Dark Angel [END]

By anna_minerva

138K 27.4K 1.7K

"Kadang kala, kau akan menemukan manisnya cinta dalam setiap tarikan napas seorang pendosa" -Dark Angel- *** ... More

BAB 1 - Anastasya
BAB 2 - Korban Pertama
BAB 3 - Detektif Kembar
BAB 4 - Vicky
BAB 5 - Petunjuk Pertama
BAB 6 - Bunuh Diri?
BAB 7 - Selingkuhan
BAB 8 - Bullying
BAB 9 - Kecelakaan yang Disengaja
BAB 10 - Taksi Biru dan Sebuah Obat
BAB 11 - Surat Dari Igrid
BAB 12 - Siapa Mirai?
BAB 13 - Pencarian
BAB 14 - Kisah Si Genius
BAB 15 - Petunjuk Baru
BAB 16 - Daerah Gunung
BAB 17 - Rahasia Rumah Tua
BAB 19 - Siapa Dia?
BAB 20 - Album Lama
BAB 21 - Mengumpulkan Kejanggalan
BAB 22 - Sampai Jumpa, Gadisku
BAB 23 - Bertanya Pada Ferida
BAB 24 - 1994
BAB 25 - Aku Yang Sesungguhnya
BAB 26 - Menerima Takdir
BAB 27 - Petunjuk Dari Dokter Yelena
BAB 28 - Menggeledah
BAB 29 - Ancaman
BAB 30 - Penembakan
BAB 31 - SDN Janggala
BAB 32 - Cinta Pertama
BAB 33 - Bukti
BAB 34 - Secarik Kertas
BAB 35 - Penyusup
BAB 36 - Keyakinan
BAB 37 - Kekalahan?
BAB 38 - Julia Kecil
BAB 39 - Si Bedigasan
BAB 40 - Siapa Vanya?
BAB 41 - Seseorang yang Terlupakan
BAB 42 - Perpustakaan
BAB 43 - Penembakan (Lagi)
BAB 44 - Pria Bertopeng
BAB 45 - Kecurigaan Tersembunyi
BAB 46 - Perkelahian
BAB 47 - Bayangan
BAB 48 - Setitik Asumsi
BAB 49 - Terlambat
BAB 50 - Iris
BAB 51 - Tidak Ada Kata Terlambat
BAB 52 - Kembali
BAB 53 - Kenyataan
BAB 54 - Masa Lalu Itu
BAB 55 - Deklarasi
BAB 56 - Ambigu
BAB 57 - Ruang Bawah Tanah
BAB 58 - Cerita dan Segalanya
BAB 59 - Mirai dan Segalanya
BAB 60 - Pengungkapan
BAB 61 - Pertarungan dan Jawaban
BAB 62 - Permintaan
BAB 63 - Pertaruhan Terakhir
BAB 64 - Sampai Jumpa
BAB 65 - Usai
BAB 66 - Sesuatu yang Berharga
Epilog
Hallo, Kak !
-Sekadar Menyapa (dan curhat)-

BAB 18 - Buku Diary Tersobek

1.6K 380 35
By anna_minerva

"Namira Denova. Dia ibunya Iki."

"Jadi, Mirai saudarinya Vicky?" Dean mencoba mencerna fakta-fakta yang dia dapatkan.

"Tidak salah lagi. Hal ini memperkuat kemungkinan kalau Vicky yang menulis clue tersebut," jelas Eliza.

Dean menghela nafas panjang. "Eliza, gue berfikir kalau si pembunuh ini seakan berusaha melindungi Mirai dari orang-orang yang jahat sama dia. Jelas kalau si pembunuh ini kayaknya sayang banget sama Mirai dan terlalu fanatik sama dia. Kemungkinan besar pembunuh merupakan orang-orang yang berasal dari kehidupan Mirai. Kayak ayahnya alias si Russel ini, terus kekasihnya ataupun teman dekatnya gitu. Cuma pendapat gue doang sih. Tapi, emang kemungkinan besar gitu."

"Tapi, apa hubungannya sama gue?"

"Karena wajah lo mirip Mirai, boleh jadi si pelaku menganggap kalau lo adalah Mirai. Apalagi Mirai udah meninggal. Kan bisa jadi dia nggak ikhlas sama kepergian Mirai, terus secara tidak sengaja ketemu sama lo gitu."

"Hm... Bisa jadi sih."

"Ada kemungkinan lagi. Si pelaku udah kenal akrab sama lo. Jadi, coba lo inget, siapa pria yang selama ini kayak sayang banget sama lo, tapi yang bukan berasal dari keluarga lo?"

Eliza menggeleng. "Nggak ada."

"Hm, mungkin si pelaku ini mengagumi lo secara diem-diem gitu sih atau lo nggak sadar tentang siapa aja yang sayang sama lo."

"Rumit banget sih. Kimia aja nggak sampai serumit ini. Tapi apa kata lo itu ada benernya. Pelakunya pasti orang-orang yang deket sama Mirai. Dan, si pelaku menganggap gue Mirai karena Mirai yang asli udah nggak ada."

"Well, kita harus tahu siapa saja yang deket sama Mirai. Terutama pria."

Eliza hanya manggut-manggut.

Syahnaz dan Naran juga sudah berada di ruangan itu. Namun, mereka tidak terlalu memperhatikan percakapan Dean dan Eliza. Naran memperhatikan rak-rak buku tua yang kini sedikit rapuh dimakan usia. Sedangkan Syahnaz memperhatikan tangga besar yang menjulang ke atas.

"Kalian mau naik ke atas?" tanya Syahnaz.

Eliza mengakhiri percakapannya dengan Dean. Mereka akan membicarakan hal ini nanti. Sekarang, Eliza ingin memeriksa ruangan atas.

"Tunggu bentar!" Eliza melangkah pergi meninggalkan Dean yang masih memperhatikan foto besar tersebut.

Dengan segera, Dean membuka handy cam yang dia pinjam dari Naran. Dean mengarahkannya ke foto dalam bingkai besar tersebut. Dari wajah Russel hingga bayi perempuan kecil yang digendong Rima. Dia ingin detail dari orang-orang tersebut. Pandangannya terpaku pada foto kecil Vicky. Anak laki-laki yang tersenyum ceria menatap kamera. Sangat berbeda dengan Vicky yang sekarang. Tapi, apa dia benar-benar Vicky?

Eliza dan Syahnaz sudah mulai menaiki tangga. Tangga itu berdebu dan usang. Hentakan kaki mereka berdua membuat tangga tersebut mengeluarkan debunya. Eliza dan Syahnaz sesekali terbatuk kecil.

"Kayaknya udah lama nggak ada yang ke sini deh. Emang nggak terlalu horor sih rumahnya. Tapi, entah kenapa gue penasaran," gumam Syahnaz.

Tidak perlu waktu lama bagi mereka untuk sampai ke atas. Di lantai atas, terdapat banyak sekali patung pualam yang berjejer sebagai hiasan. Satu patung pualam harganya sangat mahal, apalagi sebanyak ini. Entah berapa banyak dana yang digunakan untuk mendekorasi rumah yang kini telah terbengkalai ini. Di sana juga terdapat lemari-lemari kaca berisi boneka-boneka antik yang kini telah usang. Ada beberapa pintu yang mengarah ke berbagai ruangan. Eliza mencoba membuka salah satu pintu tersebut, di dalamnya ada kamar.

Kamar itu sangat luas. Ada ranjang besar yang kini dilapisi kain putih, sebuah lemari raksasa yang dilapisi kain yang sama pula dan juga meja rias yang terbengkalai. Dinding-dinding kamar itu masih terpenuhi oleh foto-foto jadul.

Eliza memperhatikan satu-persatu foto tersebut. Kebanyakan foto tersebut memuat gambar seorang wanita cantik berambut bergelombang. Jelas Eliza mengenalnya. Dia adalah Namira, ibu Vicky. Eliza masih ingat wajahnya. Vicky selalu menatuh foto mendiang ibunya tersebut di saku. Eliza juga cukup sering bertemu langsung dengan Namira---sebelum Namira meninggal karena kecelakaan---dia sering mengunjungi kedua anaknya.

Eliza juga ingat, Namira pernah bercerita jika kalau dia pernah punya anak perempuan. Meskipun bukan anak kandung, dia sangat menyayangi anak itu. Tapi, dia berpisah dari anak itu. Apakah yang dimaksud oleh Namira adalah Mirai dan adik Mirai?

"Tunggu sebentar, jika Pak Franz membeli rumah ini, mengapa dia tidak menurunkan foto-foto keluarga Russel?" batin Eliza.

Benar. Itulah kejanggalannya. Cukup aneh. Mengapa Pak Franz tetap membiarkan foto-foto keluarga Russel masih terpajang di dinding-dinding rumah tua ini? Padahal rumah tua ini sudah menjadi miliknya. Sepertinya, Pak Franz memiliki maksud lain untuk membeli rumah ini.

Tapi apa?

Eliza berjalan perlahan menuju ke foto-foto yang terpajang di dinding. Hampir sebagian besar foto yang dipajang di sana adalah foto Namira. Tidak salah lagi, kamar ini pasti kamarnya Namira.

Eliza melihat sebuah foto besar yang terpajang tepat di atas ranjang. Foto seorang anak laki-laki kecil yang tengah duduk di sebuah sofa. Anak itu memakai baju berwarna ungu dan dilapisi rompi abu-abu. Anak itu menggemaskan. Dia memasukkan salah satu jempolnya ke dalam mulut. Terlihat dia hanya memiliki dua gigi kecil yang baru tumbuh. Dari tatapannya, dari bentuk mata alisnya, dari bentuk hidung mulutnya---dia adalah Vicky kecil. Eliza yakin itu.

Eliza membuka kameranya dan langsung memotret ulang foto di dinding tersebut. Jika dia memiliki kesempatan dan keberanian, dia ingin bertanya pada Vicky, apakah anak kecil ini benar-benar dia.

Eliza duduk di ranjang berlapis kain putih tersebut. Dia menghela nafas panjang. Pandangannya tiba-tiba tertuju pada sebuah laci kecil di meja rias. Ada dorongan kuat dalam diri Eliza untuk membuka laci itu. Tapi, bukankah tidak sopan? Ah sudahlah, membobol rumah orang lain juga bukan merupakan hal yang sopan. Dia ingat, Hideki pernah bilang bahwa, jika berbuat sesuatu jangan tanggung-tanggung.

Eliza membuka laci tersebut.

Krek

Laci tersebut berisi banyak sekali kertas. Di antara kertas-kertas itu, ada sebuah buku bersampul ungu. Lagi-lagi warna ungu. Eliza mengambil buku tersebut. Buku tersebut terlihat sudah sangat tua nan usang. Eliza membuka kancing penutup buku tersebut. Debu-debu mulai berhamburan keluar.

Di halaman pertama, hanya ada kertas polos yang warnanya sudah menguning. Di pojok kertas sebelah kiri bawah, ada sebuah tulisan latin. Hanya beberapa kata.

Denova's Diary

Sekali lagi, Eliza menghela nafas panjang-panjang. Vicky benar-benar saudara Mirai. Sebab seingat Eliza, nama lengkap ibu Vicky adalah Namira Denova. Tidak salah lagi, semuanya sudah jelas. Eliza membalik lembaran tersebut.

08 May, 1996
Jelas bahwa Russel telah menikahi Rima. Meski aku tahu, pria itu masih sangat mencintaiku. Akupun sama. Aku masih sangat mencinta Russel. Kemarin, hari ini dan entah sampai kapan.

Hanya saja, kembali pada Russel bukanlah jalan yang baik. Jelas dia sudah memiliki seorang putri kecil yang tidak mungkin kebahagiannya kurenggut.

Eliza membalik buku tersebut.

12 Dec, 1999

Tunggu sebentar, 1999? Mengapa waktunya meloncat sangat cepat? Eliza memperhatikan buku itu lagi. Ternyata, ada beberapa halaman yang disobek. Sobekannya tidak rapi, masih ada kertas-kertas yang tertinggal di bagian yang di sobek. Ada kemungkinan kalau buku itu disobek secara tidak sengaja atau si penyobek sedang emosi saat menyobeknya. Bisa jadi.

Aku menikah dengan Russel.

Hanya itu yang tertera di halaman tersebut. Tapi mengapa? Di halaman sebelumnya tertera bahwa Namira tahu kalau kembali pada Russel bukanlah hal yang bagus. Tapi, mengapa setelahnya Namira menikah dengan Russel? Sebebarnya apa yang telah terjadi selama tiga tahun?

19 Jan, 2000
Hari ini aku kembali berseteru dengan Rima. Russel memberiku rumah di daerah gunung dan memberi Rima rumah di ibu kota. Aku tidak mempermasalahkannya. Tapi, Rima ingin rumahku.

Aku akan memberikan rumah gunung itu apabila Rima mau memberikan rumahnya. Tapi, dia tidak mau. Dia ingin keduanya. Dia ingin segalanya yang dimiliki Russel. Tapi, bukankah aku juga berhak mendapatkannya?

Eliza terkekeh dalam hati. Ternyata Rima merupakan wanita yang cukup egois. Meskipun pada kenyataannya posisi Namira semacam perebut suami orang, tapi dia sudah benar-benar sudah menikah dengan Russel. Dan sepertinya Russel juga sudah berusaha bersikap adil pada dua istrinya. Dia memberikan masing-masing rumah untuk mereka. Namira juga ikhlas mendapatkan rumah di gunung, padahal rumah di gunung tidak senyaman rumah di ibu kota. Tapi, Rima sepertinya tidak ingin Namira mendapatkan apapun dari Russel. Bagi Eliza, tidak selamanya istri pertama itu baik, dan tidak selamanya pula istri kedua baik. Bukan berarti Eliza membela ibu dari teman masa kecilnya itu, tapi dilihat dari tulisan ini semuanya sudah jelas. Rima sedikit egois. Buku diary tidak mungkin ditulis dengan kepalsuan ataupun kebohongan.

Eliza kembali membalik halaman buku tersebut. Terdapat sobekan lagi. Tapi kali ini hanya ada lima sampai enam halaman yang disobek. Sepertinya si penyobek menyobek halaman buku tersebut secara acak.

5 Jan, 2001
Aku hamil dan aku cukup yakin bahwa aku akan memiliki anak laki-laki.

Namira hamil di bulan Januari. Sedangkan Vicky lahir di bulan Oktober tahun 2001. Kurang lebih sembilan bulan setelah Namira menyatakan bahwa dirinya hamil. Tidak salah lagi. Semuanya sudah jelas. Vicky adalah saudara Mirai. Meskipun bukan saudara seibu---tapi, tetap saja. Boleh jadi Vicky benar-benar tahu sesuatu tentang kasus-kasus yang menyangkut Mirai ini.

Setelah itu, ada halaman yang disobek lagi. Tapi kenapa? Kenapa hampir semua halaman di sobek? Apakah Namira yang melakukan ini semua? Tapi untuk apa?

30 Jul, 2003
Selamat tinggal, Rima.

Aku sendiri tidak menyangka bahwa kau pergi secepat ini. Ah, maaf, aku belum bisa menjadi adik yang baik untukmu.

12 Agust, 2003
Rumah gunung ini, sekarang kembali menjadi milikku.

19 Okt, 2003
Sebenarnya aku ingin merawat Mirai dan Hara. Tapi, Russel tidak mengizinkannya. Dia menyerahkan Mirai pada Ferida. Aku sendiri tidak yakin kalau seorang seperti Ferida Beverly bisa merawat anak dengan baik.

Lalu Hara, entah pada siapa Russel menjual peri kecil itu. Tapi, aku harap siapapun yang merawat peri kecilku, dia adalah orang berhati malaikat yang bisa menyayangi peri kecilku, lebih dari siapapun yang dia miliki.

Di tulisan ini jelas bahwa Mirai diadopsi oleh seorang bernama Ferida Belvery. Ini akan menjadi kunci untuk petunjuk selanjutnya. Di halaman sebelumnya juga menegaskan bahwa Namira mengucapkan selamat tinggal pada Rima. Mungkin saat itu, Rima telah meninggal.

Tulisan-tulisan juga ini membuktikan bahwa Namira menyayangi anak-anak Rima. Meskipun bukan anak kandungnya, Namira sangat mencemaskan mereka berdua.

8 Feb, 2004
Karena sudah tiada lagi Rima. Kini Russel melampiaskan segala amarahnya padaku. Sial!

Hubunganku mulai tidak baik ketika dia mengalami masalah dengan perusahaannya. Dia melampiaskan semuanya kepadaku.

Meskipun dulu Russel juga sering memarahiku, tapi dia juga membagi amarah itu dengan Rima. Namun, kini aku menanggungnya sendirian. Rasanya berat.

Russel adalah seorang pemarah. Dia suka memarahi kedua istrinya. Entah Rima ataupun Namira.

3 Mar, 2004
Russel mengunciku di gudang. Untung saja ada Danny yang mengeluarkanku.

30 Mar, 2004
Hari ini, aku keluar bersama Danny. Dia membelikanku banyak hadiah seperti Russel yang dulu. Sepertinya aku akan menyukai Danny.

20 Apr, 2004
Aku sudah muak dengan sikap brengsek Russel. Perusahaannya kacau karena salahnya sendiri. Tapi, dia malah menyalahkan aku.

Kelanjutan dari tulisan itu juga sobek. Sebenarnya apa yang terjadi dengan buku diary ini? Aneh. Tidak masuk akal.

20 May, 2004
Sepertinya aku kembali mengandung. Tapi, apa dia benar-benar anaknya Russel? Aku tidak yakin.

30 Nov, 2004
Sepertinya, aku akan berpisah dengan Russel.

Tulisan ini tidak ditulis dengan rapi. Tulisannya acak-acakan dan terkesan seperti diary alay bocah sekolah menengah pertama. Tapi, ini cukup wajar. Tulisan ini ditulis di tahun 2000-an. Mungkin saat itu, tulisan seperti ini wajar-wajar saja. Eliza juga pernah melihat buku diary lama papanya. Meskipun seorang pria, papanya juga bisa menulis hal-hal manis dan sedikit menggelikan.

Setelah itu, tidak ada halaman lagi. Tidak ada bekas sobekan apapun. Sepertinya, Namira sudah tidak menulis lagi. Mungkin, setelah itu dia benar-benar berpisah dengan Russel dan meninggalkan rumah tua tersebut dan meninggalkan buku diarynya. Tapi, bukankah sebelumnya dia bilang bahwa rumah itu sudah menjadi miliknya? Apa Russel kembali mengambilnya?

Ada kejanggalan lagi di sini. Mengapa Namira meninggalkan buku diary-nya? Padahal tidak ada benda lain yang tertinggal di sini. Kemungkinan, Namira pergi sambil emosi. Jadi dia melupakan benda yang cukup penting ini.

Semuanya sangat janggal. Kalau Pak Franz membeli rumah ini, harusnya dia menyingkirkan semua benda-benda kepunyaan pemilik rumah sebelumnya.

Entahlah. Otak Eliza berputar. Dia memotret satu persatu lembaran di diary Namira dengan kameranya. Dia akan meganalisanya setelah kembali nanti. Dia tidak bisa membawa buku itu. Itu sama saja mencuri.

Eliza kembali memeriksa laci di meja rias itu. Dia memperhatikan kertas-kertas yang ada di sana. Awalnya Eliza berfikir kalau kertas itu merupakan sobekan dari buku diary Namira. Namun, ternyata salah. Itu hanyalah kertas-kertas yang berisi tagihan belanja dan juga surat-surat random yang tidak penting. Tanggal yang tercantum di kertas-kertas itu berkisar antara tahun 2000-2004. Sudah puluhan tahun. Jelas bahwa semenjak Namira pergi, tidak ada lagi yang tinggal di sini. Mungkin, rumah ini sesekali dibersihkan. Tapi, tidak ada yang dirubah sama sekali. Aneh.

Di ruang depan, Dean masih berdiri memperhatikan rak buku yang telah kosong. Hanya ada kertas-kertas aneh yang telah usang dan berdebu diletakkan begitu saja di rak tersebut. Sepertinya bukan kertas penting. Dean mencoba meraih salah satu kertas tersebut. Hal itu membuat debu-debu berhamburan dan membuat Dean terbatuk perlahan.

Dean membuka kertas tersebut. Tiba-tiba ekspresinya berubah. Matanya membelak dan mulutnya sedikit terbuka. Dia seperti telah melihat sesuatu yang harusnya tidak dilihat.

"Dean!" seru Naran.

Dengan tergesa-gesa, Dean memasukkan kertas tersebut ke saku jaketnya.

"Hey, Dean!" Naran kembali berseru.

"Hah, apaan sih berisik banget lo!" Dean berjalan menghampiri Naran.

"Kayaknya kita harus pergi." Naran memberikan sebuah koran pada Dean. "Sekarang!"

Dean meraih koran tersebut. Dia masih bingung mengapa Naran memberinya benda itu. Jelas itu hanyalah koran biasa. Ada beberapa peristiwa dan tindak kriminal yang tercantum di sana.

Tunggu sebentar, mungkin bukan itu yang Naran maksudkan. Tapi, tanggal. Tanggal yang tertera di kertas tersebut. Menyadari hal itu, Dean menjadi sangat terkejut.

"In-ini, ko-koran sehari hari lalu?"

"Yah. Apa lo yakin kalau rumah ini bener-bener nggak ada yang nempatin?" tanya Naran.

Dean mengangkat bahunya.

"Ah, sekarang lo kayaknya bego banget sih. Ngelebihin gue. Pokoknya, kita harus pergi dari rumah ini. Sekarang!"

"Tapi, bapak-bapak tadi bilang kalau sesekali ada pemuda yang ke sini."

"Tapi, perasaan gue nggak enak." Naran segera mencari Eliza dan Syahnaz di lantai atas. Sedangkan Dean hanya mematung di bawah. Ekspresinya aneh, pandangannya kosong. Dia seakan melihat hantu, sesuatu yang harusnya tidak dilihat olehnya.

Pergelangan tangan Dean kembali menyentuh saku jaketnya yang berisi kertas tadi.

Tidak butuh waktu lama, Eliza, Syahnaz dan Naran sudah sampai ke lantai bawah. Mereka segera pergi dari sana.

"El, gue--"

"Nanti aja, kita pergi sekarang!" seru Eliza.

Mereka berempat-pun kembali ke belakang. Tanpa basa-basi, Syahnaz langsung mendorong pintu belakang yang digunakan masuk tadi. Namun, entah apa yang terjadi, pintu tersebut kembali terkunci.

Krek krek krek

Syahnaz mencoba membukanya. Namun sia-sia. Pintu tersebut benar-benar terkunci.

"Mustahil." Dean menelan ludah.

"Jangan-jangan, dari tadi ada orang di sini? Tapi, bukankah tidak ada siapa-siapa?" Naran mulai panik.

Eliza kembali membuka pintu tersebut menggunakan kawat kecil. Trik itu kembali berhasil. Mereka dengan segera lari dari sana dan kembali ke mobil.

"A-apa ka-kalian melihat ada orang tadi?" tanya Dean sambil ngos-ngosan.

Syahnaz dan Naran menggeleng. Dean kemudian melirik Eliza. Eliza tengah diam, otaknya terlihat bekerja. "Apa jangan-jangan--"

"Apa?" tanya Syahnaz.

"Ada orang di dalem sana. Dia keluar dari pintu belakang dan ngunci pintu belakang ketika kita ada di ruang depan."

Semuanya menelan ludah.

"Kalau dia bisa ngunci pintunya. Artinya dia punya kunci rumah itu. Artinya dia bukan pemuda iseng, tapi si pemilik rumah atau orang suruhan pemilik rumah. Maybe?" kata Dean sambil mengusap berkeringat dingin di dahinya.

"Hahahaha... Udahlah bro, siapa tahu dia anak iseng kayak kita. Dia ngunci rumah tersebut pakai kawat kayak Eliza. Nggak usah dipikir terlalu dalam." Naran mencoba mencairkan suasana. "Oh ya, setelah ini mau ke mana?"

"Di sini aja sampai besok pagi. Btw, kita kan izinnya empat hari. Hehe." Dean terkekeh.

"Kalian izin?" Naran melongo.

Dean, Eliza dan Syahnaz mengangguk secara serentak.

"Lho, gue kok nggak izin?" Naran menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal.

"Ah, kok bisa?! Lo lupa? Padahal lo udah nggak masuk tanpa keterangan sepuluh kali selama sebulan ini. Lo gimana sih, gimana kalau nggak naik?" tanya Dean.

"Lupa. Hehehe. Santai aja, pasti gue naik kok." Naran tertawa. "Oh iya, gimana kalau kita ke tempat rekreasi aja?" Naran berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Mana ada tempat rekreasi di sini?" tanya Dean.

"Air terjun." kata Naran. "Di sini ada air terjun." Naran membuka ponselnya dan menunjukkan sebuah artikel tentang air terjun yang indah. Lokasinya tidak jauh dari sana.

Eliza menatap Dean. Dia mengangguk. Mereka juga perlu beristirahat dan mencari hiburan sebentar.

***

"Mama! Kami pulang! Duh lamanya nggak pulang ke rumah." Seorang pria berjas abu-abu membuka pintu dengan kencang. Dia terlihat seperti pekerja kantoran. Busananya rapi nan elegan.

Di belakang pria tersebut, ada wanita cantik yang menggunakan blus coklat muda. Dia membawa sebuah tas besar di genggamannya. "Permisi." Senyum manisnya terukir di wajahnya yang mulus.

Di belakangnya lagi, ada seorang pemuda berjaket jeans biru. Dia menggunakan ikat kepala hitam bak anggota geng motor. Rambutnya juga gondrong. Dia memakai kaca mata hitam supaya terlihat keren. "Yo, yo. Kembali lagi bersama Hideo."

Pria berjas abu-abu tadi adalah Hisao. Kakak tertua Eliza. Wanita berblus coklat muda merupakan calon istri Hisao. Pernikahan mereka hanya tinggal menghitung hari saja. Dan pemuda sok keren di belakangnya adalah Hideo. Satu-satunya saudara Eliza yang sangat memperhatikan trend fashion. Terlihat seperti pemuda nakal, namun sesungguhnya dia adalah pemuda cerdas yang otaknya lumayan encer.

"Wah, wah. Rombongan dari ibu kota datang. Eh, tapi siapa ini?" Hideki muncul. Tiba-tiba tangannya menunjuk Hideo.

"Gue?" Hideo menunjuk dirinya sendiri.

"Oh, Hideo. Gue kira jamet." Hideki terkekeh.

"Kurang ajar!" Hideo langsung berlari menyerang Hideki.

Melihat hal itu, Hisao hanya menghela nafas panjang. Baru beberapa detik dia pulang ke rumah, tapi dia sudah melihat perkelahian antara kedua adiknya. Memang bukanlah perkelahian yang serius, namun Hisao sudah muak dengan sifat kekanak-kanakan adik-adiknya itu.

"Hey, hentikan itu!" seru Hisao. "Oh ya, mama di mana?"

Hideki melepas cengkeraman Hideo. Kini dia menatap Hisao. "Kayaknya lagi keluar. Bentar lagi pasti balik."

"Ah, gue mau keluar ah. Di sini ada si bego Hideki. Jadi panas suasana rumah ini!" sahut Hideo. Dia mulai keluar rumah.

Calon istri Hisao itu tersenyum pada Hideki. Lalu dia menaruh barang-barang bawaannya di meja ruang tamu. Kini, tinggal Hisao dan Hideki yang dudu di ruang depan.

"Gimana kuliahmu di sini?" Hisao duduk di samping adiknya.

Hideki mengangguk. "Baik. Mungkin lebih baik dari pada kuliah di ibu kota."

Hisao terkekeh. "Oh ya, Eliza mana? Jam segini harusnya udah pulang sekolah," tanya Hisao.

"Dia bolos sejak kemarin. Dia jalan-jalan ke daerah gunung." Hideki menguap. Dia terlihat habis bangun tidur.

"Daerah gunung mana? Kan gunung ada banyak?"

"Nggak tahu." Hideki merogoh ponselnya di saku. Dia mulai megotak-atik ponselnya. Dia membuka email berlampir gambar rumah tua yang dikirim Eliza. Dia menyodorkannya ponselnya ke Hisao. "Dia ke sini."

Melihat itu, mata Hisao membelak. Dia Dia segera meraih ponsel adiknya. "Ini. Ru-rumah ini?"

"Yah, dia ke sana."

Hisao langsung gemetar. Dia menyerahkan ponsel itu kembali pada Hideki. "Pinjem motor!"

Tanpa ragu, Hideki memberi kunci motornya pada Hisao. "Buat apa?" tanya Hideki.

Hisao diam. Dia tidak menjawab apapun. Dia terlihat keluar rumah dengan terburu-buru. Tanpa basa-basi, dia mengambil motor yang berada di garasi. Hideo masih berada di luar. Dia memperhatikan tingkah aneh kakaknya. "Oy, mau ke mana?"

Hisao menyalakan motor tersebut. "Penting, gue harus memastikan sesuatu."

"Apa ha?"

Hisao tidak lagi menjawab. Dia langsung tancap gas dengan kecepatan melebihi normal.

"Oy, jangan ngebut!" seru Hideo. Namun, Hisao sudah jauh. Entah dia mendengar larangan Hideo atau tidak. "Jangan ngebut, jalanan lagi rame!"

Terlambat, Hisao sudah memacu motornya dengan sangat kencang. Entah apa yang sedang Hisao pikirkan. Namun, terlihat bahwa dia sedang panik setelah tahu Eliza pergi ke rumah tua.

Dalam beberapa menit, Hisao sudah sampai ke jalan raya. Banyak sekali kendaraan yang melintas dengan kecepatan di atas rata-rata. Dengan ceroboh, Hisao melihat ke arah arjoli yang ada di tangannya.

16.00

Hisao tidak memperhatikan jalanan. Tanpa disadari, Hisao menerobos lampu merah di perempatan jalan raya. Dari sisi kiri perempatan, ada sebuah truk besar yang tengah melaju kencang. Pengemudi truk itu kaget dengan kemunculan Hisao di depan kendaraannya. Dia langsung mengerem truknya sambil membunyikan klakson. Namun tetap saja, meski sudah direm, perlu beberapa detik untuk kendaraan tersebut benar-benar berhenti sempurna. Sayangnya, truk tersebut tadinya melaju dengan sangat kencang. Kini sulit untuk berhenti.

TINN, TINN, TINN

Sialnya, Hisao tidak menyadari hal tersebut. Tanpa disengaja, truk tersebut langsung menghempaskan tubuh Hisao beserta motornya.

Jeritan panik orang-orang si sekitar langsung memecah hiruk piruknya suasana jalan raya.

Truk tersebut kebablasan sampai menabrak lampu merah. Pengenudinya juga langsung tidak sadarkan diri. Meski begitu, kondisi Hisao jauh lebih buruk. Dara segar memenuhi hampir setiap inci jas abu-abunya, kepalanya mengeluarkan banyak sekali darah dan mata Hisao telah menutup sempurna.

Tabrakan dengan truk tersebut amatlah kencang. Ditambah lagi tubuh Hisao terhempas sejauh sepuluh meter.

Orang-orang langsung mengerumuni tubuh Hisao. Namun, tidak ada yang berani memegangnya atau membawanya ke rumah sakit. Salah satu pengendara sudah memanggil ambulance. Namun, apakah akan tepat waktu?

Di sisi lain, Eliza tengah menikmati kesejukan daerah gunung dipadukan dengan keindahan air terjun. Dia melihat Naran dan Syahnaz tertawa ria bermain air, Dean duduk di sampingnya sambil menikmati makanan ringan. Di sana sudah mulai sepi. Hanya ada beberapa pengunjung yang masih bermain air.

Eliza memperhatikan Naran dan Syahnaz. Sepertinya mereka sangat bahagia dan saling membahagiakan.

Apa seperti itukah yang dinamakan cinta? Eliza tidak tahu. Dari dulu sampai sekarang, dia belum pernah berpacaran dengan siapapun.

Tanpa Eliza sadari, jantungnya berdegup dengan sangat kencang. Sepertinya ada sesuatu yang tidak beres. Namun, dia tidak mengerti. Ada sesuatu yang sesak sedang bergemuruh di dadanya.

Dia kemudian meraba lehernya. Di sana terikat sebuah kalung perak pemberian kakak tertuanya, Hisao. Sepertinya kalung itu ingin mengatakan sesuatu pada Eliza.


Continue Reading

You'll Also Like

660K 30.8K 23
( JANGAN LUPA FOLLOW SEBELUM BACA. SETELAH BACA JANGAN LUPA VOTE, KOMEN DAN KRITIKNYA. MAKASIH) Imperium School bukan sekadar sekolah biasa, bukan se...
61.9K 4.5K 38
[ PERINGATAN KONTEN DEWASA ] Dimulai dari kasus pembunuhan berantai yang mustahil untuk di pecahkan. Yang diketahui hanya cara tewasnya korban. Semua...
618K 6.8K 100
[ 𝗖𝗢𝗠𝗣𝗟𝗘𝗧𝗘𝗗 ] 𝗡 𝗘 𝗪 𝐁𝐄𝐋𝐔𝐌 𝐃𝐈 𝐑𝐄𝐕𝐈𝐒𝐈❎ ⚠️𝐂𝐋𝐎𝐒𝐄 𝐑𝐄𝐐𝐔𝐄𝐒𝐓⚠️ 𝘉𝘶𝘢𝘵 𝘬𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯 𝘱𝘢𝘳𝘢 𝘱𝘦𝘯𝘶𝘭𝘪𝘴 𝘢𝘵𝘢𝘶 𝘱...
Oktober By Bintang

General Fiction

381 112 26
Silakan Folow Dulu Sebelum membaca!! Sesuatu telah terjadi hingga merenggut kebahagiaan lima tahun yang telah Reya rajut bersama sang kekasih. bermi...