BLUE [Completed]

Bởi Listikay

5.7K 1K 119

Biru yang mengikuti langkah semesta, seolah mata angin tak lagi berbicara. Memendam benak di dalamnya, di jal... Xem Thêm

Prolog
1. Tetangga baru
2. Kesalahan
3. Murid baru
4. Siluman tokek
5. Ada apa-apa
6. Bungkam
7. Telepati rasa
8. Dugaan Leo
9. Dekapan
10. Dekap lara
11. Pengakuan temaram
12. Sang pelepas rindu
13. Pemecah kesunyian
14. Lenyap
15. Semesta tak bersuara
16. Blood and Rain
17. Mendung
18. Bulan di hidupku
19. Tertangkap basah
20. Hangat dalam senyap
21. Sebuah permintaan
22. Berdamai dengan sang tokoh utama
23. Definisi kebebasan
24. Stuck with me or stuck with him?
25. Di balik kelembutan
26. Tiga cahaya malam
27. Mr. Omilar Cava dan mulut manisnya
28. Asterales
29. Cowok tanpa ikat kepala
30. Malam penuh kegelapan
31. I lose You
32. Memudar
33. Cela
34. Why?
35. Jatuh
36. Semesta buka suara
37. Dia yang beda
38. Jatuh
40. Setitik cahaya
41. Kembali terluka
42. Titik terendah
43. Memori masa lampau
44. Jangan lagi
45. Kembali berdiri
46. Euphoria
47. The first
48. Dia Alterio
49. Lunar dan Malam
50. Blue
Epilog
Ceraunophile

39. Lunar

53 7 0
Bởi Listikay

"Ayah!" Reon teriak entah dari arah mana.

Geralnd menoleh ke belakang, tapi tidak mendapati wujud anaknya yang menggemaskan dan menyebalkan dalam satu waktu. "Apa?" Beliau balas berteriak.

Malam hari, keluarga kecil itu memang selalu berkumpul di ruang tengah. Tapi terkadang tetap sibuk dengan urusan masing-masing.

Seperti Rio yang duduk di sebelah Geralnd dengan pandangan kosong.

Reon yang entah berada di bumi bagian mana.

Juga Hana yang sibuk di dapur. Menghitung berapa banyak toples kue buatannya dengan kebingungan, akan dikemanakan kue-kue tersebut. Inilah akibat jika Geralnd melarangnya membuat usaha kecil-kecilan. Tangan Hana memang selalu gatal jika tidak membuat kue satu hari saja.

Sepertinya hanya Geralnd yang selalu fokus dan menikmati waktu bersantainya di malam hari.

"Ayah, ini apa?" Reon datang dengan sesuatu di tangan mungilnya. Raut wajahnya tampak bingung dan penasaran.

"Heh!" Refleks, Geralnd memekik karena terkejut. "Balikin sana! Nanti Bunda ngomel," perintahnya begitu tegas. Tapi bukan Reon namanya jika ia tidak banyak tanya.

"Tapi, Ayah. Ini empuk-empuk. Apa ini kue kukus onlen?" Reon memandang satu bungkus pembalut di tangannya dengan seksama. Meneliti benda asing tersebut yang terlihat aneh.

"Reon! Balikin, jangan bikin orang naik darah ya kamu."

Reon mendonggak dengan mata bulatnya. "Emang darah bisa naik ya, Ayah? Naik ke mana?"

Sebelum Darma memberi peringatan, Hana sudah keburu datang.

"Bunda ini apa, sih?"

Hana membelalakkan matanya. "Reon! Dari mana kamu dapet itu, hah?! Balikin ke tempatnya!"

Rio yang tadinya tampak melamun, kini ikut menoleh setelah mendengar teriakan Hana.

Biar bagaimanapun juga, meskipun hanya di hadapan suami dan anak sulungnya. Hana tetap saja merasa malu, terlebih Hana hanya satu-satunya perempuan di rumah ini.

"Tapi ini —,"

"Balikin atau Bunda nggak mau kelonin kamu malam ini."

Reon menurut meski masih penasaran. Ia tidak mau jika harus tidur sendiri. Itu terlalu menyeramkan.

Hana menghembuskan nafas jengah. Sudah merasa bingung dengan kue-kuenya, sekarang malah anaknya yang satu itu bertingkah seakan terlahir tanpa akhlak. Memang anak jaman sekarang sering bolos saat jadwal pembagian akhlak.

Beliau lantas mendudukkan diri di tengah-tengah Geland dan Rio. Geralnd hanya menatapnya sekilas, sedangkan Rio kembali fokus ke depan. Seolah tengah menyaksikan tayangan telivisi, padahal sebenarnya cowok itu tengah melamun. Entah melamunkan apa.

"Anak kamu nggak ada akhlak," ucapnya seraya berbisik tepat di sebelah telinga Geralnd.

Geralnd menoleh dengan sebelah alis terangkat. "Rio is my son," jawab beliau dengan begitu enteng. Membuat tangan Hana memukul paha suaminya.

"Anak sendiri nggak diakuin!"

"Lalu situ enggak memang?" telak Geralnd membuat Hana bungkam.

Memang, ya. Tidak anak, tidak Bapak, sama-sama menyebalkan!

Hana beralih ke sisi kirinya. "Rio."

Tidak ada sahutan.

"Rio!"

Masih sama.

Aihh, memang semua anggota keluarga ini menyebalkan kuadrat. Kecuali Hana tentu saja. Saking geramnya, beliau mengeplak bahu anaknya. "Dipanggilin dari tadi!"

Rio terlonjak, wajahnya yang terlihat seperti orang bodoh membuat mood Hana kian meredup. "Hah? Eh? Kenapa, Bun?"

"Hah heh hah heh! Kapan kamu ngajak Luna ke sini lagi? Heran, nggak ada inisiatifnya sendiri ya kamu. Masa harus disuruh dulu."

Tidak ada respon sama sekali.

"Kapan mau ke rumah Luna? Sana, sekarang aja mumpung Reon lagi sibuk sendiri." Hana tidak peduli dengan Rio yang tampak bungkam. "Jangan lupa bawa kue, banyakin. Bunda bingung itu kue mau dikemanain, padahal tadi pagi udah dibagi-bagiin Ibu-Ibu komplek yang lagi belanja sayur."

Hana memandang Rio dari samping. Merasa tidak mendapat jawaban, beliau kembali mendaratkan sebuah pukulan. Bukan lagi di bahu, melainkan di paha cowok itu. Biar mampus sekalian. "Durhaka kamu! Ditanyain orang tua diem aja."

Rio mengusap-usap pahanya yang terasa sedikit perih. "Bunda aja deh yang ke sana. Rio lagi males."

"Melas yang ada kamu tuh," balas Hana sewot. Merasa tidak lagi tertarik berada di sini. Hana beranjak berdiri. Sebelum melangkahkan kakinya, beliau masih sempat-sempatnya mencubit bahu Geralnd cukup kencang guna melampiaskan rasa kesalnya.

Geralnd mengaduh, Hana berlalu seraya berteriak kencang. "REON! NGAPAIN KAMU, HAH?"

Hana memang tipe wanita yang lembut dan penyayang, tapi di balik itu Hana akan bertingkah aneh jika sedang merasa kesal yang bikin Geralnd geleng-geleng kepala. Apalagi ia yang selalu dijadikan pelampiasan. Miris sekali nasibnya.

"Kebanyakan tugas kamu?" tanya Geralnd penasaran, beralih memandang Rio. "Mukanya gitu banget. Kalau banyak tugas dikerjain bukannya dilamunin, mana kelar kalau begitu caranya."

Rio dan Geralnd memang mempunyai jalur pikiran yang hampir sama, tapi tidak mungkin ia meminta pendapat Ayahnya untuk masalah besar satu ini.

Apalagi hal itu melibatkan pertanyaan bagi Geralnd jika Rio menanyakan, apakah benar jika ia bukan anak kandungnya. Rio tidak berani menanyakan hal tersebut. Ia tidak mau keluarganya menjadi adu mulut dan terkena masalah. Terlebih hal itu merupakan masa lalu kelam Hana yang pasti masih terasa menakutkan untuk beliau.

"Enggak kok."

"Terus kenapa lagi itu muka bonyok begitu?" Geralnd tadi sempat terkejut mendapati luka memar di sudut bibir putranya, sementara Hana sudah ngomel ngalor-ngidul macam Ibu pengajian. "Ayah udah lega ya kamu anteng di sekolah baru, punya banyak temen juga. Tapi kok sekarang kabuh lagi, mainnya adu jotos mulu."

"Ya kalo adu mulut, kan, cewek," jawab Rio sekenanya.

"Terus kalau cowok harus selalu adu jotos, begitu?"

"Ya terus gimana lagi kalo nggak adu jotos?"

"Ya pake mulut, lah. Apa gunanya mulut kalau nggak dipakai."

"Masa adu mulut. Itu, kan, cewek, Yah." Rio tidak mau kalah.

"Heh! Maksudnya buat ngomong baik-baik, selesaikan dengan kepala dingin. Bego banget kamu." Geralnd menghina.

"Kalo emang bego, Rio nggak mungkin naik kelas." Cowok itu kembali mencari pembelaan. "Lagian bukan Rio kok yang mulai. Dia aja yang tiba-tiba mukul."

"Itu artinya kamu yang salah. Mana ada orang mukul-mukul gitu aja kalau kamu nggak salah." Geralnd memandang Rio tanpa mengalihkan tatapannya. "Temen banyakin, Rio. Jangan musuh yang kamu koleksi."

"Iya, iya." Rio mengalah karena ia merasa bukan cewek yang demen adu mulut.

"Lagian kamu aneh banget akhir-akhir ini. Disuruh ke rumah Luna nggak mau, kemarin-kemarin ngebet banget anak orang mau dibawa pulang kayak barang rongsokan."

Tidak salahkah ucapan Ayahnya? Menurut Rio barang rongsokan akan dibuang, bukannya malah dibawa pulang ke rumah. Iya, kan?

"Yang kemarin Rio lagi kesurupan, kalo sekarang udah enggak," celetuk Rio.

"Ngaco kamu!" Geralnd tak habis pikir dengan putranya yang satu ini. "Abg jaman sekarang marahannya lebay banget!"

"Dih! Emang Ayah nggak lebay apa?" Rio tentu saja tidak terima dibilang lebay. "Orang tua jaman sekarang mesra-mesraannya lebay banget, pake bisik-bisik manja segala! Udah kayak dapet bisikan setan aja." Rio segera beranjak, ngibrit menuju kamarnya.

"Heh, Rio! Mau ke mana kamu?" tanya Geralnd tanpa mendapat jawaban, beliau menatap punggung Rio yang semakin menjauh. "Anak kurang ajar kamu, ya!"

***

Dove bersenandung ria saat mobil mewahnya melewati jalanan yang cukup sepi. Anak itu seakan tidak takut bila kena begal dan mobilnya dirampas. Tidak takut pula dengan nyawanya yang mungkin saja terancam.

"SGALA YANG KAU UCAP BOHONG... KAU LAKUKAN OMONG KOSONG." Dove mengikuti lagu yang terputar di dalam mobilnya. Seakan tengah melakukan konser besar-besaran, ia bahkan sampai memejamkan mata saking menghayatinya.

Tidak takut nubruk orang karena memang tidak ada kendaraan lain yang melintas selain mobilnya.

"TAK PERLU LAGI PERCAYA... KAU HAN —Ehh." Nyanyiannya terhenti, berganti dengan suara pekikan.

Melalui pencahayaan lampu mobilnya, Dove dapat melihat beberapa pria yang tampak menyeret seorang cewek. Baru membuka mata setelah bernyanyi saja ia sudah dihadapkan dengan pemandangan seperti itu.

"Apaan itu anjir." Matanya memicing. Setelah merasa jika apa yang ia lihat adalah tindakan kriminal, Dove melajukan mobilnya dengan kencang.

Ban mobilnya berdecit lantaran bergesekan dengan aspal.

Cowok itu turun dari mobil dan menatap nyalang tiga orang pria dengan penampilan selayaknya preman. Matanya membelalak saat pandangan Dove bertemu dengan sepasang tatapan yang sudah berkaca-kaca.

"Mau kalian apain nih cewek?" tanyanya dengan santai.

Salah satu dari mereka yang tidak memegangi lengan gadis tersebut tampak terkekeh. Sebelah tangannya dipenuhi tato tidak jelas, mungkin dia-lah bosnya. "Cicip, lah. Cicipin bareng-bareng," sahutnya bangga. Seolah apa yang mereka lakukan adalah sebuh prestasi. "Kenapa? Mau ikut?"

Dove terdiam sebelum menjawab dengan mantab. "Boleh."

Gadis itu, yang tadinya menatap Dove penuh permohonan menjatuhkan harapannya. Ia pikir cowok ini akan menolongnya, tapi ternyata sama saja dengan orang-orang yang tengah menyeretnya sekarang.

"Nyicipin gimana rasanya mukulin manusia bangsat kayak kalian!" Sebelum menunggu respon dari lawan bicara, Dove sudah lebih dulu memberikan satu bogeman yang membuat mereka tampak kaget dan marah. Apalagi pria bertato yang memegang sudut bibirnya. Perlahan, darah mengucur dari sana.

Tidak tanggung-tanggung, Dove kembali memukuli si pria bertatto. Berawal di perut, lalu kembali lagi pada bagian wajahnya yang tidak ada kesan tampannya sama sekali, lalu diakhiri dengan tendangan di dada yang membuat pria tersebut tumbang.

Salah satu dari dua orang yang tengah memegangi gadis itu melangkah mendekat. Sebelum benar-benar memberikan pukulan pada wajah Dove, dia segera menendang aset berharga pria berotot tersebut dengan penuh semangat.

Pria berotot itu mengeram sembari memegangi asetnya.

Huh, percuma saja punya otot besar jika kelemahan pria terletak pada barang berharganya.

Tidak perlu menunggu lagi, pria terakhir melompat ke arah Dove. Cowok itu menghindar dengan cepat, membuat si pria dengan tubuh cungkring terjerembab di atas aspal. Tidak tanggung-tanggung pula, Dove menginjak punggung pria tersebut.

"Am-ampun, Mas," ujar si pria cungkring dengan susah payah. Dadanya terasa benar-benar sesak.

"Mas-mas! Lo pikir gue tukang pentol!" Lalu Dove mengangkat kakinya membuat pria cungkring itu meraup udara sesegera mungkin. Parahnya ia malah ditinggal sendirian, dua temannya sudah kabur entah kemana.

Pria itu segera lari dengan tergesa, sampai membuat langkahnya oleng beberapa kali.

"Cemen banget! Dagang pentol aja sana, Lo." Dove menyempatkan diri berteriak. "Pentol Lo tuh sekalian dijual!"

Setelah itu, ia beralih memandang gadis mungil yang tadi ketakutan. Dove mendekat. Terhitung sudah tiga kali mereka bertemu. Dan rasanya masih sama. Ia tidak merasa asing dengan tatapan tersebut.

"Lo nggak pa-pa, kan?" Dove memastikan.

Helma menggeleng. Wajahnya terlihat lebih tenang dari sebelumnya. "Makasih."

Dove mengangguk seperlunya. "Udah tiga kali ketemu, tapi gue nggak tahu nama Lo." Dove memberi kode, agar gadis di hadapannya mengulurkan tangan seraya memperkenalkan diri.

"Hah? Tiga kali ketemu? Bukannya kita baru aja ketemu, ya?"

"Hilih, pikunan." Dove berucap sekenanya. "Nih, ya. Pertama Lo keluar dari rumah Rio sambil nangis-nangis bombay. Terus kedua Lo celingukan di mal kayak anak ilang. Terus sekarang Lo mau-mau aja diseret preman."

Helma tidak begitu fokus dengan ucapan Dove yang terkesan frontal dan menjengkelkan. "Lo kenal Rio?" Ia malah lebih fokus pada nama Rio. Sudah pasti Rio yang dimaksud cowok berikat kepala itu.

"Kenal, lah." Dove sempat terpaku dengan tatapan tersebut. Sangat familier. Sama sekali tidak asing. Tapi apa mereka sudah pernah bertemu sebelum tiga kali pertemuan tersebut. Atau mungkinkah gadis ini salah satu anak dari teman Papanya?

Ah, terlalu banyak gadis kecil yang dulu sering kali berdatangan ke rumahnya sampai membuat Dove bingung dan lupa. Papanya sering kali menerima tamu yang katanya rekan bisnis beliau. Tamu-tamu tersebut juga sering mengajak anaknya ke rumah Dove.

"Nama Lo siapa, heh?" Dove lebih dulu bertanya sebelum gadis di hadapannya yang akan nyerocos lebih dulu. Ia sudah cukup tahu perihal banyak gadis di luar sana yang mengejar-ngejar Rio.

"Helma."

Ternyata Helma tidak menjulurkan tangannya, padahal Dove ingin modus sekalian.

Setelah mengucapkan namanya, Helma hanya diam. Mereka saling tatap tanpa mengucapkan apa pun. Entah untuk keberapa kali, Dove kembali menyelami tatapan itu.

"Lo ngapain malem-malem keluyuran di jalanan sepi begini?" tanya Dove. Mencari topik percakapan agar ia tidak perlu menyelami tatapan milik gadis dengan tubuh mungil di hadapannya.

"Cari angin."

Cari angin? Lalu mengapa harus di tempat yang sepi? Memangnya angin tidak muncul di tempat ramai apa. Mengapa pula tujuan mereka sama.

"Nggak adil kayaknya kalo cuma Lo doang yang tau nama gue," ucap Helma lagi.

Dove berdeham sejenak, memang wajah cool. Kedua tangannya sudah masuk ke dalam saku celana jeansnya. "Dove."

"I guess you need help... again," celetuknya lagi.

***

Luna tidak pernah merasa benar-benar sendiri sebelumnya. Meski sering kali berpikir jika hanya ada dirinya —yang benar-benar bisa tahu segala yang melekat dalam dirinya sendiri, tapi itu hanya sebuah anggapan. Bukan kenyataan, seperi sekarang.

Rasanya, yang masih mau menunjukkan arah jalan ke luar dari kubangan hitam yang menjerumusnya hanyalah Darma. Tidak ada siapa-siapa lagi selain itu.

Darma yang dulu selalu berdiri paling belakang, kini menjadi paling depan.

Tapi beliau juga punya kewajiban. Darma sering pulang malam. Bukan sebuah alasan, melainkan karena beliau memang benar-benar sibuk akhir-akhir ini. Sangat tidak tenang pulang malam dengan perasaan was-was perihal Luna yang ditinggal sendiri di rumah.

Ya meskipun tidak benar-benar sendiri. Tapi bukankah banyak anak remaja di luar sana yang bertindak macam-macam saat berada di dalam kamar dengan keadaan frustasi, banyak masalah. Seperti mengakhiri hidupnya begitu saja contoh nyatanya.

Gadis bersurai lurus itu tengah duduk di balkon kamar. Memandang bunga krisan berwarna ungu yang terawat dengan baik.

Itu sebuah perintah dari sang pemberi bunga, cowok berikat kepala itu berucap jika warna ungu punya efek menenangkan. Dan sekarang Luna sedang butuh ketenangan.

Yang ia tahu, warna ungu ya warna janda. Tidak ada efek menenangkan segala. Tapi, sekejam apa pun Rio sekarang. Cowok itu tidak mungkin ngibul, kan?

Luna beralih menatap langit. Bagus. Malam ini bulan menghias langit pekat. Bersama dua bintang yang hanya terlihat bercahaya.

Sebelum mengenal cowok berikat kepala itu, Luna tidak suka dengan benda lagi. Tapi sekarang ini bulan seperti menggambarkan dirinya, seperti arti nama Luna.

Sama dengan apa yang diharapkan orang tuanya, Luna juga ingin bisa secerah bulan.

Luna artinya bulan.

Lunar artinya juga bulan.

Kalau Lunar yang satunya lagi memiliki kepanjangan Luna dan Rio.

Ahh, mengemaskan sekali. Mengapa ia baru sadar jika kata tersebut saling berhubungan?

Ngomong-ngomong soal Rio, ia sudah menunggu-nunggu dari tadi. Tapi sepertinya Rio tidak akan ke rumahnya. Lagi pula sekarang cowok itu sudah berubah.

Luna ingin mendapatkan ketenangan dari lagu weightless milik Marconi Union lagi. Tapi akan terasa jauh menenangkan jika Rio yang memutarkan alunan musik tersebut.

Entah mendapat bisikan dari mana. Luna segera berlari ke luar rumah. Tanpa ragu sedikit pun, langkahnya membawa gadis itu berdiri tepat di gerbang rumah sebelah. Tangannya terjulur guna menekan bel.

Ia menunggu sembari terus memandang bulan di atas langit.

Luna hanya mengenakan celana pendek di atas lutut serta kaus maroon dengan tulisan Queen di depannya. Tak lupa sandal jepit khas rumahan dengan surai lurusnya yang tampak halus meski sedikit berantakan.

Tidak pernah sebelumnya ia keluar dari pekarangan rumah dengan penampilan seperti itu.

"Ngapain?"

Bahkan sampai tidak sadar dengan kehadiran Rio yang sudah ia tunggu-tunggu.

Kepalanya menoleh. Senyumnya merekah saat pandangan mereka bertemu. Binar tatapan yang biasanya redup kembali muncul dalam bola mata coklat milik gadis bersurai lurus itu.

Setidaknya sebelum sebuah kalimat menyakitkan menyapa indra pendengarannya. Membuat senyumnya pudar dalam sekejap.

"Minggat sana, Lo! Dasar kuman!"




****

Chapter ini dikhususkan untuk yang kemarin ulang tahun🖤

Kangen wetpet versi dulu betewe.


09-08-20.

Đọc tiếp

Bạn Cũng Sẽ Thích

2.6M 264K 62
Gimana jadinya lulusan santri transmigrasi ke tubuh antagonis yang terobsesi pada protagonis wanita?
2.5M 136K 62
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
5.4M 303K 34
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
252K 11.6K 17
Level tertinggi dalam cinta adalah ketika kamu melihat seseorang dengan keadaan terburuknya dan tetap memutuskan untuk mencintainya. -𝓽𝓾𝓵𝓲𝓼𝓪𝓷�...