WHAT IF? (mark + koeun)

By day202

45.6K 5.5K 2.1K

What if? Bagaimana jika? Apabila Markoeun itu nyata adanya, mungkinkah hal-hal kecil disekitar mereka menjadi... More

Love At First Sight
Rainy Girl
Toy
Dance Dance Dance
Walk You Home
Sorry
Be Happy, I'm Sorry
Sweet Little Secret
Baby Step
Couple Things
Library
Runaway
Classmate
Baby Don't Like It
Nanya Dong
A Pair Of Eyes
The First Chatting Session
Try Again
Friendzone
Some
Hairstyle
Is It The End?
Paper Plane
You'll Be Okay
Memory Of The Wind
Unspeakable Word
Little Peck
3 a.m
She Is Gone
Late Night Cafe
A Hug
Make Her Smile
Retrouvailles
Admirer
Sunday Morning
It's Fine
Waiting
I'll Be There
Distance
Words
Her House
Unfaithful
Dream Stage
Espresso
Rendezvous
Science
Give Up
Rainy Morning
Balcony
Beautiful Goodbye
Missing You
Angel
Another
Amnesia
Stand By Me
Candy Shop
F.W.B
Love The Way You Lie
Insecure
Listen To This Song
New York
Moonlight
Reverie
Comfort Zone
Feeling
Something Forgotten
Two Hearts
Secretary
Christmas Gift
Pit A Pat
Festival
Announcement
Distance
Secret
Sophie
Double Date
New Start
Way To Get You
Watermelon Lipbalm
!!! Mau Promosi !!!
Time Machine
Gotta Be You
Drivers License
Straight To You
Happy
Rumit

First Love

352 61 15
By day202

When she remember about her first love

Satu hal yang kadang menjadi hal cukup serius bagi seorang ibu adalah ketika putrinya mulai beranjak remaja. Ketika mereka mulai mempelajari betapa dunia mungkin akan mempermainkannya. Ketika mereka sadar jika tak selamanya kisah nyata akan berakhir bahagia seperti dongeng-dongeng pengantar tidur.

Ini tentang Nara yang tidak tahu harus melakukan apa saat dirinya dihadapkan pada perasaan asing. Dan entah bagaimana caranya, tiba-tiba menyusup dalam dirinya tanpa ia sendiri sadari.

Malam-malamnya lebih banyak dihabiskan dengan merenung seorang diri di kamar. Kadang sambil membuka jendela kamarnya di lantai dua yang langsung menghadap langit gelap berbintang. Menekuk lututnya dan beberapa kali menghela nafas.

Kenyataan itu tak bisa Koeun acuhkan. Dia sedikit bingung melihat bagaimana putrinya yang dulu ceria tiba-tiba lebih senang menyendiri. Jarang sekali ia tersenyum seperti sedia kala.

Dan malam ini, perempuan berusia diatas 30 tahun itu berniat mencari sesuatu yang mungkin putrinya sembunyikan. Ketika usai makan malam dan membereskan semuanya, Koeun memasuki ruangan pribadi milik putrinya.

Sekali ia mengetuk pintu kayu itu sebelum membukanya pelan. Benar dugaannya ketika ia bisa melihat Nara merenung lagi.

"Nara......?" Koeun memasuki kamar itu. Berjalan menuju posisi putrinya yang lagi-lagi duduk sambil menatap bintang. Ia bahkan tak terlihat terusik dengan kedatangan ibunya. "Kau belum tidur?"

Nara menoleh sekilas lalu tersenyum kecil. Mulai menyadari jika seseorang yang ia sayangi sudah duduk disebelahnya. "Belum ma, Nara belum mengantuk."

Koeun mengambil tempat di sisi putrinya. Mengusap pelan puncak kepalanya sayang. "Kenapa? Apa ada banyak hal yang sekarang sedang Nara pikirkan?"

"Tidak juga. Nara hanya belum ingin tidur."

"Oh ya?" Ibu satu anak itu ikut meniru posisi duduk putrinya. Sekarang mereka berdua sudah duduk bersisian dengan posisi yang sama. Menatap kearah langit malam dengan taburan bintang semarak serta bulan purnama yang bulat penuh. Cantik. "Tapi ibu lihat akhir-akhir ini putri ibu tidurnya selalu terlambat. Nara pasti sedang memikirkan sesuatu kan?"

Gadis remaja itu menggigit kecil bibirnya. Ia kemudian merebahkan kepalanya di pundak sang ibu sambil mengamit lengannya. Menghela nafas lagi sebelum menceritakan isi kepalanya yang mengganggu akhir-akhir ini. "Ma, apa Nara boleh bertanya?"

"Tentu saja sayang. Nara ingin bertanya apa?"

"Nara........." Gadis itu terlihat menahan sesuatu dalam dirinya. Masih tersisa rasa segan untuk bercerita dan takut untuk berbagi rahasia. "Sepertinya Nara menyukai teman laki-laki Nara di kelas."

Koeun yang sejak tadi menatap langit malam dari balik jendela kamar putrinya sambil mengusap surai panjang Nara menoleh. Menatap putrinya itu dengan pandangan bingung dan kaget. "Nara menyukai seseorang?"

"Begitulah."

Detik itu juga Koeun sadar jika Nara sudah mulai beranjak dewasa. Dia tak pernah membayangkan akan mendapati putrinya termenung hanya karena sedang jatuh cinta. Melihatnya seperti ini sangat menggemaskan.

"Lalu kenapa Nara harus jadi sebingung ini?"

"Apa mama tidak melarang Nara jika Nara menyukai seseorang?"

Ibu satu anak itu tertawa kecil. Memeluk tubuh putrinya yang kini sudah sempurna bersandar di dadanya. "Kenapa mama harus melarang Nara untuk jatuh cinta? Semua itu wajar sayang. Jatuh cinta itu hal yang biasa untuk gadis seusiamu."

"Oh ya? Apakah mama waktu seumuran Nara juga merasakan jatuh cinta?"

Sang ibu tersenyum. Masih tetap mengelus puncak kepala putrinya. Yang kini berubah menjadi sisiran-sisiran halus. Merapikan bagian yang berantakan.

"Tentu saja. Mama kan juga gadis normal dulu."

"Benarkah?" Gadis remaja itu terlonjak dari posisinya. Menatap takjub kearah sang ibu. Matanya tiba-tiba berbinar penuh semangat. "Coba mama ceritakan tentang kisah mama itu! Cinta pertama mama."

"Apa kau mau mendengarnya?" Koeun tersenyum sedikit malu. Baginya, agak memalukan jika harus menceritakan tentang cinta pertamanya pada putrinya itu. Seolah kembali dibawa ke masa lalu dan mengenang semuanya. "Tapi ini memalukan."

"Oh ayolah ma, ini tak akan memalukan." Nara masih terlihat bersemangat. Bahkan beberapa kali mengguncang tubuh Koeun dan memaksa ibunya itu untuk bercerita. "Nara janji tidak akan menertawakan cerita mama."

"Baiklah jika kau memaksa."

***

Cerita ini berawal ketika Koeun pertama kali masuk sekolah menengah pertama. Di hari upacara penerimaan siswa baru. Awal musim semi.

Koeun sebenarnya cukup membenci musim semi. Bukan hanya karena diawal musim ini berarti dia harus kembali sekolah, tetapi juga keadaan hidungnya yang sangat sensitif. Setiap awal musim semi, ia tak akan bisa berhenti bersin-bersin karena alergi serbuk bunga. Dan musim semi bukankah berarti bunga-bunga itu mulai bermekaran?

Di hari upacara penerimaan siswa baru, ia muncul dengan masker yang menyembunyikan hidung memerahnya. Rambutnya disisir rapi hari itu. Dan ini pertama kalinya ia memakai seragam. Jadi, penampilan Koeun cukup sempurna kecuali adanya masker yang menutupi wajah menariknya.

Dengan menggendong ransel hitamnya, ia berjalan melewati gerbang sekolah. Di sekelilingnya banyak wajah asing. Tapi tak sedikit juga wajah-wajah yang pernah ia kenal meskipun tak begitu dekat.

Walau bagaimanapun, Koeun bukanlah seseorang dengan kemampuan bersosialisasi yang tinggi. Dia payah dalam hal mencari teman. Lebih memilih diam jika tak ada yang menyapanya. Sekarang, hal itu malah jadi boomerang untuknya. Karena kini tak ada satupun orang yang mengobrol dengannya.

Dia merasa tersisih dan aneh ketika melihat disekelilingnya para siswa baru sudah bisa menemukan teman-teman baru. Mengobrolkan hal-hal seperti 'apa hobimu?' atau 'kau dari sekolah mana dulu?' seperti itu. Rasanya menjengkelkan dan membosankan. Dia hanya berdiri di pojok aula tempat upacara penerimaan siswa baru tanpa ada seseorang yang menghampirinya.

Ketika upacara akan segera dimulai, guru-guru meminta semua siswa baru untuk mencari tempat duduk mereka dan mengikuti acara dengan tenang. Lagi-lagi Koeun bingung. Karena setiap ia ingin menempati salah satu kursi, seseorang akan memintanya untuk pindah karena 'maaf, itu kursi milik temanku. Bisakah kau mencari kursi yang lain?'

Dia benar-benar terlihat menyedihkan.

Pada akhirnya, ia duduk sendirian di pojok belakang. Tidak ada seseorang yang menemaninya ataupun duduk disebelahnya. Tempat duduk itu kini kosong. Untuk membuatnya tidak terlihat makin menyedihkan, Koeun lantas membuka tasnya dan meletakkannya di kursi kosong itu. Setidaknya begini lebih baik.

"Maaf, apa kursi disebelahmu itu sudah terisi?"

Gadis itu terkejut ketika mendapati seseorang berdiri disebelahnya. Anak laki-laki cukup tampan yang menampilkan seulas senyum ramah. Dengan cara berbicara yang aneh.

"O....oh ya-- iya. Tempat ini kosong." Sedikit tergagap, perempuan itu lantas mengangkat tasnya gugup. Mempersilahkan anak laki-laki itu untuk menempati kursi yang sejak tadi kosong.

Koeun pikir setelah ini, anak laki-laki itu akan mengajaknya berkenalan atau mengobrol. Tapi mereka berdua sama-sama terdiam. Suasana lantas berubah menjadi sangat canggung.

Pada akhirnya mereka melewati upacara penerimaan siswa baru itu tanpa bertukar sepatah katapun.

Yeah, Koeun memang sepayah itu.

***

"Lalu apa mama berhasil mengenal nama anak laki-laki itu?"

Nara tidak menyangka jika cerita tentang cinta pertama ibunya mulai membuatnya tertarik. Ia ingin mengenal anak laki-laki yang mengajak ibunya berbicara lebih dulu meskipun pada akhirnya mereka tetap terjebak dalam situasi yang canggung.

Koeun mengangguk sekali. Ikut tersenyum melihat betapa bersemangat putrinya itu saat mendengar kisahnya. "Tentu saja, karena setelah itu mama tahu jika kami ditempatkan di satu kelas yang sama."

"Uwah, benarkah?"

***

Lagi-lagi Koeun harus rela duduk sendirian di bangku kelasnya ketika ia tak mendapati seorangpun bersedia mengisi kekosongan bangku di sebelahnya. Gadis itu memilih untuk duduk pada bangku yang terletak di sebelah jendela. Karena rasanya akan menyenangkan jika bisa melihat kearah hamparan langit luas saat nanti ia mulai bosan mendengarkan ocehan gurunya di depan kelas.

"Hei, kau lagi!" Koeun menoleh ketika mendengar suara seseorang yang cukup familiar dan mendapati anak laki-laki di upacara penerimaan itu berdiri disebelahnya. "Tempat disebelahmu masih tetap kosong kan? Tak keberatan jika aku duduk disini?"

"Ambilah, tidak ada yang duduk di bangku itu."

"Terima kasih." Suara anak laki-laki itu masih tetap aneh terdengar ditelinganya. Ada hal dalam nada suaranya yang terdengar tidak familiar. "Oh ya omong-omong, kita belum berkenalan. Namamu siapa?"

Anak laki-laki itu mengulurkan tangannya. Berniat menjabat tangan Koeun. Gadis itu lantas membalas uluran tangan itu sambil membuka masker yang menutupi wajahnya sejak tadi.

"Namaku Koeun. Maaf aku memakai masker karena musim semi selalu membuatku tak bisa berhenti untuk bersin-bersin."

Bahkan tak sampai 30 detik ia membuka maskernya, gadis itu kembali menegeluarkan bersin yang lantas mengalihkan semua pandangan teman sekelasnya itu. Memusatkan perhatian kearah Koeun yang kini mulai bersin tak henti.

Gadis itu buru-buru menaikan lagi maskernya sambil membungkuk dalam-dalam. Berusaha meminta maaf dan permakluman dari teman-temannya yang kemudian menaikan bahu acuh lalu kembali pada aktifitas mereka. Tanpa berniat memperhatikan Koeun lebih lama lagi.

Mungkin sekarang, hanya anak laki-laki itu yang tertawa geli menatapnya. Belum apa-apa Koeun sudah melakukan perbuatan yang bisa membuatnya dicap sebagai anak aneh.

"Kau lucu Eun." Anak laki-laki itu masih tertawa sambil menutup mulutnya. Berusaha menahan agar suara tawanya tak membuat kegaduhan yang mengakibatkan perhatian seisi kelas kembali kearah mereka. "Eh, aku boleh memanggilmu Eun kan?"

"Tentu saja."

Baru kali ini dia menemukan seseorang yang tidak menatap aneh dirinya setiap alerginya itu mulai berulah.

Anak laki-laki ini berbeda.

***

Wajah Nara makin sumbringah setelah mendengar lanjutan kisah ibunya. Kisah itu terdenga makin menarik. Seperti jala cerita novel romansa yang memang akhir-akhir ini ia gemari.

"Dia sepertinya anak yang baik ma."

"Dia memang baik, sangat baik malah." Koeun ikut tersenyum. Sekarang posisi putrinya sudah berbaring sambil merebahkan kepala diatas pangkuan ibunya. Menatap kearah wajah cantik dan anggun milik ibunya yang tak juga lekang oleh waktu. Merasakan bagaimana ibunya itu masih tetap mengelus rambutnya dengan perlahan. "Mama tak pernah berjumpa dengan seseorang yang kemudian bisa menjadi sangat dekat dengan mama."

"Oh? Apa mama dan anak laki-laki itu kemudian berkencan?"

Koeun menatap sepasang netra Nara yang percis miliknya. Mencubut ujung hidung bangit putrinya itu lalu menggeleng. "Kami bersahabat."

"Jadi mama dan anak laki-laki itu hanya sebatas sahabat saja? Kalian tidak berkencan?"

"Eum, bagaimana ya?"

"Lanjutkan lagi ma ceritanya!" Nara masih dengan ekspresi wajah ceria dan semangatnya memaksa Koeun untuk kembali bercerita. Dia tak sabar mendengar kelanjutan kisah cinta pertama ibunya itu. "Coba ceritakan akhirnya, kenapa mama bisa jatuh cinta pada sahabat mama sendiri dan bagaimana cara mama menyadari jika mama sedang jatuh cinta!"

***

Koeun tak pernah menyangka jika selama 3 tahun ini, masa sekolah menengah pertamanya bisa menjadi sangat menyenangkan. Ia pikir tetap sama seperti ketika di sekolah dasar dulu. Berjalan membosankan dan begitu saja. Pagi berangkat ke sekolah, brlajar lalu pulang. Sampai di rumah beristirahat sebentar, membantu pekerjaan rumah, belajar lagi lalu tertidur.

Nyatanya, kehadiran anak laki-laki itu menambah warna baru dalam hidupnya. Koeun jadi mengerti bagaimana rasanya punya sahabat. Yang selalu ia ajak bercanda bersama, makan siang bersama bahkan mengerjakan tugas liburan yang banyaknya menggunung bersama.

Koeun kenal orang tua anak laki-laki itu, pun sebaliknya. Mereka praktis pergi kemanapun berdua. Bahkan banyak anak-anak di sekolah yang mulai salah sangka dengan hubungan mereka. Tapi gadis itu tidak peduli.

Satu hal yang kemudian membuatnya menjadi berat adalah ketika hari kelulusan tiba. Rata-rata anak di sekolah Koeun memilih untuk melanjutkan di sekolah menengah atas yang masih berada di kompleks yang sama degan sekolahnya sekarang. Ia pun sempat berpikir demikian. Karena entah mengapa, gadis itu yakin jika sahabatnya akan melanjutkan di tempat yang sama.

Tapi ekspektasi dan keyakinannya hanya berakhir dengan hal yang semu. Kenyataannya, anak itu memilih untuk pergi jauh. Meninggalkannya sendirian lagi.

"Eun, aku minta maaf." Ujarnya kala itu. Mereka sedang berdiri di belakang aula sekolah. Saat semua siswa angkatannya bersuka cita menyambut hari kelulusan. "Aku harus pergi."

"Kau akan pergi kemana?"

Koeun tak pernah tahu jika sesakit ini rasanya ditinggalkan oleh seorang teman. Seorang sahabat. Anak laki-laki itu sahabat pertamanya. Dan dia juga yang membuat gadis itu merasakan pahitnya perpisahan.

"Aku akan ikut orang tuaku keluar negeri. Daddy dipindah-tugaskan lagi. Jadi mau tak mu kami juga harus ikut dengannya."

"Jadi itu artinya kita tak akan bertemu kembali?"

Koeun ingin menangis saat itu juga. Jika dia boleh egois, ia ingin menahan kepergian anak laki-laki itu. Memaksanya untuk tinggal dan menemaninya disini.

"Entahlah." Mereka berdua masih berdiri saling berhadapan. Koeun menunduk. Menggigit bibirnya dalamnya keras-keras. Menahan agar isakan itu tak keluar dan malah membuat sahabatnya makin merasa bersalah. "Jika memang suatu saat nanti kita diberi lagi kesempatan untuk bertemu, maka kita pasti bertemu."

Gadis itu memilih bisu. Yang kemudian, mulai menyerah dan membiarkan air matanya meluruh satu persatu. Turun melewati pipi berisinya yang sangat suka dicubiti oleh anak laki-laki itu. Perlahan, isakannya mulai terdengar dan berikutnya, ia bisa merasakan tarikan kuat membawanya kedalam pelukan sahabatnya itu.

"Kenapa kau harus pergi? Aku jadi kehilangan sahabat terbaikku." Gadis itu melingkarkan tangannya di pinggang sambil membenamkan wajahnya di dada anak laki-laki itu. Meredam suara tangis yang makin lama terdengar makin memilukan. "Setelah ini aku tak akan memiliki sahabat lagi. Aku akan kembali menjadi Koeun si anak aneh yang suka menyendiri."

"Kenapa kau malah memandang negatif dirimu sendiri?" Anak laki-laki itu melepaskan pelukannya. Menatap wajah Koeun yang kini penuh dengan air mata. Menghapusnya dengan ibu jari dan memberikannya satu senyuman tulus terbaik. "Kau bisa mencari sahabat lain selain diriku Eun, kau tidak sendiri."

"Tapi aku--"

"Berhentilah menyangsikan dirimu. Yang perlu kau lakukan nanti itu adalah berusaha untuk lebih membuka diri." Anak laki-laki itu menangkup kedua wajahnya. Mengelus pipi putih Koeun dengan kedua ibu jarinya. "Aku yakin, Koeunku pasti bisa melakukannya."

"Apakah aku bisa?"

"Kau pasti bisa. Percayalah pada dirimu!" Koeun tak pernah tahu jika ternyata perkataan anak laki-laki itu benar. Dia hanya perlu membuka diri dan banyak orang yang lantas mendekati serta mau berteman dengannya. "Oh dan satu lagi, aku ingin mengatakan sesuatu padamu."

"Apa itu?"

Anak laki-laki itu menarik nafas panjang. Kedua tangannya masih menangkup pipi Koeun. Dan sekarang matanya pun menatap sepasang netra gadis itu lekat-lekat. "Aku menyukaimu. Lebih dari aku menyukai seorang sahabat."

Mata besar Koeun membulat. Bibirnya terbuka kaget. Tidak menyangka jika anak laki-laki itu akan mengatakan hal ini.

"Kau, apa?"

Anak itu tersenyum. Sekali lagi mengusap kedua pipi Koeun sebelum kemudian menyatukan dahi mereka. "Aku menyukaimu, Koeun!"

Gadis itu bahkan mengerjap beberapa kali untuk meyakinkan dirinya. Sahabatnya ini ternyata memendam rasa padanya. Benarkah?

"Kau pasti bercanda kan?"

"Apa mau kubuktikan?"

Belum sempat gadis itu membalas tantangan sahabatnya, bibirnya lantas terbungkam oleh satu kecupan kecil yang manis. Dada Koeun terlonjak tidak terkontrol. Hatinya serasa menghangat dan yang paling aneh adalah ketika ia merasakan jutaan kupu-kupu beterbangan di dalam perutnya.

"Kau baru saja mencuri ciuman pertamaku."

Anak laki-laki itu tersenyum ketika akahirnya Koeun terasadar dari rasa terkejutnya. "Itu juga ciuman pertamaku Eun, aku berikan untukmu."

"Kenapa?"

"Ya bukankah sudah kukatakan? Aku menyukaimu."

Dan disaat dia pergi, baru Koeun menyadari ternyata ia memendam rasa yang sama. Ternyata sudah sejak lama, ia jatuh cinta pada sahabatnya sendiri.

***

"Jadi mama dan cinta pertama mama itu berpisah tanpa sempat berkencan?"

"Begitulah."

Wajah Nara yang awalnya semangat menjadi murung kembali. Ia bisa merasakan kesedihan ibunya kala itu. Dan tiba-tiba saja ikut merasa takut jika nanti kisah ibunya terulang kembali pada kisahnya.

"Itu menyedihkan, aku pikir kalian akan bersama-sama hingga nanti." Nara terbangun dari posisi berbaringnya. Kembali mendudukan diri disebelah ibunya sambil menatap ibunya dengan pandangan yang sulit diartikan. "Tapi kalau mama dan cinta pertama mama itu pada akhirnya terus bersama sampai akhir, pasti aku tak akn pernah lahir ke dunia ini. Papa tidak akan berakhir menjadi suami mama"

"Oh ya?"

"Ya tentu saja. Kalau mama dan cinta pertama mama itu tetap bersama, mama pasti akan menikah dengannyakan?" Gadis remaja itu mengedikkan bahu. Beranjak dari posisinya semula dan berjalan menuju pintu. Berniat mengambil segelas air minum yang niasa ia letakkan di nakas sebelah tempat tidurnya. "Jika mama menikah dengannya, mungkin mama tidak akan melahirkan anak perempuan cantik dan baik hati bernama Lee Nara."

Ketika Nara hendak membuka pintu kamar, pintunya itu sudah lebih dulu terbuka. Menampilkan seseorang laki-laki dewasa yang masih lengkap dengan pakaian kerjanya. Tersenyum ceria menatap gadis itu.

"Hai princess."

"PAPA?" Senyum Nara berubah lebar ketika mendapati ayahnya berdiri di depan pintunya. Melebarkan kedua lengannya yang langsung membuat gadis itu melemparkan diri dalam satu pelukan besar yang hangat. "Papa kapan pulang? Kenapa aku tak mendengar suara mobil papa?"

"Baru saja. Justru papa yang bingung mencarimu dan mama yang tidak terlihat dimanapun. Papa kira putri cantik papa ini dan mama diculik orang."

Nara tertawa lalu memukul kecil lengan ayahnya yang senang sekali menggodanya. "Apa papa baru mendoakan aku dan mama agar diculik orang? Memangnya papa mau kehilanganku dan nyonya rumah ini?"

"Oh bukan begitu sayang. Mana mau papa kehilangan putri cantik papa dan istri papa yang galak itu."

"Hei, mama bisa mendengar percakapan kalian dari sini ya!"

Nara dan ayahnya tertawa melihat bagaimana sang ibu berkacak pinggang diseberang ranjang gadis remaja itu. Perlahan berjalan mendekati mereka berdua sebelum akhirnya masuk kedalam pelukan ayahnya dan mendapatkan satu kecupan manis di dahi.

Gadis remaja itu senang melihat bagaimana kedua orang tuanya masih terlihat akur sampai usia pernikahan mereka yang sekarang. Dan lagi-lagi ia memikirkan bagaimana jika ternyata mama dan cinta pertamanya itu masih bersama lalu menikah. Dia tak pernah ingin melihat kebersamaan ini hilang. Dia ingin keluarga kecilnya tetap harmonis seperti sekarang ini.

"Sebenarnya kalian membicarakan apa tadi? Tumben papa melihat mamamu sampai larut malam begini di kamarmu."

"Jangan katakan apapun pada papamu. Ini rahasia kita berdua." Ibunya sebenarnya sudah memberi kode untuk tutup mulut. Tapi Nara memang tidak akan pernah bisa menyembunyikan rahasia dari ayahnya. "Ini masalah para wanita."

"Tadi mama menceritakan tentang cinta pertamanya."

"NARA!" Koeun melihat Nara dengan pandangan terkejut. Astaga, putrinya ini memang tak akan pernah bisa menjaga rahasia dari ayahnya sampai kapanpun.

"Oh ya? Siapa memangnya cinta pertama mama mu?"

"Mama tak menyebutkan namanya. Tapi papa tenang saja, kisah mereka berakhir menyedihkan. Mama berpisah dengan cinta pertamanya itu. Jadi papa tak usah khawatir jika nanti mama kembali padanya."

"Begitukah?"

Nara mengangguk sekali. Lalu tersenyum senang menatap kedua orang tuanya. "Nara jadi ikut bersyukur mama tidak berakhir dengan cinta pertamanya itu."

"Kenapa?"

"Karena jika mama menikah dengan cinta pertamanya, Nara tak mungkin bisa lahir ke dunia dan mengenal papa." Kedua orang tua Nara saling melirik satu sama lain lalu tertawa geli. Menciptakan kerutan heran di dahi putri semata wayang mereka itu. "Kenapa kalian tertawa?"

"Kau tahu tidak siapa nama cinta pertama mamamu?"

Nara menggeleng. Menatap penasaran kearah ayahnya. "Memangnya papa tahu?"

"Tentu saja. Papa kenal dekat dengan cinta pertama mamamu."

"Oh ya? Apa dia teman papa? Siapa?" Nara makin terlihat penasaran dan antusias. Nada suaranya bahkan meninggi saat bertanya pada ayahnya. "Apa Nara mengenalnya juga? Apa itu paman Hendery? Paman Lucas? Paman Xiao Jun? Siapa?"

Tawa Koeun makin kencang melihat putrinya yang polos begitu. Disentuhnya pelan pundak Nara. Membuat gadis itu menoleh kearah ibunya. "Kau tahu, nama cinta pertama mama itu sebenarnya adalah Mark Lee."

Koeun menggandeng suaminya kemudian berlalu meninggalkan Nara yang berdiri dengan wajah tak percaya di depan kamarnya. Suara tawa geli kedua orang tuanya samar-samar terdengar menjauh.

"Tunggu, Mark Lee?" Gadis remaja itu kembali memutar otaknya untuk berpikir. Nama itu terdengar tak asing ditelinganya. Kemudian, ia makin shock ketika menyadari siapa nama yang ibunya sebut barusan. "MARK LEE ITUKAN NAMANYA PAPA!!!!"

Koeun dan Mark tertawa kencang melihat putrinya yang baru saja menyadari cerita tersebut. Kenapa Nara harus mewarisi kemampuan berpikir lambat milik Mark sih?


















































Aku tau typonya banyak
Males baca ulang wkwk
Tapi semoga cerita ini bisa membuat jiwa2 ke-uwu-an kalian bangkit ya hehe

Continue Reading

You'll Also Like

196K 2.6K 14
Oneeshoot Jeno, lelaki istimewa yg memiliki memek Boypussie=cowo ber meki Cerita ini imajinasi author sendiri yaa, jdi klo ada yg alurnya sama maaf b...
TAKDIR (CH2) By à

Short Story

15.8K 2.1K 16
"kenapa ya dari sekian banyak ketidak mungkinan di dunia ini, kita salah satu-nya?" _____________________________________ "Takdir kita sebatas kakak...
103K 8.6K 66
DREAM : KOSSAN KHUSUS PRIA! Kossan Dream terdiri dari rumah 1 lantai dengan di isi oleh 7 pria. mereka adalah : 1. Mark Adelard. 2. Haechan Arcelio...
134K 995 13
one-shot gay ⚠️⚠️⚠️ peringatan mungkin ada banyak adegan 🔞 anak anak d bawah umur harap jangan lihat penasaran sama cerita nya langsung saja d baca