ini udah cukup." Dean tersenyum tipis. Sekali lagi, lesung pipi indah itu terlihat meneduhkan.

Tanpa basa-basi, Dean kembali menghidupkan mobilnya. Dengan perlahan dia membelokkan mobilnya ke sebuah gang kecil. Tidak ada rumah atau bangunan apapun di sana. Hanya ada semak belukar dan pohon-pohon tinggi yang dibatasi oleh pagar kayu khas perdesaan.

Di ujung jalan itu ada sebuah rumah dengan batu bata berwarna merah yang cukup besar. Di depannya ada sebuah pohon beringin besar yang membuat suasana menjadi sedikit menakutkan. Ada sebuah tempat duduk panjang yang terbuat dari kayu berada di bawah pohon beringin itu. Namun, kursi panjang itu terlihat sudah rapuh---tanda tidak ada yang menduduki kursi itu selama beberapa lama.

Suara anjing hitam mulai terdengar. Dia diikat di sebuah kayu di sisi kanan pintu rumah. Anjing itu menakutkan, mulutnya penuh liur dan dia terlihat agresif. Sepertinya suara gonggongan anjing itu membuat si pemilik rumah keluar. Seorang wanita acak-acakan membuka pintu rumah itu perlahan. Penampilannya sangat berantakan. Dia memakai sebuah daster putih compang-camping. Rambutnya panjang terurai nan kusut. Wajahnya sudah memiliki beberapa garis keriput.

"Dia." Dean menelan ludahnya. "Rasanya aneh melihat bibi lagi setelah sekian lama tidak berjumpa. Sepertinya dia masih sama. Hanya saja sekarang sudah tidak memiliki apa-apa."

Wanita itu---Ferida menatap lurus ke arah mobil Dean.

Dean menghela nafas panjang. Tanpa basa-basi, dia membuka pintu mobilnya lalu keluar. Eliza juga melakukan hal yang sama seperti Dean.

Ferida langsung menyipitkan matanya. Meskipun sudah puluhan tahun tidak bertemu, dia sangat tahu kalau pemuda yang keluar dari mobil itu adalah Dean. Pandangan Ferida masih terpaku pada Dean, dia belum memperhatikan Eliza sama sekali.

"Kau! Mau apa kau ke sini?!" seru Ferida.

Dean melangkahkan kakinya menuju bibinya diikuti oleh Eliza. Sungguh, Dean merasa gugup dan tidak enak. Ayahnya selalu menegaskan supaya dia tidak bertemu Ferida. Fakta jika Ferida pernah tinggal di rumah sakit jiwa membuat ayah Dean khawatir jika kakaknya melukai anak-anaknya. Tapi, lebih mengkhawatirkan lagi jika Ferida menghasut atau merubah anak-anaknya menjadi seperti dia. Wanita itu licik, jahat dan juga gila.

"Bibi, aku--" Kata-kata Dean terhenti.

"Pulang!" Ferida melotot tajam.

"Bibi, aku hanya ingin bertanya. Beberapa hal saja. Kumohon." Dean memelas.

"Sudah kubilang pulang ya pul---"

"Bibi." Kini Eliza menyela pembicaraan Dean dan Ferida.

Pandangan Ferida berganti pada Eliza. Seorang gadis dengan rambut sebahu itu mirip dengan anak angkatnya yang sudah meninggal beberapa tahun lalu. Amat mirip. Hal tersebut membuat Ferida melongo---terdiam sesaat. Menamatkan Eliza dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tidak ada bedanya. Gadis setinggi sekitar seratus enam puluh senti dengan berat sekitar empat puluh lima kilogram. Bentuk matanya, bentuk hidungnya, bentuk bibirnya---semuanya sama. Hal tersebut membuat Ferida tertunduk lemas.

"K-kau Mirai. Bu-bukan. Kau bukan dia." Nafas Ferida menjadi berat. "Si-siapa kau?"

"Bi, ini yang ingin kutanyakan. Jadi, boleh ya kami masuk?" Dean memohon.

Ferida mengeha nafas panjang. Menenangkan dirinya sejenak.

"Ya." Ferida membukakan pintu rumahnya.

Dengan senyum yang mengambang di wajahnya, Dean dan Eliza memasuki rumah itu. Mereka melangkahkan kaki di ruang depan. Mungkin ruang tamu. Ruangan tersebut besar. Bahkan teramat besar. Dindingnya masih terbuat dari batu bata dan semen. Lantainya terbuat dari granit berwarna abu-abu yang sudah pecah dan rusak di beberapa bagian. Ada sebuah lampu besar yang menggantung di tengah plafon. Sayangnya lampu tersebut sudah berdebu dan dihiasi sarang laba-laba. Ada dua kursi panjang dan satu kursi besar yang berjejer. Di depan kursi-kursi itu ada sebuah meja perunggu yang sudah antik. Sebuah teko kecil dan beberapa gelas ditempatkan di sebuah nampan yang terletak di meja tersebut. Di bawah meja tersebut dilapisi dengan karpet berwarna merah.

Di batas ruang depan dan ruang tengah ada sebuah lemari besar yang terbuat dari kayu jati. Lemari tersebut diisi dengan benda pajangan. Seperti jam, boneka, gelas dan juga beberapa mainan lainnya. Di sana juga diletakkan sebuah gramofon.

Ferida duduk di sebuah kursi besar. Dean dan Eliza duduk di kursi panjang di samping Ferida. Ferida menuangkan sebuah teh kedalam cangkir. Dean berfikir kalau teh itu akan diberikan padanya. Tapi dia salah. Ferida meminum teh itu sendiri. Tidak menawarkannya pada Dean dan Eliza.

"Siapa dia?" Ferida meletakkan gelas tehnya.

"Namanya Eliza Harada. Dia bukan Mirai," jawab Dean.

Ferida meraih sebatang rokok di bawah meja lalu menyalakannya dengan korek api yang dikantongi di saku dasternya. "Lalu apa yang ingin kau tanyakan?"

"Tentang Mirai." Dean menatap bibinya lebih dalam lagi. "Aku punya beberapa ratus ribu jika bibi mau mengatakan yang sebenarnya tanpa dibuat-buat."

Tanpa basa-basi, Dean mengeluarkan uang-uang yang telah dia kumpulkan tadi dan meletakkannya di meja. Ferida langsung mengangkat sebelah alisnya dan menyeringai. Tangannya secepat kilat meraih uang-uang itu lalu dimasukkan ke dalam saku.

"Dari mana kau tahu soal Mirai? Sepertinya aku tidak pernah menunjukkan wajahnya padamu." Ferida menghisap rokoknya.

"Dia ada hungannya denganku." Eliza yang berbicara.

"Oh. Bukan hal yang penting." Ferida sedikit terbatuk, namun dia tetap menghisap rokoknya. "Aku mengadopsi Mirai. Ah, bukan. Ayahnya yang menyerahkan gadis itu padaku untuk dirawat."

"Kenapa?" Dean dan Eliza bertanya secara serentak.

"Russel tidak menginginkannya. Apalagi?" Sekali lagi Ferida menghisap rokoknya. "Ibunya meninggal. Jadi tidak ada yang mengurusnya. Meski begitu, aku pernah berkelahi dengan Namira, ibu tirinya untuk mendapatkan gadis itu. Namira ingin merawatnya. Tapi Russel tidak."

"Saat itu tengah malam. Hujan turun dengan lebat disertai angin dan petir. Aku masih tinggal bersama suamiku. Malam itu, Russel datang dengan Mirai. Dia bilang kalau dia ingin menitipkan gadis itu padaku. Dengan senang hati aku menerimanya. Kau tahu, memiliki anak perempuan sangat menguntungkan. Dia bisa menjadi apa saja yang kau inginkan."

"Mengapa? Bukankah bibi memiliki anak laki-laki?"

"Yah. Aku memberikannya pada orang lain ketika dia lahir. Saat itu aku tidak memiliki uang untuk membayar biaya rumah sakit karena aku habis keluar dari penjara. Lalu seorang wanita muda kehilangan bayinya. Keguguran. Dia menangis sepanjang waktu. Dia takut jika suaminya tahu lalu suaminya akan menceraikannya. Tanpa pikir panjang, aku memberikan bayiku kepadanya dengan syarat dia membiayai perawatan rumah sakit dan memberiku beberapa uang." Ferida terkekeh.

Dean menatap bibinya dengan amarah. Ibu macam apa dia? Memang keadaannya dia tidak memiliki uang. Tapi, bukankah dia masih bisa berusaha? Mengapa dia menjual anaknya. Gila. Ferida benar-benar gila. Tidak punya hati. Mungkin lebih buruk daripada Russel.

Meski bagaimanapun, anak dari Ferida adalah keponakan Dean. Dean masih memiliki simpati padanya. Lagi pula ayahnya tidak egois. Ayahnya memang membenci Ferida, tapi ayahnya tidak akan membenci anak dari Ferida. Alangkah baiknya jika ibu Dean yang merawat anak itu.  Dean tahu, kakeknya menangis di alam sana karena ulah bibinya ini.

"Siapa nama wanita itu?" Dean bertanya.

"Igrid."

Dean dan Eliza langsung membelak. Igrid adalah wanita yang sedang mereka cari. Kemungkinan besar Igrid yang dimaksud oleh Ferida adalah Igrid yang sama dengan si penulis surat. Apalagi dia juga memiliki hubungan dengan Mirai secara tidak langsung. Intinya, Ferida memiliki anak laki-laki yang diberikan pada Igrid. Lalu bertahun-tahun kemudian Ferida mengasuh Mirai. Hal tersebut membuat Igrid dan Mirai memiliki hubungan secara tidak langsung.

"Sekarang di mana Igrid?" Deru jantung Eliza sudah tidak beraturan.

"Mana kutahu." Ferida mengangkat bahunya.

"Bi, aku mohon bi... Ceritakan semuanya secara detail. Jelaskan siapa Igrid tanpa ada tipuan sama sekali." Dean kembali memohon.

"Uangmu kurang, Yan." Ferida terkekeh. "Kau pikir uang sesedikit itu bisa membeli informasi dariku?"

Eliza menghela nafas panjang. Dia mengeluarkan beberapa uang dari dompetnya. Dia juga melepas anting-anting dan cincin emasnya. Eliza meletakkan benda-benda itu di meja. "Apa ini cukup?"

Ferida menghisap rokoknya. "Baiklah."

Dean menatap Eliza dengan sayu. Benda-benda itu terlihat begitu mahal. Eliza juga mengeluarkan semua isi dompetnya tanpa tersisa satu buah koin recehpun. Ah, andai saja dia mengajak Andri dan Andre ke sini, pasti mereka akan memiliki akal untuk menghasut Ferida.

Dean menyumpah serapahi bibinya itu di dalam hati.



----------------------
Gimana? Bingung kan?
Sama, aku juga bingung. Btw, maaf jarang update. Aku sibuk nugas, wkwkwk. Tapi, ini aku update dobel sih.

Kalau kalian suka sama BAB ini, silahkan pencet tombol bintang dan tinggalkan jejak.
See u next time...
-------------------

Continue Reading

You'll Also Like

137K 6.3K 37
Sebulan menjelang pernikahan Irene dan Eliot, Wira mendatangi Irene untuk menyatakan cinta yang kesekian kalinya. Dan lagi-lagi ditolak. Merasa putus...
Ace. By hiatus.

Fanfiction

79.9K 10.9K 42
argy bargy after story. 25 Nov, 2021.
618K 6.8K 100
[ 𝗖𝗢𝗠𝗣𝗟𝗘𝗧𝗘𝗗 ] 𝗡 𝗘 𝗪 𝐁𝐄𝐋𝐔𝐌 𝐃𝐈 𝐑𝐄𝐕𝐈𝐒𝐈❎ ⚠️𝐂𝐋𝐎𝐒𝐄 𝐑𝐄𝐐𝐔𝐄𝐒𝐓⚠️ 𝘉𝘶𝘢𝘵 𝘬𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯 𝘱𝘢𝘳𝘢 𝘱𝘦𝘯𝘶𝘭𝘪𝘴 𝘢𝘵𝘢𝘶 𝘱...
Oktober By Bintang

General Fiction

381 112 26
Silakan Folow Dulu Sebelum membaca!! Sesuatu telah terjadi hingga merenggut kebahagiaan lima tahun yang telah Reya rajut bersama sang kekasih. bermi...