Dark Angel [END]

By anna_minerva

138K 27.4K 1.7K

"Kadang kala, kau akan menemukan manisnya cinta dalam setiap tarikan napas seorang pendosa" -Dark Angel- *** ... More

BAB 1 - Anastasya
BAB 3 - Detektif Kembar
BAB 4 - Vicky
BAB 5 - Petunjuk Pertama
BAB 6 - Bunuh Diri?
BAB 7 - Selingkuhan
BAB 8 - Bullying
BAB 9 - Kecelakaan yang Disengaja
BAB 10 - Taksi Biru dan Sebuah Obat
BAB 11 - Surat Dari Igrid
BAB 12 - Siapa Mirai?
BAB 13 - Pencarian
BAB 14 - Kisah Si Genius
BAB 15 - Petunjuk Baru
BAB 16 - Daerah Gunung
BAB 17 - Rahasia Rumah Tua
BAB 18 - Buku Diary Tersobek
BAB 19 - Siapa Dia?
BAB 20 - Album Lama
BAB 21 - Mengumpulkan Kejanggalan
BAB 22 - Sampai Jumpa, Gadisku
BAB 23 - Bertanya Pada Ferida
BAB 24 - 1994
BAB 25 - Aku Yang Sesungguhnya
BAB 26 - Menerima Takdir
BAB 27 - Petunjuk Dari Dokter Yelena
BAB 28 - Menggeledah
BAB 29 - Ancaman
BAB 30 - Penembakan
BAB 31 - SDN Janggala
BAB 32 - Cinta Pertama
BAB 33 - Bukti
BAB 34 - Secarik Kertas
BAB 35 - Penyusup
BAB 36 - Keyakinan
BAB 37 - Kekalahan?
BAB 38 - Julia Kecil
BAB 39 - Si Bedigasan
BAB 40 - Siapa Vanya?
BAB 41 - Seseorang yang Terlupakan
BAB 42 - Perpustakaan
BAB 43 - Penembakan (Lagi)
BAB 44 - Pria Bertopeng
BAB 45 - Kecurigaan Tersembunyi
BAB 46 - Perkelahian
BAB 47 - Bayangan
BAB 48 - Setitik Asumsi
BAB 49 - Terlambat
BAB 50 - Iris
BAB 51 - Tidak Ada Kata Terlambat
BAB 52 - Kembali
BAB 53 - Kenyataan
BAB 54 - Masa Lalu Itu
BAB 55 - Deklarasi
BAB 56 - Ambigu
BAB 57 - Ruang Bawah Tanah
BAB 58 - Cerita dan Segalanya
BAB 59 - Mirai dan Segalanya
BAB 60 - Pengungkapan
BAB 61 - Pertarungan dan Jawaban
BAB 62 - Permintaan
BAB 63 - Pertaruhan Terakhir
BAB 64 - Sampai Jumpa
BAB 65 - Usai
BAB 66 - Sesuatu yang Berharga
Epilog
Hallo, Kak !
-Sekadar Menyapa (dan curhat)-

BAB 2 - Korban Pertama

5.5K 759 34
By anna_minerva

Eliza mengamati jasad itu meskipun dia sudah tidak tahan lagi untuk menatapnya lama-lama. Luka lebam di penjuru tubuh Anastasya seperti bekas hantaman benda tumpul. Darah-darah yang berceceran sudah mulai mengering menandakan pembunuhan sudah dilakukan cukup lama. Kepalanya digorok dengan sangat rapi, seakan dieksekusi langsung menggunakan gergaji mesin. Tapi, tidak mungkin. Tidak mungkin ada orang yang membawa gergaji mesin ke sekolah. Bisa dipastikan si pembunuh sudah terbiasa melakukan hal seperti ini sehingga dia dapat melakukannya dengan rapi.

Eliza ingat bahwa kemarin saat jam pelajaran pertama, Anastasya pamit undur diri dari kelas. Lalu saat istirahat, sekitar pukul sepuluh siang, Anastasya menelephone Eliza.

Eliza mulai berburuk sangka. Dia berfikir bahwa Anastasya menghubunginya untuk meminta bantuan.

Tubuh Eliza tambah bergetar hebat. Andai saja dia mengangkat panggilan itu, mungkin ini semua tidak terjadi.

"Apa yang harus kita lakukan? Di-di mana kepalanya? " kata seorang guru perempuan di samping Eliza.

"Kepala nggak ditemukan?" tanya guru yang lainnya.

Guru perempuan itu menggeleng. Hal tersebut membuat Eliza tambah syok berat. Kepala Anastasya hilang.

"Kalian minggirlah, saya sudah memanggil polisi!" seru Pak Van. Dia membawa sebuah penggaris kayu panjang di tangan kanannya, memerintah siapa saja untuk menjauhi ruang tata boga.

Tidak lama kemudian para polisi datang dan menyuruh para siswa-siswi yang menonton untuk menyingkir. Mereka memberi garis polisi pada ruang tata boga dan tidak membiarkan siapapun masuk ke sana. Eliza yang masih mematung di tempat terpaksa membuat beberapa teman menuntunnya untuk keluar.

Namun, terlihat masih ada dua siswa kembar yang masih berdiri di sana dengan santai. Yang satu sedang memangku pipinya di telapak tangan dan yang satu lagi sedang berjongkok sambil memperhatikan mayat Anastasya dengan jarak kurang dari satu meter. Tiba-tiba Pak Van menjewer mereka berdua dan menyeret kedua anak kembar itu pergi dari sana. Mereka berdua menabrak Eliza yang masih mematung.

"Eh, maaf kak," katanya.

Eliza hanya terdiam sambil menatap sesuatu yang harusnya tidak dia tatap itu. Sebuah mayat dengan keadaan mengenaskan yang tidak utuh itu. Jantung nya terasa berhenti berdetak namun dia masih bernafas. Eliza benar-benar tidak akan pernah melupakan hal itu.

Beberapa meter dari tempat Eliza berdiri, terdapat Dean yang perut nya sudah mual. Dia memang salah satu seorang pemuda yang di kenal paling tangguh di State Lighting, namun hanya dengan pemandangan seperti itu saja sudah membuat isi perut nya kacau. Bibir Dean kelu dan membiru. Dia ingin berteriak, namun tidak bisa. Saat itu pertama kalinya bagi Dean merasakan sesuatu yang seakan membuat tubuh dan jiwa nya terpisah. Tidak lama setelah itu, Dean dan beberapa temannya pergi dari sana.

"Hey, kalian dengar atau tidak? Pergi dari sini! Kalian bisa menghilangkan barang bukti jika terus-terusan berkerumun di sini! Minggir!" teriak Pak Van.

Eliza masih mematung di sana dan tidak mendengarkan apa yang Pak Van katakan. Toh, Pak Van tidak akan tega untuk memukul anak gadis. Tapi, beberapa teman Eliza menggandeng nya untuk menjauhi TKP. Eliza hanya bisa diam dan menurut karena tubuhnya masih terasa seperti patung.

"Ngeri banget ya, nanti malem pasti gue nggak bisa tidur," kata salah satu temannya.

"Khasus ini pasti bakal heboh, bakal banyak wartawan yang kesini," kata yang lainnya.

"Nggak mungkin, kepala sekolah nggak akan ngebiarin khasus ini ngerusak nama State Lighting."

"Lo bener. Tapi mungkin bakal ada murid yang buka masalah ini ke publik dengan sengaja atau nggak sengaja."

"Ah, gue nggak tahu itu. Kita lihat saja nanti. Oh iya, gimana menurut lo, Eliza?"

Eliza menggeleng, menandakan dia tidak ingin mengatakan apapun. Pandangannya masih kosong, kedua kakinya masih terlalu lemas untuk digerakkan.

"Lo nggak apa-apa, El?"

Sekali lagi Eliza menggeleng. Eliza melangkah perlahan menuju kelas. Di tengah perjalanan, dia berpapasan dengan Dean yang tengah melamun. Duduk di salah satu kursi panjang yang ada di depan sebuah kelas.

Eliza melihat Dean memijat pelipisnya. Dia merasa pusing karena pemandangan luar biasa tadi. Namun setelah melihat Eliza, Dean langsung berdiri lalu tersenyum. Dia tidak ingin terlihat lemah sebagai anak laki-laki. Apa lagi dihadapan gadis spesial seperti Eliza.

"De-Dean--"

"Eliza. Ini buruk. Harusnya ini tidak terjadi." Pandangan mata Dean tidak tertuju pada Eliza. Dia sedang menyembunyikan ketakutan di dalam matanya pada Eliza.

"Iya gue tahu. Harusnya gue jawab telephone Anastasya kemarin." Eliza menjawab.

"Hah? Emang ada kaitannya sama panggilan nggak terjawab kemarin?" Dean langsung menatap Eliza dengan melongo.

"Mu-mungkin saat itu dia lagi dapet masalah dan te-terus butuh bantuan." Eliza mengepalkan genggamannya.

"Nggak Eliza. Ini nggak ada kaitannya dengan lo!"

"Harusnya gue jawab panggilannya. Ini kesalahan gue, Dean." Eliza memejamkan matanya. Dia berharap setelah dia membuka matanya, ini semua hanyalah mimpi. Mimpi yang tidak nyata dan tidak akan pernah menjadi nyata.

"Eliza, itu nggak bener, dasar payah!"

"Si-siapa yang tega ngelakuin hal kayak gini?" Eliza masih bergetar.

"Polisi segera menemukannya, El... Mungkin," jawab Dean.

Tidak lama kemudian, Hilda dan teman-temannya berjalan menuju Eliza. Wajah Hilda masih memerah dan matanya masih bengkak. Dia menangis sejadi-jadinya karena kehilangan sahabat yang paling dia cintai. Apalagi sahabatnya itu pergi dengan cara yang tidak wajar.

Kepala Anastasya hilang, sedangkan tubuhnya sudah tidak terlihat seperti tubuh manusia. Luka lebam dapat di temukan di mana-mana, darah yang sudah mengering dapat di temukan di sekujur bajunya, beberapa bagian tubuh Anastasya juga memerah seakan ada darah yang membeku di dalam kulitnya. Hal tersebut membuat Hilda benar-benar merasa gila.

Tanpa basa-basi, Hilda mendorong Eliza sampai tersungkur. Itu karena Eliza bilang bahwa Anastasya menelephone Eliza, namun dia tidak menjawab. Hilda yakin, jika Eliza menjawab telephone Anastasya maka semua ini tidak akan terjadi.

"Eh, maksud lo apa?" Dean membantu Eliza untuk berdiri sembari melotot pada Hilda.

"Gara-gara Eliza, Anastasya harus kayak ini!" kata Hilda.

"Maksud lo apa hah?!" Nada bicara Dean tinggi.

"Karena ke-tidak pedulian Eliza ini semua terjadi. Eh, Eliza! Harusnya lo ngangkat telephone Anastasya kemarin! Saat itu Anastasya sedang butuh bantuan! Tapi, lo sama sekali nggak peduli."

"Kalian ini apaan sih? Kayak bocah banget tahu nggak! Kenapa kalian nyalahin Eliza? Kenapa nggak nyalahin pembunuhnya coba?!"

Hilda pun terdiam sebentar. Matanya masih memerah menatap Eliza dengan amarah. Eliza hanya menundukkan pandangannya. Dia merasa benar-benar bersalah. Andai dia menjawab telephone Anastasya kemarin, mungkin hal mengerikan ini tidak akan terjadi. Namun, dia juga heran kenapa Anastasya menelephone. Jika Anastasya berada dalam masalah, harusnya dia menelephone temannya, bukan musuhnya.

"Ta-tapi, kenapa dia malah menelephone gue? Bukan menelephone salah satu dari kalian?" tanya Eliza.

"Biasanya, kalau ada masalah dia menelephone Hilda, tapi ponsel Hilda kan disita," jawab salah satu gadis yang berada dibelakang Hilda.

"Eliza, gue yakin pasti saat itu Anastasya sedang berada di dalam masalah! Tapi lo menolak telephone nya. Lo bener-bener nggak peduli sama orang lain!" Hilda mengusap bulir-bulir air matanya.

"Ya, kalau gue jadi Eliza, gue juga nggak akan jawab panggilan itu. Anastasya udah banyak buat masalah sama Eliza." kini Dean yang menjawab dengan amarah yang masih terlihat di wajahnya.

Perkataan Dean membuat Hilda dan teman-temannya terdiam. Pemuda jangkung itu menyipitkan matanya sambil tersenyum miring. Dia memang sedih atas kepergian Anastasya, apa lagi dengan cara yang mengerikan seperti ini. Selama ini, Anastasya mencintainya dan Dean tidak pernah mempedulikan hal itu. Di dalam hatinya, dia berharap supaya dia bisa mengulang waktu. Sebentar saja, dia akan membalas cinta Anastasya meskipun hanya se titik. Matanya berkaca-kaca dan mungkin akan segera menangis.

Dean langsung pergi dari sana sambil menarik Eliza yang masih mematung. Dia membawa Eliza menjauh dari pada melihat Eliza berdebat dengan para gadis kekanak-kanakan itu. Jika Eliza terus-terusan di sana, maka bisa jadi gadis-gadis itu akan berkelahi dengan Eliza. Dean tidak ingin itu terjadi.

Langkah kaki Dean dan Eliza berhenti di depan ruang kelas Dean, XI IPA 2.

"Gue pikir, hari ini akan jam kosong sampai pulang." Dean melepaskan tangan Eliza.

"Mungkin Hilda benar, gue juga harus bertanggung jawab atas hal ini." Kini, bola mata Eliza mulai berair.

"Sudahlah El, biar polisi yang menungkap siapa yang salah." Dean mencoba menenangkan.

"Lalu, apa kita harus diam saja dan menunggu polisi?"

"Apa lagi yang bisa lo lakukan? Ikut mencari tahu siapa pembunuhnya? Bermain detektif-detektifan? Gitu?"

Eliza hanya terdiam menunduk. Dia mengusap bulir-bulir air matanya yang satu persatu jatuh. Tidak lama setelah itu, dia menutup kedua wajahnya dengan telapak tangan. Suara sesenggukan perlahan terdengar. Hal tersebut hanya membuat Dean melongo. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan di situasi semacam ini.

"Lo kok nangis sih?" Dean menggaruk rambutnya yang tidak gatal sama sekali.

Dean tahu tangis Eliza semakin menjadi-jadi meskipun tidak besuara kencang. Beberapa orang yang lewat menatap Eliza dan juga Dean. Tentu saja di batin mereka, Dean-lah yang membuat Eliza menangis. Dean hanya menanggapi itu dengan senyuman manis lengkap dengan lesung pipi yang mengambang.

Menatap Eliza seperti itu membuat dada Dean terasa sesak. Andai dia bisa bilang, "Jangan menangis, jangan menangis selama aku masih ada." Namun itu hanya akan terdengar seperti omong kosong seorang fuckboy. Boleh jadi, Eliza akan menamparnya setelah dia mengatakan itu. Jadi Dean tidak akan mengatakannya.

"By the way, seumur hidup gue nggak pernah lihat cewek nangis. Rasanya jadi pengen nangis juga." Dean berusaha mencairkan suasana, berusaha menghentikan air mata Eliza meskipun tidak bisa berbuat apapun.

Eliza mengabaikan Dean. Dia berjalan perlahan menjauhi Dean. Yang Eliza ketahui, Dean van Lier merupakan ketua ekstrakurikuler basket yang dikenal dingin dan selalu acuh pada orang lain. Dia tidak peduli pada siapa-pun, bahkan orang-orang yang menyemangatinya ketika dia sedang bertanding. Dia memang dikagumi oleh banyak siswi, tapi dibenci oleh beberapa siswa.

Namun, Dean van Lier yang cerdas dan merupakan murid terbaik tahun lalu bukanlah tipe orang yang seperti itu. Ketika Eliza sudah cukup dekat dengannya, dia malah menunjukkan sisi lain dari Dean van Lier. Sisi yang konyol, berselera humor receh, suka ikut campur urusan orang lain dan sangat cerewet.

"Tunggu El!" Setelah beberapa langkah Eliza berjalan, Dean menghentikan langkah Eliza.

Eliza berhenti sejenak menunggu Dean berjalan menuju ke arahnya.

"Mau bermain detektif-detektifan?" bisik Dean.

"Hah? Apaan sih?" Eliza masih berusaha menahan tangisnya dan mencerna apa yang Dean katakan.

"Maksud gue, kalau lo pengen ikut bantu polisi mengungkap kasus ini. Kebetulan gue punya teman seorang detektif."

"Ngelawak lo?"

"Beneran. Emang terdengar konyol, tapi gue yakin kasus ini bakal ditangani sama mereka juga. Karena lo merasa bersalah banget atas kematian Anastasya, jadi lo bisa ikutan bantu mereka nyari pelakunya. Siapa tahu setelah itu rasa bersalah lo ikutan ilang." Dean mengangkat bahu dan telapak tangannya.

Eliza berfikir sejenak. Dia pernah dengar jika bahwa jika seseorang memiliki kesalahan, maka dia juga harus memperbaiki kesalahan itu. Dengan membantu mencari pelaku pembunuhan Anastasya, Eliza akan menjadi sedikit memperbaiki kesalahannya. Meskipun itu tidak akan mengembalikan nyawa Anastasya, setidaknya hanya itu yang bisa dilakukan olehnya.

"Lo bener, Dean," lirih Eliza.

Dean tersenyum tipis. "Kita adalah tim. Sudah lama sekali kita nggak maju ke olimpiade. Jadi, jadikan ini olimpiade antara kita dan pembunuhnya. Ngomong-ngomong gue juga suka membaca buku tentang khasus-khasus pembunuhan, sekarang tantangannya nyata. Lo juga suka baca Sherlock Holmes 'kan?"

Eliza mengangguk. Dia setuju akan ikut mengungkap dalang di balik peristiwa itu. Ada dorongan di dalam dirinya untuk melakukan hal tersebut. Meski terdengar konyol, tapi hanya itu yang bisa dilakukan Eliza.

Tidak lama setelah itu, sekolah dipulangkan demi membantu penyelidikan polisi. Kepala sekolah juga menghimbau kepada seluruh keluarga besar State Lighting untuk menutupi khasus ini dan tidak menceritakannya kepada orang luar sekolahan. Karena peristiwa ini pasti akan menodai nama State Lighting.

Sesampainya Eliza di rumah, dia disambut oleh Mamanya yang sedang membaca majalah di teras.

"Eliza sayang, kenapa sudah pulang dan kenapa wajahmu murung seperti itu?" Mama menatap wajah Eliza. Masih terlihat sembab karena menangis tadi. Namun terkadang wajah Eliza memang seperti itu. Sekali memerah karena kepanasan. Jadi, Mamanya tidak terlalu curiga.

Eliza ingin menceritakan apa yang terjadi di sekolah. Namun, dia mengingat himbauan kepala sekolah. Lagi pula Mama Eliza merupakan ibu-ibu yang suka gosip ke sana-kemari. Bisa jadi masalah itu akan meledak karena Mama Eliza.

Mama Eliza adalah seorang perempuan berkewarganegaraan Jepang. Dia tinggal disini karena ikut suaminya. Wajah mama Eliza benar-benar wajah perempuan Jepang dengan gigi gingsulnya. Dia memiliki rambut pendek, mata bulat dan hidung kecil runcing. Namun dia tidak mirip-mirip amat dengan Eliza. Padahal kakak-kakak Eliza begitu persis dengan mamanya.

"Ummm... Ta-tadi sempat ada rapat. Jadi kami free dan aku kelelahan karena habis bersih-bersih," jawab Eliza setelah sekian lama merenung.

"Sepertinya kamu berbohong." Mama Eliza menyipitkan pandangannya.

"Aku nggak pernah berbohong sama Mama."

Mama Eliza menutup majalah yang sedang dia baca. "Yah, Mama tahu itu. Lakukan apa yang kau inginkan, Eliza."

Eliza hanya tersenyum sambil menyembunyikan kesedihan dan perasaan bersalahnya dari mamanya. Kemudian dia segera masuk kedalam rumah dan membiarkan mamanya menikmati majalah favoritnya.

Tiba-tiba ponsel Eliza bergetar. Dia segera membuka ponselnya. Dia memiliki rasa trauma dengan mengabaikan ponsel yang berdering. Itu merupakan sebuah pesan yang masuk dari Dean.

From : Dean
Eliza, kita jadi main detektif-detektifan kan? Jika jadi, pergi ke cafe sunflower jam 4 sore nanti.
Kita akan bertemu dengan detektif yang sesungguhnya.
Jangan lupa jam 4 tepat...

Eliza menghela nafas panjang, memutar kedua bola matanya. Dia berfikir bahwa Dean menganggap hal ini merupakan permainan. Tapi di dalam hatinya bersikukuh untuk menemui Dean. Dia memiliki rasa trauma karena telah mengabaikan orang lain. Jadi dia membalas pesan Dean dengan "Okay".

From Dean :
Jangan menangis lagi, kalo masih nekat nangis. Nanti malem gue mau main gitar di depan rumah lo:) Lagu Fly me to the moon lengkap dengan suara fals:)

Eliza tersenyum. Dean memang selalu menghiburnya di kala seperti ini. Eliza sangat beruntung karena di pertemukan dengan pemuda itu.

Kini Eliza berjalan menuju kamarnya. Dia langsung meletakkan tasnya di kursi belajarnya dan langsung merebahkan diri di atas kasur. Eliza menatap langit-langit plafon yang berwarna putih. Pikirannya masih berada pada mayat yang mengerikan tadi dan perasaan bersalah yang luar biasa. Harusnya, dia menjawab telephone Anastasya kemarin.

Sebenarnya, Eliza sendiri kurang yakin apabila Anastasya menelephone untuk meminta bantuan darinya. Karena dia tidak mungkin meminta bantuan dari musuhnya. Tapi, boleh jadi Anastasya tidak memiliki pilihan lain. Boleh jadi hanya Eliza yang dapat membantunya saat itu. Perasaan Eliza benar-benar berantakan karena itu.

Di dalam hatinya hanya ada kalimat,"Maafkan aku Anastasya."

***

Hai guys, jangan lupa vote dan komen. Buat aku seneng dikit gitu lho ya 😁😂




Continue Reading

You'll Also Like

271K 32.2K 43
(TAMAT, PART DIACAK) Temukan cerita yang sama di Dreame/Innovel ________________________________ "Ikuti apa yang aku katakan!" "Melompatlah." Jangan...
88.2K 4.5K 32
"Please don't leave me" ❖Beberapa chapter sudah diubah isinya, harap maklum jika menemukan beberapa comment yang tidak terkait dengan isi.... Cover...
587K 76.8K 50
[A Thesis of Marriage 2nd Half] *** Blurb: SMA Heksagon adalah salah satu SMA swasta yang terkenal elite dengan siswa siswi yang berkemampuan akademi...
12.7K 952 42
Ada 4 siswa di SMA Laskar Orion (Skarion) yang harus kalian hindari: Pertama, Arsena Laskar Anggara, 11 IPA 1. Aslinya kelas 12. Cowok tung...