WHAT IF? (mark + koeun)

By day202

45.6K 5.5K 2.1K

What if? Bagaimana jika? Apabila Markoeun itu nyata adanya, mungkinkah hal-hal kecil disekitar mereka menjadi... More

Love At First Sight
Rainy Girl
Toy
Dance Dance Dance
Walk You Home
Sorry
Be Happy, I'm Sorry
Sweet Little Secret
Baby Step
Couple Things
Library
Runaway
Classmate
Baby Don't Like It
Nanya Dong
A Pair Of Eyes
The First Chatting Session
Try Again
Friendzone
Some
Hairstyle
Is It The End?
Paper Plane
You'll Be Okay
Memory Of The Wind
Unspeakable Word
Little Peck
3 a.m
She Is Gone
Late Night Cafe
A Hug
Make Her Smile
Retrouvailles
Admirer
Sunday Morning
It's Fine
Waiting
I'll Be There
Distance
Words
Her House
Unfaithful
Dream Stage
Espresso
Rendezvous
Science
Give Up
Rainy Morning
Balcony
Beautiful Goodbye
Angel
Another
Amnesia
Stand By Me
Candy Shop
F.W.B
Love The Way You Lie
First Love
Insecure
Listen To This Song
New York
Moonlight
Reverie
Comfort Zone
Feeling
Something Forgotten
Two Hearts
Secretary
Christmas Gift
Pit A Pat
Festival
Announcement
Distance
Secret
Sophie
Double Date
New Start
Way To Get You
Watermelon Lipbalm
!!! Mau Promosi !!!
Time Machine
Gotta Be You
Drivers License
Straight To You
Happy
Rumit

Missing You

359 56 12
By day202

When he miss her and vice versa but they can't do anything

Mungkin terdengar aneh jika menurut orang-orang ada anak laki-laki berusia 20 tahun yang masih terlihat polos seolah tak pernah mengenal cinta. Terlihat aneh juga jika selama 20 tahun lebih hidupnya, tak sekalipun ia merasakan indahnya jatuh cinta.

Iya, sering kali Mark berpikir tentang bagaimana orang-orang yang menganggapnya masih seperti bayi disaat dia sendiri sudah legal mengkonsumsi alkohol. Beberapa orang bahkan benar-benar menganggapnya seperti seorang anak kecil polos yang tak tahu bagaimana dunia ini bekerja.

Lucu saja baginya.

Terutama ketika mereka mengasumsikan selama ini Mark tak pernah menyukai seseorang hanya karena hingga saat ini, ia terlihat tak dekat dengan perempuan satupun. Padahal jelas-jelas ia berada di lingkungan yang penuh dengan perempuan-perempuan cantik. Tinggal pilih, banyak perempuan yang jelas menyukainya.

Hanya karena ia terlihat tak tertarik pada perempuan manapun, buka berarti Mark tak pernah menaruh perasaan pada seaeorang. Kenyataanya, sampai sekarangpun ia masih menyimpan perasaan yang sama untuk orang yang sama di luar sana. Hatinya masih bertahan dan berharap pada perempuan itu meskipun mereka berdua sadar, kesempatan itu terjadi sangatlah kecil.

Bisa jadi hampir tak mungkin.

Tapi tidak ada yang bisa mengontrol perasaan bukan? Bahkan perasaan yang muncuk di hati sendiri.

Sedari lama, laki-laki itu berharap bisa menghapus bayang-bayang perempuan yang ia cintai dari hatinya itu. Namun semua percuma. Hatinya tetap memilih untuk menyimpan semua rasa itu rapat-rapat.

Dan untuk mengalihkan rasa rindu yang sering kali muncul menjadi-jadi, Mark memilih untuk membuat lelah tubuhnya sendiri. Agar ketika ia berhenti, maka ia akan langsung terpulas tanpa sempat memikirkan perempuan itu lagi.

"Kau itu satu-satunya orang yang kutahu paling tidak senang jika harus menghabiskan waktu lama diatas tempat tidur." Mark yang saat itu sedang memainkan ponsel pintarnya dengan bosan terkaget mendapati wajah dengan senyum lebar milik Johnny muncul dari bawah. "Kenapa tidak tidur saja? Dari pada harus tersiksa menahan rindumu kan?"

Mark tersenyum lemah lalu kembali memposisikan kepalanya di tempat ternyaman. Saat ini dia memang sedang berbaring diatas bunk bed miliknya yang ada di dalam bus tour selama mereka melakukan konser di Amerika. Wajahnya kembali fokus pada layar ponselnya. "Tidak bisa tidur."

"Mau ku nyanyikan lullaby?" Mark tahu jika sebenarnya Johnny sedang bercanda. Dia bukan anak kecil lagi yang butuh di nina-bobokan.

"Tidak perlu." Laki-laki itu terkekeh dan kemudian meletakkan ponselnya. Matanya tetap menatap kearah atap bus. Mengacuhkan Johnny yang kini masih berdiri diatas tangga kecil agar tetap bisa mengobrol sambil melihat wajah adik kecilnya itu.

"Jika dia yang menghubungimu dan menyanyikan lagu pengamgar tidur untukmu, apa kau akan tidur?"

Sebenarnya suasana bus saat ini sedang sepi. Member lainnya sibuk dengan kegiatan masing-masing yang memang lebih banyak memilih untuk beristirahat. Kebetulan saja Johnny tidur satu tingkat dibawah tempat tidur Mark. Jadi bebas untuknya mengobrol dengan anak itu meskipun dibawah tempat tidur Johnny, ada Taeil yang benar-benar terlihat lelap.

"Mana mungkin ia bisa melakukannya." Mark tersenyum lemah. Menyadari kecilnya kemungkinan ia dan orang yang ia cintai itu bisa berkomunikasi lagi. Meskipun hanya lewat telepon. "Aku tak mau mereka menghukumnya lagi jika aku bersikeras menghubunginya."

Ada satu alasan kenapa Mark tak pernah bisa berbicara dengan perempuan itu meskipun ia ingin. Mereka pada dasarnya memang dilarang berkomunikasi sejak laki-laki itu debut ketika semua orang di perusahaan seolah mengetahui hubungan itu.

Benar, ia dan perempuan itu sempat menjalin hubungan yang pada akhirnya terputus karena paksaan.

"Percayakan semua padaku, Mark." Johnny tersenyum penuh arti sembari merogoh sesuatu dari kantong celananya. "Itupun kalau kau mau. Ingat, kesempatan tak datang dua kali."

Jujur saja, Mark sebenarnya mulai tertarik dengan tawaran dari salah satu membernya itu. Tapi ketakutannya melihat perempuan itu disakiti lagi seolah membayangi. Dia tak pernah bisa membayangkan betapa orang-orang meneriakinya seperti dulu.

Tidak apa jika semua hukuman itu ia yang menerimanya. Mark rela. Namun sekarang, jika ia tetap keras kepala dan akhirnya mereka tertangkap basah saling berkomunikasi lagi maka hukuman yang diterima perempuan itu bisa jadi lebih parah dari hukumannya.

"Aku tak bisa." Padahal ingin rasanya laki-laki itu meraih sebuah ponsel yang disodorkan Johnny untuknya. "Aku benar-benar tak mau mengambil resiko dan melihatnya sakit lagi menerima hukuman dari mereka. Atau yang terparah, aku tak mau ia dikeluarkan untuk kesalahan yang aku juga lakukan."

"Kau serius? Ini bukan ponselku, omong-omong."

Mata Mark yang sudah kembali menatap atap bus kembali melirik penasaran kearah Johnny. "Lalu? Milik siapa?"

"Ini milik manager Nam."

"HAH?" Mark yang kaget langsung terbangun tanpa ingat bahwa jarak tempat tidurnya dengan atap bus tidaklah jauh. Laku-laki itu meringis ketika dahinya tak sengaja terbentur dengan atap bus tersebut. "Kenapa bisa ponsel manager Nam ada padamu, hyung?"

"Panjang ceritanya." Johnny masih mengangsurkan ponsel milik manager mereka itu pada Mark. "Intinya manager Yoo beberapa kali mengeluh pada manager Nam tentang Koeun yang terlihat benar-benar memforsir tubuhnya setelah berpisah darimu. Dia khawatir tetapi manager Yoo paham mengapa perempuan itu berlatih sekeras itu. Dia hanya ingin mengalihkan pikirannya darimu, Mark. Bahkan hingga sekarang dia masih berlatih sekeras itu. Kadang hingga larut pun ia enggan kembali ke dorm jika tak benar-benar tubuhnya jatuh kelelahan."

Mark beberapa kali mendengar isu tersebut. Tentang dia yang juga sama frustasinya. Tentang dia yang juga berlatih sekeras itu. Tentang dia yang bahkan beberapa kali harus masuk rumah sakit karena kelelahan ataupun dehidrasi.

Tapi Mark tak bisa berbuat apa karena larangan untuk berkomunikasi yang perusahaan berikan pada mereka untuk jangka waktu tak ditentukan.

"Jadi manager Yoo memberikan kami izin untuk berbicara."

Johnny mengangguk sekilas. "Tidak hanya manager Yoo, tapi manager Nam juga." Mata Mark melebar senang. Dengan semangat ia mengambil ponsel milik manager mereka itu. "Tapi ingat, jangan sampai orang-orang tahu atau tidak hanya kalian yang ada dalam masalah. Tetapi juga manager Nam dan manager Yoo. Mereka melakukan ini karena tahu betapa kalian tersiksa akibat berjauhan seperti sekarang ini. Gunakan kesempatan dan waktu ini sebaik-baiknya Mark. Katakan padanya jika kau benar-benar merindukannya dan beri dia dukungan untuk terus berjuang hingga kalian bisa bersama-sama berdiri diatas panggung. Lalu berdoalah agar ketika waktu itu tiba, perusahaan tak lagi memisahkan kalian."

Laki-laki itu mengangguk antusias. Tersenyum berterimakasih sebelum akhirnya melihat wajah Johnny yang perlahan menghilang. "Thank you, hyung."

***

Suara musik masih terdengar cukup kencang di dalam ruangan berdinding cermin itu meskipun kini jam nyaris menunjukkan pukul 2 dini hari.

Koeun masih bertahan disana walau sekarang hanya tersisa dirinya yang berlatih. Menggerakan tubuh mengikuti alunan musik yang menghentak seolah tanpa lelah.

Keringat bercucuran dari dahinya. Kaos yang ia gunakan juga sudah sedikit bahas karena serapan keringat. Tapi nampaknya ia tak juga menampakkan keinginan untuk berhenti.

"Eun..." Koeun tak peduli suara lelah manager-nya yang memang setia sejak tadi bersandar di bingkai pintu sambil memaksanya untuk berhenti dan kembali tidur. "Koeun cukup! Jangan pakasa tubuhmu seperti itu terus."

Koeun masih tidak peduli. Nafasnya sudah mulai berat akibat kelelahan. Pun tempo gerakannya juga muali melemah. Hingga ketika kedua kakinya tak lagi kuat menopang, saat itulah dia langsung jatuh tersungkur diatas lantai studio tari itu.

Manager Yoo akhirnya berjalan mendekati perempuan yang sudah ia anggap seperti keponakannya sendiri itu. Mengelus rambutnya perlaha  sebelum akhirnya membantu Koeun untuk berdiri. "Aku hanya perlu istirahat sebentar sebelum kembali berlatih, eonni tenang saja. Aku tak apa."

"Tak apa bagaimana?" Manager Yoo berjalan sambil memapah tubuh lelah Koeun kearah pojok ruangan. Mendudukan perempuan itu dan kemudian menyodorkannya sebotol air. "Sudah cukup untuk hari ini. Kau terlalu memaksakan dirimu. Ini bahkan sudah hampir jam 2 dini hari, Eun. Sebelum kau bisa debut nanti, coba kau hargai tubuhmu dulu. Mereka juga butuh istirahat. Jika kau terus seperti ini, jangan salahkan aku suatu saat nanti tubuhmu menjadi benar-benar rusak dan tak bisa bergerak lagi."

Koeun tersenyum sambil menyeka bibirnya setelah minum air tersebut. Entahlah, tapi ia selalu merasa diperhatikan oleh manager Yoo. Koeun serasa memiliki ibu baru di perusahaan ini. "Terimakasih untuk nasehatnya, tapi aku yakin masih kuat menahan ini semua. Kan aku juga mau cepat debut, jadi aku harus rajin berlatih bukan?"

"Rajin berlatih untuk cepat debut atau karena kau hanya ingin mencari pengalihan terhadapnya?"

Koeun terdiam mendengar perkataan manager-nya itu. Karena apa yang disampaikan barusan memang telak mengenainya.

Ya benar, tujuan Koeun sesungguhnya adalah agar dia bisa mendistraksi dirinya sendiri dari bayangan laki-laki itu.

"Tidak, untuk apa?" Tapi ia kembali pura-pura tersenyum. Berharap senyum itu bisa mengelabui manager Yoo meskipun kecil kemungkinan. "Aku berlatih sekeras ini memang karena aku benar-benar ingin debut dengan cepat."

"Jangan berbohong padaku, aku mengenalmu tidak dalam satu dua tahun saja, Eun." Kalau begini Koeun tak akan bisa mengelak lagi. Jadi dia hanya mampu mendesah lelah sambil meminum kembali airnya. "Aku tak pernah suka melihatmu seperti ini. Jangan siksa dirimu sendiri seperti ini Eun. Aku tidak pernah tega melihatmu terbaring lemah ketika beberapa kali kita harus ke rumah sakit. Tolong cintai tubuhmu."

"Aku mengerti eonni. Aku akan lebih berhati-hati lagi agar tidak membuatmu khawatir."

Koeun memang sangat keras kepala. Manager Yoo tahu betul salah satu karakter anak itu. "Orang-orang di luar sana banyak yang menyayangimu, Eun. Mereka tak mau melihatmu sakit. Terutama laki-laki itu, dia benar-benar khawatir mengetahui keadaanmu saat itu. Sampai beberapa kali ia harus hilang fokus karena memikirkanmu. Tidakkah kau ingin membuatnya tenang dan tidak merasa khawatir padamu?"

Perempuan itu hanya tersenyum kecil lalu memasukkan botol minumnya kedalam tas. Ia sudah berdiri kembali. Meregangkan tubuhnya dan nampaknya hendak kembali berlatih.

Hingga suara dering ponsel manager Yoo memecah konsentrasinya.

"Halo....."

"....."

"Iya? Ada apa?"

"...."

"OH? MARK?"

Perempuan itu melirik sekilas ketika tanpa sengaja telinganya mencuri dengar pembicaraan manager Yoo dan seseorang di seberang panggilannya itu. Apalagi mendengar sebuah nama yang manager-nya itu sebutkan.

"Oke, aku akan memberikan ponsel ini padany. Tolong gunakan waktu kalian dengan baik, aku pastika tak ada yang tahu tentang ini semua. Tenang saja."

Dahi Koeun makin mengernyit bingung ketika manager Yoo malah menyodorkan ponsel itu padanya.

"Apa ini?" Tanyanya tanpa suara sembari mengambil ponsel itu dengan perasaan berdebar yang entah datang dari mana.

"Ambillah, kau tak akan menyesal. Aku menunggumu selesai berbicara di luar ruangan. Jika sudah, kita bisa kembali ke dorm bersama."

Pada akhirnya, Koeun menerima ponsel pemberian manager Yoo dan meletakkannya dia telingan kanan. "Halo?"

"Eun...?"

Air mata Koeun rasanya ingin menetes begitu ia mendengar suara familiar di seberang sana.

***

"Ma...rk?" Sumpah, rasanya perempuan itu masih tak bisa percaya pada pendengarannya. Ia masih merasa bahwa sekarang ini hanyalah mimpi semu semata. "Ini kau?"

"Ya, ini aku." Hening sejenak. Mark memang masih merasa terkesima bisa mendengar suara Koeun kembali. Ini seperti sebuah mimpi yang menjadi nyata untuknya. "Apa kabar?"

"Baik." Jujur saja, rasanya pembicaraan mereka benar-benar menjadi canggung luar biasa. Banyak yang ingin mereka berdua sampaikan, ceritakan. Tapi lidah terasa kelu dan semua itu seolah kembali tertelan ke kerongkongan. Hanya sapaan basa-basi yang justru mereka lontarkan. "Kau bagaimana?"

"Sangat baik untuk saat ini."

Tanpa mereka berdua sadari, seulas senyum terbentuk di sudut-sudut bibir itu. Senyum yang menyimpan kebahagiaan dan kelegaan yang luar biasa.

Rasanya menyenangkan bisa menyapa seperti ini lagi meskipun mereka harus kembali menjadi canggung percis seperti saat pertama kali mereka bertemu.

"Kau dimana sekarang?"

"Amerika."

Koeun mendesah kecil. Ia kembali duduk di dekat tasnya sambil memeluk kedua lutut dan berbicara dengan laki-laki itu. "Jauh ya?"

"Begitulah." Suasana kembali terasa hening. Saking heningnya bahkan suara angin pun bisa mereka dengar. "Kau sedang apa? Bukannya saat ini di Korea sudah dini hari? Tak tidur?"

Senyum Koeun makin lebar mendengar pertanyaan beruntun dari Mark. Ini dia Mark yang ia kenal. Yang tak akan pernah berhenti bertanya padanya karena rasa khawatir berlebihannya.

"Aku masih di ruang latihan dan baru saja selesai dengan latihan koreoku."

"Sampai dini hari begini? Yang benar saja?"

Tawa lirih Koeun kembali muncul. Membuat Mark disebarang sana mau tak mau ikut tersenyum juga. Sudah berapa lama ia tak mendengar suara tawa perempuan itu? Mark merindukannya.

"Bukannya kau juga senang berlatih hingga dini hari? Jadi kenapa harus menyalahkanku?"

"Kau itu perempuan Eun, jangan paksakan tubuhmu bekerja terlalu keras." Dan kini Koeun bisa mendengar desahan nafas Mark. Ia yakin sekali laki-laki itu pasti akan mengomelinya sebentar lagi. "Aku tahu kau beberapa kali sampai harus masuk rumah sakit karena kelelahan dan dehidrasi kan? Kenapa kau menyiksa diri seperti itu?"

"Aku tidak menyiksa diriku, Mark. Aku hanya berlatih lebih keras agar aku bisa debut secepatnya."

"Tapi tidak sampai harus menyakiti diri seperti itu kan?" Koeun sadar ia baru saja membuat Mark khawatir dengannya. Padahal ia tak berniat melakukan itu. "Jangan seperti itu lagi, Eun. Aku yang bingung disini."

"Maaf, Mark."

"Jangan meminta maaf padaku. Minta maaf pada dirimu sendiri."

Laki-laki itu memang terkadang bisa terlihat seperti anak kecil polos dan agak bodoh. Tapi dihadapannya, Mark bisa berlaku sangat dewasa. Kadang perempuan itu bingung melihat Mark yang berbeda dihadapannya sekaligus di tayangan televisi.

Bukan, bukan berarti Mark tak manja dan lucu seperti itu. Laki-laki itu tetap manja dan lucu padanya. Tetapi sisi dewasanya juga sering ia munculkan ketika mereka bersama dulu. Membuat Koeun terkadang merasa lebih tenang hanya dengan melihat atau mendengar Mark ada di dekatnya.

"Baiklah."

Suasana kembali hening. Dan keheningan itu entah mengapa terasa menenangkan. Hanya dengan mendengar deru nafas masing-masing lewat panggilan telepon rasanya lebih dari cukup.

"Eun...."

"Apa?"

"Aku merindukanmu."

Perempuan itu tersenyum mendengarnya. "Aku juga merindukanmu, Mark."

Debaran dada mereka rasanya menjadi begitu cepat. Rasa itu tak pernah hilang bahkan hingga berbulan-bulan berlalu. Baik Koeun dan Mark sadar, hati mereka tak sama sekali berubah. Masih menyimpan nama satu sama lain. Memikirkan satu sama lain sebelum tidur. Hadir di setiap mimpi.

"Aku ingin bertemu denganmu, memelukmu dan menciummu. Aku merindukanmu hingga rasanya menyesakkan."

"Aku tahu Mark. Aku juga merasakannya."

"Kapan kita akan bisa bersama lagi?"

"Entahlah. Mungkin tak pernah?"

Tawa getir itu seolah menegaskan betapa Koeun khawatir dengan apa yang dikatakannya akan benar-benad terjadi.

"Jangan bilang seperti itu, aku tak mau benar-benar terpisah darimu."

Padahal tadi rasanya menyenangkan, tapi kenapa suasana saat ini malah berbalik 180 derajat?

"Jangan buat aku sedih Mark."

"Kau yang bilang seperti itu, siapa yang tak sedih Eun?" Sekali lagi Mark menghela nafasnya. "Apa kau sudah tak ingin bersamaku?"

"Bukan begitu. Aku masih ingin bersamamu. Sangat ingin malah." Perempuan itu menggigit bibirnya. Berusaha keras menahan tangisannya agar tak keluar dan membuat Mark makin khawatir. "Tapi rasanya semua ini menjadi hal yang tak mungkin Mark. Apa ini pertanda semesta tak ingin kita bersama?"

"Jangan berpikir seperti itu. Percayalah jika semesta sedang memberi kita ujian. Aku yakin kau adalah milikku bahkan hingga nanti maut memisahkan kita."

"Mark..."

"Aku mencintaimu lebih dari apa yang bisa kau bayangkan. Aku mencintaimu lebih dari kau yang mencintai dirimu sendiri. Aku mencintaimu tanpa batas, Eun." Dan pada akhirnya air mata itu tak tertahankan dan meluncur begitu saja. Membasahi kedua belah pipi putihnya. "Percayalah padaku, kita akan kembali bagaimanapun caranya."

"Aku percaya."

"Jangan menangis, hey." Suara Mark kembali terdengar khawatir setelah mendengar suara senggukan milik Koeun. "Tersenyumlah Eun, buatlah dunia tahu jika senyummu itu indah dan berharga. Jika kau bahagia, maka aku juga akan bahagia. Jangan khawatirkan aku disini. Aku juga akan berjuang semampuku. Kita akan berjuang bersama-sama kan?"

Koeun mengangguk. Dan menyadari jika Mark tak mungkin melihat anggukannya, ia kemudian menjawab. "Iya Mark, ayo kita berjuang bersama-sama. Tunggulah sampai waktu itu tiba, kau bersedia kan?"

"Sampai kapanpun Eun, aku pasti menunggumu."

Mereka berdua tersenyum lebar.

Rasanya semua beban lepas begitu saja saat mereka bisa kembali mendengar suara satu sama lain.

"Koeun, ayo cepat. Ada orang datang."

Namun sayang, pembicaraan mereka begitu singkat dan harus segera berakhir ketika manager Yoo masuk dan meminta Koeun memutuskan sambungan teleponnya.

"Mark, sepertinya ada orang datang. Aku harus mematikan panggilan ini. Sampai nanti."

"Sampai nanti Eun, jaga dirimu baik-baik." Koeun sudah akan mematikan panggilan itu ketika suara Mark masih sempat ia dengar sebelum sambungan mereka benar-benar terputus. "Aku mencintaimu."

Kata itu lebih dari cukup untuk kembali membuatnya bersemangat. Paling tidak, ada Mark yang masih menunggunya. Jadi Koeun harus berusaha keras untuk menantikan waktu dimana mereka akhirnya bisa berdiri diatas panggung yang sama.

Hingga waktu itu tiba, tolong tunggulah kemunculannya.






























Lagunya Virzha mah emang bener-bener bikin mewek
Terimalah storyku ini
Maaf kalo penulisannya berantakan wkwk
Typo itu udah biasakan di tulisanku?😂😂😂

Continue Reading

You'll Also Like

100K 7.9K 33
Original story' by rld.oct Preview : "Sebenarnya sejak awal memang sudah jelas bahwa aku sangat mencintaimu , akan tetapi kenapa takdir berkata lain...
148K 6.9K 41
°di mohon sebelumnya membaca lebih baik untuk follow terlebih dahulu ‼️ memang ada wanita yang beruntung dalam hal apapun? ada . azzura contoh nya...
146K 8.1K 14
Tentang seorang wanita yang membawa penyesalan hingga akhir hayatnya Gadis cantik bernama Queleeza Xanderalic,gadis cantik tapi tidak dengan sikapny...
TAKDIR (CH2) By à

Short Story

15.7K 2.1K 16
"kenapa ya dari sekian banyak ketidak mungkinan di dunia ini, kita salah satu-nya?" _____________________________________ "Takdir kita sebatas kakak...